Select Menu

sponsor

Select Menu

Favorit

Buku Referensi

Buku

Pergerakan Islam

Tokoh

Rumah Adat

Syamina

Pantai

Seni Budaya

Kuliner

Bukan hal baru jika Al-Zawahiri mengeluarkan video propaganda dengan retorika-retorika anti-Amerika. Selama ini memang sudah sering ia lakukan. Namun pernyataan barunya disebut-sebut oleh beberapa media Barat sebagai ‘panduan spesifik pertama tentang jihad’. Pesannya terasa sangat berbeda dibandingkan biasanya. Cara penyampaian dan isinya oleh beberapa pengamat Barat menunjukkan adanya perubahan dalam internal Al-Qaidah secara global.

Pimpinan Al-Qaidah tersebut memberikan panduan dan arahan kepada seluruh cabang serta para simpatisan dalam sebuah rilis yang disebarluaskan secara publik, bahkan ia menyerukan agar panduan tersebut terus disebarluaskan.Download analisis lebih lengkap di Laporan Khusus Kiblat.net bekerjasama dengan Lembaga Penelitian Syamina di sini.

Imperium adalah sistem Pusat-Perifer lintas perbatasan, dengan menggunakan budaya untuk melegitimasi struktur yang tidak seimbang antara pusat dan perifer:

Secara ekonomi, antara yang mengeksploitasi dan yang dieksploitasi, yang menyebabkan kesengsaraan;
  • Secara militer, antara pembunuh dan yang dibunuh, yang menyebabkan kematian dan penderitaan;
  • Secara politik, antara pengontrol dan yang dikontrol, yang menyebabkan represi;
  • Secara kultural, antara pemrogram dan yang diprogram, yang menyebabkan alienasi;

Perbatasan dalam sebuah imperium tidaklah bersifat geografis. Perbedaan antara pusat dan perifer terjadi dalam setiap dimensi kekuasaan. Pada bagian pusat cenderung bersifat mengeksploitasi, membunuh, mengontrol, dan memprogram. Sedangkan pada bagian perifer cenderung dieksploitasi, dibunuh, dikontrol, dan diprogram.

Jika demikian, apakah AS merupakan sebuah imperium yang melakukan imperialisme?
Jika kita mencari jawabannya dari pemerintah Amerika Serikat, maka jawabannya adalah tidak. Meski telah menjajah dua negara berdaulat hanya dalam waktu dua tahun—Afghanistan pada tahun 2001 dan Irak tahun 2003, meski terdapat lebih dari 750 instalasi militer AS di dua pertiga negara di dunia, dan meski telah berulangkali menyatakan keinginan “untuk memperluas manfaat kebebasan… ke seluruh penjuru dunia,” George W. Bush tetap bersikukuh bahwa “AS bukanlah sebuah imperium”. Rumsfeld juga menambahkan bahwa “kami tidak menginginkan imperium dan kami tidak melakukan imperialisme.”

Bangsa Amerika punya gagasan ‘suci’ untuk ‘penyebaran demokrasi’ ke penjuru dunia. Gagasan itu tertuang dalam Manifest Destiny. Sebuah manifesto yang menyebutkan bahwa bangsa Amerika telah ditakdirkan oleh Tuhan untuk menyebarkan demokrasi.

Meski demikian, menurut Bischof, sejarah menunjukkan bahwa AS adalah imperium dan mereka selalu melakukan imperialisme. Amerika Serikat mempunyai konfigurasi yang lengkap untuk disebut sebagai sebuah imperium. Kesimpulan ini diartikulasikan dalam sebuah pernyataan yang diungkapkan oleh seorang perencana di Pentagon: “Tidak akan ada perdamaian. Pada saat tertentu selama sisa hidup kita, akan ada beberapa konflik dalam bentuk yang bermutasi di seluruh dunia. Konflik kekerasan akan mendominasi berita-berita utama… Peran de facto bagi pasukan bersenjata Amerika Serikat adalah menjaga dunia tetap aman bagi ekonomi kita dan terbuka bagi serangan budaya kita. Dan untuk menggapai tujuan tersebut, kita akan melakukan cukup banyak pembunuhan.”

Sebelum Perang Dunia Kedua, rata-rata intervensi militer yang dilakukan AS adalah 1,15/tahun, dan setelah Perang Dunia Kedua, rata-rata intervensi meningkat menjadi 1,29/tahun. Pasca Perang Dingin, yaitu sejak tahun 1989, terjadi peningkatan yang cukup tajam hingga 2,0. Hasil ini kompatibel dengan hipotesis bahwa perang akan meningkat seiring dengan tumbuhnya imperium, dimana mereka semakin merasa punya hak-hak yang harus dilindungi, lebih banyak kerusuhan yang harus dipadamkan, dan lebih banyak pemberontakan yang harus dihancurkan.

Mesin  dari  kebijakan luar negeri  Amerika dipicu  bukan oleh  pengabdian  terhadap moralitas,  melainkan  oleh kebutuhan  untuk melayani  kepentingan  lain: yaitu membuat dunia lebih aman bagi perusahaan-perusahaan Amerika,  meningkatkan  laporan keuangankontraktor pertahanan yang telah memberikan kontribusi kepada anggota kongres, mencegah munculnya  masyarakat  yang  bisa berfungsi sebagai  contoh sukses  alternatif  dibanding model kapitalis, memperluas hegemoni politikdan  ekonomi  seluas  mungkin,  sebagaimana layaknya sebuah “kekuatan besar.” Atas dasar tujuan tersebut, selama periode 1945-2000, Amerika Serikat  telah  melakukan  intervensi sangat serius ke lebih dari 60 negara.

Hanya orang yang naif, dungu, atau keduanya yang terkejut dengan terjadinya serangan 11 September. Terorisme negara tak terbatas dan tak bertepi yang dilakukan oleh Amerika Serikat mendapat jawaban yang sangat tidak mengejutkan: terorisme terhadap Amerika Serikat. Dengan perkiraan sekitar 13-17 juta orang tewas, dan rata-rata 10 orang berduka atas setiap satu korban tewas, yang mengakibatkan kesedihan dan kepedihan, maka nafsu untuk membalas dendam berkembang. Namun, akar dari semua itu bukanlah pada rantai tak berujung dari kekerasan untuk membalas dendam. Mereka adalah konflik tanpa solusi yang dibangun dalam imperium AS. Barangkali, inilah yang dimaksud oleh perencana Pentagon yang memandang bahwa “untuk mencapai tujuan tersebut, kami akan melakukan banyak pembunuhan.”

Untuk mengatasinya,  para akademisi berpendapat hanya bisa dilakukan  dengan dibubarkannya imperium AS, sebagaimana kesimpulan Johan Galtung, “Sepanjang masih ada imperium militeristik Amerika Serikat, maka perdamaian dunia tidak akan ada di muka bumi. Ini adalah ganjalan utama bagi perdamaian dunia hari ini.” Tak salah jika AS dinobatkan sebagai negara paling mengancam perdamaian dunia dalam sebuah polling yang telah  dilakukan sejak  tahun  1977  dan  baru dirilis tahun 2013 silam.

Kini, tanda-tanda keruntuhan AS mulai terlihat. Sangat ironis, hanya satu dekade atau lebih setelah ide Amerika Serikat sebagai kekuatan imperium muncul dan diterima, dan orang-orang mulai dapat berbicara secara terbuka mengenai   imperium Amerika, yang terjadi justru menunjukkan beberapa tanda-tanda ketidakmampuannya untuk terus berlanjut dan bahkan spekulasi mulai muncul mengenai keruntuhannya.

Sebagaimana sistem yang lain, imperium juga mengalami siklus hidup sebagaimana sebuah organisme. Mereka mengalami pembuahan, kehamilan, kelahiran, masa bayi, masa kanak-kanak, remaja, dewasa, penuaan dan kematian. Benih imperium Amerika Serikat ditaburkan oleh Imperium Inggris. Mereka mengasah kemampuan imperium mereka pada penduduk pribumi, kemudian berkelana ke luar negeri dalam bentuk intervensi militer dengan mendefinisikan zona kepentingan, mengambil alih imperium Spanyol, kemudian memperluasnya dengan menjadikan hegemoni di dunia dan ruang angkasa sebagai tujuan. Sekarang, Amerika Serikat sedang mengalami fase penuaan, dengan beban tugas pengendalian yang melimpah.

Amerika dan  sistem nilai  yang dibawanyatidak lagi  menjadi model bagi dunia.  Sepertiyang disimpulkan  Tony  Judt:  “Tragedi sesungguhnya adalah kita tidak lagi  menjadi contoh bagi diri kita sendiri.” Dunia tidak lagi percaya pada mitos “eksepsionalisme Amerika“.

Paul Kennedy menyimpulkan bahwa seluruh imperium di era modern turun dan runtuh sebagai hasil dari “imperial overstretch”. Para pengambil keputusan  di  Washington  harus menghadapi  kenyataan  buruk bahwa jumlah total  kepentingan  global  dan  kewajiban Amerika Serikat saat ini  jauh  lebih besar daripada kekuatan  negara  tersebut  untuk mempertahankan mereka secara simultan.

Kondisi ini semakin diperparah dengan berbagai kontradiksi—baik  di  bidang  militer, ekonomi,  politik,  maupun  kultural—dan demoralisasi yang terjadi di kalangan elit AS. Dengan berbagai kontradiksi tersebut, diiringi dengan demoralisasi yang terjadi di kalangan elit,  Galtung memprediksi terjadinya penurunan AS secara gradual yang berujung keruntuhan pada tahun 2020. Semakin kuat sebuah imperium, semakin cepat  ia meningkatkan kontradiksinya, maka semakin tinggi kekacauan internal, dan semakin dekat ia pada keruntuhan. Ini adalah sebuah hukum yang disimpulkan oleh Galtung dari analisis perbandingan 10 imperium yang diawali dengan imperium Romawi.

Semua imperium pada akhirnya runtuh: Akkad, Sumeria, Babilonia, Niniwe, Asyur, Persia, Macedonia, Yunani, Carthage, Roma, Mali, Songhai, Mongol, Tokugawaw, Gupta, Khmer, Hapbsburg, Inca, Aztec, Spanyol, Belanda, Turki  Utsmani, Austria, Perancis, Inggris, Uni Soviet. Sebagian besar mereka runtuh dalam hitungan satu hingga dua ratus tahun. Alasannya tidak begitu rumit.

Sebuah imperium adalah semacam sistem negara yang secara tak terhindarkan membuat kesalahan yang sama hanya dengan sifat struktur imperlias mereka. Mereka gagal karena ukuran, kompleksitas, jangkauan wilayah, stratifikasi, heterogenitas, dominasi, hirarki, dan ketidaksetaraan

Download di sini untuk laporan selengkapnya.
Pergeseran generasi terjadi sepanjang waktu seiring dengan perubahan lingkungan dan teknologi, yang membuat praktik-praktik yang diikuti sebelumnya nampak ketinggalan zaman. Perubahan generasi perang terjadi melalui usaha yang dilakukan oleh para pelaku untuk memecahkan problem spesifik terkait dengan pertempuran mereka melawan musuh yang jauh lebih kuat.

Perang Generasi Keempat (4GW) bukanlah hal baru, namun merupakan sebuah aplikasi kreatif dan adaptif dari bentuk sebelumnya, dimana dimensi moral lebih penting daripada teknologi. Perang generasi keempat menggambarkan transisi dimana kekuatan tradisional didefinisikan ulang: fokus kini berpindah dari teknologi tinggi menuju ide. Konflik bergeser dari strategi atrisi menghancurkan target militer dengan menggunakan daya tembak pasukan reguler menuju pengacauan pusat sosial ekonomi dan kultur politik dengan serangan kejutan, subversi, organisasi bayangan, dll.

Jantung dari fenomena terjadinya Perang Generasi Keempat adalah karena terjadinya krisis legitimasi negara. Di seluruh dunia, warga negara mentransfer loyalitas utamanya dari negara untuk hal-hal lain: agama, suku, kelompok etnis, geng, ideologi dan sebagainya. Banyak orang yang tidak lagi berjuang untuk negaranya namun akan berjuang untuk loyalitas primer baru mereka.

Ciri menonjol perang dalam generasi ini adalah melibatkan dua aktor atau lebih dengan kekuatan yang tidak seimbang dan mencakup spektrum perang yang luas. Perang dalam generasi ini bersifat transnasional, tidak mengenal medan perang yang pasti, tidak membedakan sipil dan militer, tidak mengenal masa perang dan damai, serta tidak mengenal garis depan. Aktor Generasi Keempat pada umumnya memiliki tujuan regional yang jauh lebih luas dan bahkan visi global. Mereka berusaha menerapkan sistem sosial yang sama sekali baru berdasarkan ideologi atau agama mereka.

Perang Generasi Keempat antara lain ditandai dengan menurunnya harmoni dalam masyarakat; menurunnya loyalitas kenegaraan dan meningkatnya loyalitas alternatif, terutama budaya; hilangnya monopoli negara atas perang; munculnya entitas non-negara yang mampu menguasai loyalitas utama masyarakat; peran dominan dari propaganda dan tekanan psikologis adalah untuk mengubah pikiran para pembuat kebijakan politik.

Perang Generasi Keempat berakar dari aturan fundamental yang menyatakan bahwa kemauan politik yang lebih superior, bila digunakan dengan benar, dapat mengalahkan kekuatan ekonomi dan militer yang lebih besar. Perang Generasi Keempat tidak berusaha untuk menang dengan mengalahkan pasukan militer musuh. Sebaliknya, mereka secara langsung menyerang kemauan politik musuh dengan menggabungkan antara taktik gerilya atau pembangkangan sipil dengan jaringan ikatan sosial, budaya dan ekonomi, kampanye disinformasi dan aktivitas politik yang inovatif.

Perang Generasi Keempat mencakup spektrum aktivitas manusia yaitu politik, ekonomi, sosial dan militer. Secara politis, Perang Generasi Keempat melibatkan organisasi dan jaringan transnasional, nasional dan sub-nasional untuk menyampaikan pesan kepada khalayak sasaran.

Secara strategis, Perang Generasi Keempat berfokus pada mematahkan kehendak pembuat keputusan. Mereka menggunakan jalur yang berbeda untuk menyampaikan pesan yang berbeda kepada sasaran yang berbeda. Pesan ini digunakan demi tiga tujuan: untuk mematahkan semangat musuh; mempertahankan kehendak rakyat mereka sendiri; dan memastikan pihak yang netral tetap netral atau memberikan dukungan diam-diam atas alasan yang mereka gunakan. Secara operasional, mereka menyampaikan pesan tersebut dalam berbagai cara mulai dari serangan militer secara langsung yang berdampak tinggi hingga serangan ekonomi tidak langsung yang dirancang untuk menaikkan harga minyak.

Secara taktis, pasukan Perang Generasi Keempat menghindari konfrontasi langsung jika memungkinkan. Mereka menggunakan bahan-bahan yang ada dalam masyarakat yang diserang. Perang Generasi Keempat juga merupakan perang yang panjang yang berlangsung dalam hitungan dekade.

Singkatnya, Perang Generasi Keempat bersifat politis, jaringan terbentuk secara sosial, dan membutuhkan durasi yang berlarut-larut. Ia adalah antithesis dari teknologi tinggi dan perang singkat yang selama ini disiapkan oleh Pentagon.

Perang generasi keempat menggunakan seluruh jaringan yang tersedia—politik, ekonomi, sosial, dan militer—untuk meyakinkan para pengambil keputusan politik musuh bahwa tujuan strategis mereka tidak bisa diraih atau terlalu mahal jika dibandingkan dengan manfaat yang diharapkan. Satu-satunya media yang bisa mengubah pikiran seseorang adalah informasi. Karenanya, informasi adalah elemen kunci dalam setiap strategi Perang Generasi Keempat.

Pada generasi sebelumnya, media lebih berfungsi untuk melaporkan peristiwa yang terjadi, bukan untuk membentuk arah perang. Dalam Perang Generasi Keempat, media digunakan untuk melemahkan kehendak lawan. Targetnya adalah para pengambil keputusan musuh atau masyarakat musuh. Selain itu, audiens global juga dijadikan target untuk membentuk cara pandang dunia. Karena itu, manajemen media sama pentingnya dengan taktik lain dalam Perang Generasi Keempat. Perang jenis ini adalah konflik berbasis informasi. Karena tujuannya adalah untuk menargetkan pikiran musuh, informasi menjadi hal yang sangat penting.

Download Syamina