Generasi Inti
Unknown
00.00
0
Islam tidak akan tegak melainkan dengan cara sebagaimana tegaknya untuk pertama kali melalui tangan Rasulullah saw … tiadalah Islam tegak pada kali yang pertama melainkan melalui perjuangan dakwah tauhid yang murni. Dakwah tauhid yang menghancurkan berhala-berhala di dalam hati sebelum menghancurkannya di alam wujud.
Tauhid tidak mungkin bisa difahami dengan jalan membaca kitab, akan tetapi difahami dengan jalan membaca peristiwa dan kejadian secara riil serta dengan jalan menghadapi ujian dan cobaan. Setiap orang yang jauh dari cobaan, tidak mungkin dapat memahami Dienullah dan tidak mungkin dapat menjadi orang yang dapat dipercaya untuk mengemban syari’at Allah sekiranya amanah tersebut diletakkan di atas kedua bahunya untuk dia laksanakan.
Wahai kalian yang telah ridha Allah sebagai Rabbnya, Islam
sebagai Diennya dan Muhammad sebagai Nabi dan Rasulnya. Ketahuilah, bahwasanya
Allah telah menurunkan di dalam Al-Qur’an :
“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada
dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan
nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya
menetapi kesabaran.” (QS. Al-‘Ashr : 1-3)
Sebuah surat yang turun dari sisi Dzat Yang Perkasa lagi
Maha Bijaksana. Berkata Abu Abdullah Asy-Syafi’i mengenai surat ini : “Andaikan
tidak diturunkan dari Al-Qur’an selain surat Al-‘Ashr, niscaya surat tersebut
mencukup bagi mereka. Oleh sebab itu surat tersebut menerangkan tentang sistem
pembentukan Dienul Islam sekali lagi dan pembangunannya di atas bumi serta
pendirian lembaga-lembaganya yang menjadi tempat bernaung kumpulan manusia
dalam kehidupannya.”
Surat ini menerangkan bahwa manusia tidak mungkinbisa
selamat dari kerugian, kerusakan dan kebinasaan melainkan jika ia memenuhi
empat sifat : beriman, beramal shaleh, bekerja bersama orang-orang yang menyeru
kepada perbuatan ma’ruf yang mereka itu saling nasehat menasehati supaya
mentaati kebenaran dan menetapi kesabaran di atas jalan agama.
Nasehat-menasehati untuk mentaati kebenaran di atas jalan
agama akan menimbulkan/mendatangkan berbagai kesulitan, penyiksaan, ujian dan
bala’ yang harus dihadapi dengan kesabaran. Untuk itu, mereka harus senantiasa
nasehat-menasehati untuk menetapi kesabaran.
“Wal ‘ashr, Innal Insaana lafii khusrin. Illalladziina
aamanuu wa ‘amilush shalihaati wa tawasahu bil haqqi wa tawaasahu bish shabri.”
Semua fi’il/kata kerja dalam surat ini dengan “wawu
jama’ah” (huruf wawu yang menunjukkan bahwa pelaku dalam perbuatan tersebut
adalah orang banyak). Sebab Islam tidak mungkin bisa tegak melainkan dengan
jalan berjama’ah, yakni melalui sebuah jama’ah. Tak mungkin Islam kembali tegak
di muka bumi sekali lagi melainkan dengan jalan seperti saat pertama kali
tegaknya.
A. Dakwah kepada Tauhid
Seseorang tegak –yakni sayyiduna Muhammad saw— menyeru
manusia kepada prinsip tauhid. Tauhid Uluhiyah, Tauhid Rububiyah dan Tauhid
Aswa’ wa Sifat. Dakwah tauhid ini dan pemantapannya ke dalam hati bukanlah
perkara yang sifatnya teoritis, yang diajarkan melalui buku-buku bacaan. Akan
tetapi amaliyah dari tauhid uluhiyah ini diajarkan melalui berbagai peristiwa
dan langkah, melalui berbagai ujian dan cobaan dalam realitas kehidupan
sehari-hari.
Abu Bakar misalnya, bagaimana dia meyakini bahwa Allah
Maha Penyantun? Abu Bakar meyakini hal
ini lewat suatu peristiwa yang disaksikannya. Yakni dia melihat beberapa orang
Quraisy –yang kafir dan mengabdi kepada berhala—mencengkeram kerah (leher baju)
Rasulullah saw. Namun demikian dia tidak melihat Rabbul ‘Alamin segera
mengambil tindakan kepada orang-orang musyrik yang menyakiti Rasul-Nya. Maka
menengadahlah ia ke langit seraya mengatakan : “Ya Tuhanku, alangkah
penyantunnya Engkau. Ya Tuhanku alangkah penyantunnya Engkau.”
Adalah Abu Bakar mengenal dan menghayati –tauhid—Asma’ wa
Sifat bukan melalui lembaran-lembaran, kertas-kertas dan kalimat-kalimat. Akan
tetapi dia mengenalnya melalui berbagai kejadian dan peristiwa. Adalah
Rasulullah saw mengemudikan perjalanan –kaum muslimin—melalui perjalanan
peristiwa sehari-hari dan mengajarkan kepada mereka bagaimana tauhid itu.
Beliau mengajari Abu Bakar di saat berada di dalam gua,
yakni pada waktu Abu Bakar gemetar ketakutan dan mengatakan padanya : “Wahai
Rasulullah, sekiranya ada salah seorang di antara mereka yang melihat ke bawah
kakinya, niscaya dia akan melihat kita!” Lalu beliau menjawab perkataan Abu
Bakar dengan kalimat tauhid : “Wahai Abu Bakar, apa pendapatmu dengan dua orang
sedangkan Allah sebgai yang ketiga menyertainya?” 1)
Adalah tauhid uluhiyah, yang demi menyampaikan tujuan
tersebut para rasul diutus, tidak diajarkan melalui buku-buku, akan tetapi
diajarkan melalui berbagai kejadian dan peristiwa. Bukan melalui
lembaran-lembaran yang dihafal kemudian dikumpulkan, yang jika ada kejadian
kecil saja muncul –misalnya diintimidasi, diteror dan lain sebagainya--, maka
tauhid akan bercerai dari dasar hati. Lupa bahwasanya :
“Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan
izin Allah, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya.” (QS. Ali Imran :
145)
Tertanamnya tauhid ke dalam hati bukanlah melalui cara
teoritis akademis, akan tetapi, sebagaimana firman Allah ‘Azza wa Jalla :
“Dan Al-Qur'an itu telah Kami turunkan dengan
berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami
menurunkannya bagian demi bagian.” (QS. Al-Isra’ : 106)
Penurunan secara berangsur-angsur itu ada maksudnya, dan
pembacaannya secara perlahan-lahan itu ada maksudnya. Sebab pembentukan umat
tidak bisa selesai hanya dalam waktu sehari semalam… melalui hafalan teks dan
catatan. Jika Al-Qur’an dan Islam hanyalah merupakan teori semata yang dapat
difahami dengan mudah oleh para cedekiawan pastilah Jallah akan menurunkan
Al-Qur’an sekaligus, dapat dihafal selama enam bulan. Teori ini mereka nikmati
dan mereka hidupkan dalam khayal mereka. Akan tetapi Allah ‘Azza wa Jalla lah
yang menciptakan jiwa manusia. Dia mengetahui jiwa-jiwa itu tidak bisa dirubah
dengan cara secepat kilat, seperti sangkaan orang. Adalah Al-Qur’anul Karim dan
masalah tauhid terbina bersamaan dengan terinanya jama’ah yang bekerja secara
riil. Manakala bangunanmakin tinggi, maka pada saat itu pula turun hukum-hukumnya.
Sehingga apabila pembangunan jama’ah tadi telah sempurna, maka teori Al-Qur’an
sudah menjadi perkara yang praktis serta matang dalam dasar jiwa.
B. Antara Kesungguhan dan Lamunan
Merujuk pada keterangan di atas, maka kita ketahui bahwa
Al-Qur’an …. Islam tak pernah hidup sebagai ajaran teoritis. Hukum-hukum belum
disyari’atkan di Makkah. Demikian pula undang-undang administratif, hukum
pidana, hukum perdata dan lain-lain. Semuanya belum disyari’atkan. Barulah
ketika Daulah Islam berdiri di Madinah, hukum-hukum tersebut mulai diturunkan
dan diterapkan.
Sesungguhnya Al-Qur’an adalahDien (aturan), Islam adalah
Dien yang bersifat praktis, dinamis lagi sungguh-sungguh. Tidak bekerja dengan
teori-teori dan persangkaan-persangkaan, akan tetapi bekerja dengan kehidupan
nyata manusia, dengan tingkatannya dengan pembentukannya dan keadaannya.
Karena itu, orang-orang yang menuntut konsep-konsep,
undang-undang administratif, hukum pidana, hukum perdata dan sebagainya dari
jihad Afghan sekarang ini, maka mereka tidak memahami bagaimana Islam tegak
yang pertama kalinya. Dan mereka tidak tahu bagaimana hukum-hukum tersebut
turun. Bagaimana hukum-hukum tadi diterapkan melalui rentetan waktu dan
peristiwa. Misalnya Al-Qur’an turun menerangkan atau Rasulullah saw sendiri mengatakan
ini hukumnya begini, itu hukumnya begitu. Adalah pembangunan Islam bersifat
realistis dan praktis seiring dengan perjalanan hidup sehari-hari melalui
jama’ah Islam.
Sekarang ini, kita belum membutuhkan undang-undang. Kita
belum menghajatkan kepada undang-undang administratif, undang-undang dasar,
hukum pidana dan hukum perdata.
Hendaknya orang-orang yang kerjanya duduk di ruang-ruang
ber-AC memahami dengan seksama, bagaimana hukum-hukum itu dibuat? Bagaimana
meletakkan solusi atas problema-problema yang kelak akan timbul dalam
masyarakat Islam secara nyata sebagaimana tegaknya Islam yang pertama bersama
Rasulullah saw. Ketahuilah, bahwa Islam tidak akan mungkin bisa tegak kapanpun
jua, melainkan mesti dengan jalan seperti ini. Bagaimana Islam tegak pertama
kalinya? Islam tegak pertama kali melalui seorang Nabi yang bernama Muhammad
bin Abdullah saw. Dia menyeru manusia untuk mentauhidkan Allah “Wahai manusia,
sembahlah Allah, tidak ada tuhan bagi kalian selain Dia.”
Adalah beliau tegak berdiri di atara kaumnya dan
mengatakan kepada mereka tanpa rasa ragu :
“Katakanlah: "Dialah Allah, Yang Maha Esa."
Allah adalah Ilah yang bergantung kepada-Nya segala urusan. Dia tidak beranak
dan tiada pula diperanakkan, dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia.”
(QS. Al-Ikhlash : 1-4)
Apabila situasi dan keadaan tidak bersahabat, membenci dan
mencekik leher beliau serta kelompok kecil yang mengelilinginya, maka keluarlah
kata-kata yang mengungkapkan tentang tauhid :
“Katakanlah:"Panggillah berhala-berhalamu yang kamu
jadikan sekutu Allah, kemudian lakukanlah tipu daya (untuk mencelakakan)ku,
tanpa memberi tangguh (kepadaku). Sesungguhnya pelindungku adalah Allah yang
telah menurunkan Al-Kitab (al-Qur'an) dan Dia melindungi orang-orang yang
saleh.” (QS. Al-A’raf : 195-196)
Bangunan Islam tegak pertama kali melalui usaha Rasul yang
mulia. Dimulai dengan masuknya manusia ke dalam Dienul Islam satu demi satu …
lalu mereka hidup di atas panasnya bara ujian dan di atas situasi yang sangat
sulit. Batu penggiling menggiling dan melumat-lumat urat saraf, hidup dan nafas
mereka.
Singkatnya, mereka hidup di atas penderitaan dan
kesulitan. Melalui situasi seperti inilah tergembleng elemen-elemen pertama
yang kuat, yang menjadi penopang bagi tegaknya bangunan Islam yang pertama.
C. Mizan Dakwah
Mereka yang melihat bahwa dakwah Rasulullah saw di Makkah
hanya membuat beriman kurang lebih seratus orang saja, melihat bahwa itu –dalam
pandangan manusia sekarang—merupakan usaha pendidikan yang tidak sukses
(berhasil). Bagaimana waktu tiga belas tahun berlalu, akan tetapi yang masuk
Islam melalui tangan pemimpin manusia hanya seratus orang saja? Sekitar tujuh
atau delapan orang saja setahun!!!
Pekerjaan ini –dalam perhitungan komputer—merupakan
pekerjaan yang tidak sukses. Akan tetap mereka yang hidup dalam lapangan dakwah
dan memahami bagaimana prinsip atau ideologi itu mencapai kemenangan,
mengetahui akan penting dan bernilainya seratus orang tadi. Seratus orang yang
mendapat gemblengan Rasulullah saw itu adalah profil-profil manusia seperti
yang dikatkaan oleh ‘Utbah bin Ghazwan berikut ini :
“Pernah suatu ketika saya bertujuh bersama Rasulullah saw,
kami tidak memperoleh makanan kecuali hanya dedaunan. Kamimakan daun-daun itu
hingga sudut mulut kami terluka. Aku bangkit ke arah kain sarungku dan kurobek
jadi dua belah. Sebelah kuberikan kepada Sa’ad bin Malik –Sa’ad bin Abi
Waqqash--, dan sebelahnya lagi untukku. Sa’ad mengenakan sebelah sarung itu dan
akupun mengenakan sarung yang sebelahnya. Dan sekaran kini kami semua menjadi
Amir (Gubernur).” Kemudian ‘Utbah melanjutkan kata-katanya : “Dan sesungguhnya
aku berlindung kepada Allah, jangan sampai aku tampak besar di mata manusia
tapi kecil dalam pandangan Allah.”
Keseratus orang itu bernama As-Sabiqunal Awwalun dari
golongan Anshar inilah yang membentuk Qa’idah Shalabah (dasar/pondamen yang
kokoh) dan pilar-pilar bagi agama ini, di mana melalui pondamen dan pilar-pilar
yang kokoh itu nantinya terbentuk bangunan yang tinggi menjulang ke langit.
Oleh karenanya, apabila kita melihat pasukan yang bergerak
dengan cepat menaklukkan bangsa-bangsa di sekeliling dunia, maka timbul
pertanyaan dalam hati kita siapakah para panglima pasukannya?!! Mereka adalah
As-Sabiqunal Awwalun … siapa hakim-hakimnya? Mereka adalah As-Sabiqunal Awwalun
… siapakah mufti-muftinya? Mereka adalah As-Sabiqunal Awwalun.
Bahkan barisan (shaf) pertama dan kedua di masjid-masjid
Nabi saw, tempat itu diperuntukkan bagi mereka, golongan As-Sabiqunal Awwalun.
(Ada diriwayatkan bahwa seorang laki-laki dari Yaman datang ke Madinah dan
menanyakan tentang Ubay bin Ka’ab. Waktu shalat tiba, maka kaum muslimin pergi
ke masjid untuk menunaikan shalat. Ubay maju ke depan untuk mengimami shalat.
Lebih dahulu ia melhat wajah orang-orang yang berada di belakangnya. Ternyata
dia melihat ada laki-laki asing berada di barisan pertama. Dia mendatangi
laki-laki tersebut dan mengatakan padanya : “Ini bukan tempatmu.” Lantas tempat
tadi diberikan kepada salah seorang As-Sabiqunal Awwalun. Selesai shalat
laki-laki dari Yaman itu bertanya : “Di mana Ubay?” Maka orang-orang mengatakan
: “Itu lho tadi, imam yang mengembalikanmu ke barisan belakang.”)
Sebab orang-orang yang berada di belakang imam bahkan
dalam shalat, adalah orang-orang yang berilmu dan berakal. Nabi saw bersabda :
“Agar supaya orang-orang yang berilmu dan berakal di
antara kalian berada setelahku (di belakangku).” 2)
Bahkan dalam kubur, As-Sabiqunal Awwalun didahulukan dari
yang lain. Contohnya dalam peperangan Uhud. Banyak para sahabat yang meninggal
dalam peperangan tersebut. Waktu itu kaum muslimin terpaksa harus menguburkan
dua atau tiga orang sekaligus dalam satu iang kubur. Adalah Rasulullah saw
tidak lalai akan prioritas bagi Ashabul Qur’an –mereka yang hafal Al-Qur’an—.
Beliau memerintahkan agar mereka yang lebih memahami danpaling banyak hafalan
Al-Qur’annya didahulukan dari yang lain.
Makanya, suatu wilayah –sesudah Qa’idah shalabah
wujud—tidak memerlukan lagi pemimpinlebih dari dua atau tiga orang untuk
mengendalikan tata pemerintahan wilayah itu secara keseluruhan. Jazirah Arab
tidak memerlukan lagi –sesudah orang-orangnya Murtad sepeninggal Rasulullah
saw—kekuatan selain kepada Qa’idah Shalabah yang bermarkas di Madinah. Qa’idah
Shalabah inilah yang berhasil mengembalikan seluruh masyarakat di Jazirah Arab
kepada Dienullah.
Abu Bakar berkata menanggapi penentangan sebagian kaum
muslimin di Jazirah Arab yang telah murtad karena tidak mau membayar zakat :
“Adakah mereka hendak menggerogoti perintah agama sedangkan saya masih hidup?
Sehingga tidak ada lagi tempat untuk mengumandangkan kalimat tauhid selain di
Madinah Munawarah, Masjidil Haram dan Masjid Jawatsah di Bahrain.
Tatkala tentara Islam berhasil menaklukkan Irak, maka Umar
bin Khatthab melihat orang-orang di sekelilingnya. Dia tidak mendapati
sosok/figur sahabt yang lebih utam dari Ammar bin Yasir, Salman Al-Farisi dan
Abdullah bin Mas’ud. Maka dia mengirim ketiga orang ini ke Irak dan memberikan
surat kepada penduduknya :
“Sesungguhnya aku mengirimkan kepada kalian Ammar bin
Yasir untuk menjadi amir kalian, dan Abdullah bin Mas’ud sebagai pengajar dan
penasehat. Sesungguhnya kedua orang ini termasuk sahabat Nabi saw yang terbaik.
Aku sendirilah yang memilih kedua orang tersebut untuk memimpin kalian.”
Suatu saat penduduk Irak dan penduduk Syam datang kepada
Umar. Umar memberikan santunan kepada mereka. Tapi santunannya kepada penduduk
Syam sedikit lebih banyak daripada penduduk Irak. Maka orang-orang yang datang
dari Irak mencela –tindakan Umar—dalam hati mereka. Lantas Umar berkata :
“Wahai penduduk Irak, adakah kalian dongkol karena aku memberikan santunan
kepada pendudu Syam lebih dari kalian. Bukankah aku melebihkan kalian dengan
Ibnu Ummi ‘Abd? Bukankah aku telah mengirim Abdullah bin Mas’ud kepada kalian?
Kenapa kalian mencela diriku hanya karena harta yang tak seberapa itu? Padahal
aku telah mengirim Ibnu Ummi ‘Abd –yakni Abdullah bin Mas’ud— kepada kalian.
Seseorang yang dipuji Nabi saw dengan kata-kata :
“Barangsiapa ingin mendengar bacaan Al-Qur’an yang empuk
dan segar seperti saat turunnya, maka silakan ia mendengarnya dari Ibnu Ummi
‘Abd.” 3)
Kisra jatuh dan tentara Ar-Rahman masuk istananya. Katanya
yang pertama kali diucapkan oleh Sa’ad bin Waqqash, selaku panglima pasukan
muslimin adalah ayat :
“Alangkah banyaknya taman dan mata air yang mereka
tinggalkan, dan kebun-kebun serta tempat-tempat yang indah-indah, dan
kesenangan-kesenangan yang mereka menikmatinya, dan kesenangan-kesenangan yang
mereka menikmatinya, demikianlah.Dan Kami wariskan semua itu kepada kaum yang
lain.” (QS. Ad-Dukhan : 25-28)
Dalam sejarah penaklukan Islam, peristiwa paling
ajaib/luar biasa yang pernah terjadi di dalamnya adalah saat pasukan yang
dipimpin Sa’ad menyeberangi sungai Tigris (di Irak). Sungai tersebut sedang
banjir dan memuntahkan buihnya. Akan tetapi tak ada sesuatu yang hilang dari
pasukan yang berjumlah 30.000 orang tersebut selama diombang-ambingkan oleh air
yang deras itu selain hanya satu buah gelas saja. Menurut riwayat Ibnul Atsir
dan Ibnu Katsir dalam kitab “Bidayah” dan “Tarikh”nya, mereka berjalan di atas
air sungai. Ini adalah kisah yang paling aneh dalam sejarah. Singkat kata,
ketika pasukan Persia melihat pasukan Islam berjalan di atas air sungai, mereka
lari tunggang langgang karena takut dan ngeri seraya berteriak-teriak “Dewana
Amadan, dewana amadan.” Ini adalah kalimat dalam bahasa Persia yang berarti
“Orang-orang gila datang, orang-orang gila datang!”
Akan tetapi di sana ada perkara lain yang lebih
menakjubkan dalam sejarah Islam, kalau soal menyeberangi sungai Tigris tanpa
kehilangan apapun dari barang-barangnya merupakan peristiwa yang aneh dan
ajaib. Maka ada peristiwa lain yang labih ajab lagi, yakni mereka menceburkan
diri dalam lautan peradaban Persia dan Romawi tanpa kehilangan sedikitpun dari
akhlak mereka … ini adalah masalah yang amat sangat menakjubkan.
Konon, Kisra raja Persia –sebagaimana diceritakan dalam
Tarikh Daulah Sasaniyah (sejarah raja-raja Persia)— menangis siang dan malam.
Maka para tema pengiringnya bertanya : “Apa yang membuat tuan menangis?” Dia
menjawab dengan rasa sedih : “Saya tak mempunyai lagi selain seribu tukang
masak, seribu pelatih rajawali dan seribu teman pengiring. Maka bagaimana saya
bisa hidup hanya dengan seribu tukang masak dan seribu pelatih rajawali?”
Sedangkan orang yang duduk menggantikan tempatnya,
mengendalikan pemerintahan negeri Persia hanya seorang diri –dia adalah Salman
Al-Farisi--. Suatu hari seorang tukang bangunan datang menemuinya dan
menawarkan jasa : “Tuan mau mendirikan rumah?” Namun orang tersebut ditanya
oleh Salman : “Tahukuah kamu bagaimana membangun rumah untuk saya?” Dia
menjawab : “Tahu. Setinggi tubuh tuan apabila tuan berdiri dan sepanjang tubuh
tuan apabila tuan berbaring.” Rupanya kamu telah tahu.” Kata Salman. Biaya
hidup Salman, yang menggantikan tempat Kisra –yang menangis karena tidak mampu
hidup hanya dengan seribu tukang masak--, sehari hanyalah satu Dirham … tiap
hari Salman memegang uang tiga Dirham. Satu Dirham untuk membeli daun kurma dan
buluh yang nantinya dipakai untuk membuat keranjang dan barang-barang anyaman
dan kemudian dijuanya. Satu Dirham untuk biasa/nafkah hidupnya, dan satu Dirham
lagi untuk shadaqahnya. Malam hari dia bekerja membuat keranjang dan
barang-barang anyaman yang lain. Dan pagi berikutnya dia menjual barang-barang
tersebut seharga tiga Dirham. Tiga Dirham … satu Dirham untuk shadaqahnya, satu
Dirham untuk nafkahnya dan satu Dirham lagi untuk membeli bahan bagi
barang-barang anyamannya.
D. Keteguhan dalam Meyakini Prinsip
Pemimpin dakwah tegak berdiri menyeru manusia supaya
meyakini tauhid –tauhid dengan macam-macamnya--. Dia mendidik dan menggembleng
para pengikutnya bukan secara teoritis, tapi mendidik dan menggembleng mereka
meyakini prinsip tauhid secara amali/praktis melalui berbagai kejadian dan
peristiwa. Di mana kejadian dan peristiwa yang mereka hadapi itulah yang
menjadi ajang untuk membuktikan keyakinan mereka terhadap prinsip tauhid.
Tak mungkin bagi generasi inti yang pertama, yang menjadi
sentral berhimpunnya seluruh umat Islam, diberi kekuasaan di atas dunia jika
tidak diejawantah/digembleng lebih dulu dengan berbagai kesulitan, ujian dan
cobaan. Oleh karena itu, ketika Imam Asy-Syafi’i ditanya : “Mana yang lebih
layak bagi seorang hamba diberi kekuasaan (dimasukkan surga) atau diuji ?” Maka
beliau menjawab : “Tidak akan mungkin dia diberi kekuasaan (dimasukkan surga)
sampai dia diuji lebih dahulu.”
“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal
belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum
kamu Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan
(dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang
beriman bersamanya: "Bilakah datangnya pertolongan Allah."” (QS.
Al-Baqarah : 214)
Cobaan … kemiskinan … kesengsaraan menghimpit dada
golongan muslim dan pemimpinnya,
Muhammad saw, sehingga hati mereka naik menyesak sampai ke tenggorokan.
Sampai-sampai Rasul berkata : “Bilakah pertolongan Allah itu tiba?”
Ya Allah! Cobaan … cobaan sampai mendorong Nabi saw
berkata : “Kapankah pertolongan Allah itu tiba?”
Rasulullah saw marah sekali ketika ada sahabat yang tidak
sabar (tergesa-gesa) dengan marhalah ujian, pembentukan dan penggemblengan.
Yang mana dari hasil marhalah ini tidak bisa tidak akan menjadi kerangka bagi
bangunan Islam nantinya.
Suatu hari Khabbab bin Al-Arat datang menemui Rasulullah
saw yang pada waktu itu sedang berbaring di serambi Ka’bah berbantalkan
sorbannya. Khabbab mengadu kepadanya :
“Ya Rasulullah, tidakkah engkau memintakan pertolongan
untuk kami? Tidakkah engkau mau berdoa untuk kami?” Lalu beliau duduk, wajahnya
merah padam karena marah, lantas beliau menjawab : “Dahulu orang-orang sebelum
kamu, ada yang digergaji dari atas kepalanya sehingga terbelah menjadi dua,
namun yang demikian itu tak memalingkan dia dari agamanya. Ada pula yang
dikupas dagingnya dengan sisir besi higga nampak tulangnya, namun yang demikian
itu tetap tidak memalingkan dia dari agamanya. Sungguh Allah benar-benar akan
menyempurnakan agama ini –dengan membuatnya berkuasa di atas dunia— sehingga
seorang pengendara dapat berjalan dari Shan’a ke Hadramaut tanpa ada yang
ditakutkannya kecuali kemurkaan Allah, atau mengkhawatirkan serigala akan
menerkam dombanya. Akan tetapi kamu ini terburu-buru.”
Jika bangunan besar, seperti gedung bertingkat yang
terdiri dari dua puluh lantai, pondamennya adalah susu dan garam, maka ia akan
segera runtuh dan berantakan. Bangunan itu pondamennya haruslah dalam dan dicor
dengan semen dan besi. Apabila pondamennya bertambah kuat, maka kekuatan untuk
menyangga bangunan yang berdiri di atasnya semakin bertambah pula. Jadi semakin
bertambah kekokohan suatu pondamen akan semakin menambah tingkat bangunan yang
bisa disangganya.
E. Tarbiyah dan Bina' (Pendidikan dan Pembentukan)
Sesungguhnya orang-orang yang menimbulkan kesangsian –kaum
muslimin— terhadap Jama’ah Islam, maka sesungguhnya mereka menghancurkan Islam
tanpa mereka sadari. Sesungguhnya jama’ah Islam merupakan asas vital yang tidak
mungkin bisa dikesampingkan keberadaannya. Sesungguhnya mereka yang hendak
melewatkan begitu saja marhalah tarbiyah dan bina’, mereka tidak mengerti
bagaimana agama Islam bisa tegak untuk kali yang pertama. Boleh jadi mereka mau
langsung mengangkat senjata. Akan tetapi perlu diketahui, bahwa sebelum mereka
mendapatkan tarbiyah, maka senjata yang ada di tangan mereka justru malah akan
menjadi bumerang di masa mendatang
begitu mereka terkena bujukan-bujukan syetan. Moncongnya tidak terarah lagi
kepada musuh-musuh Allah, akan tetapi mengarah ke kepala orang-orang beriman,
ke dada para wanita dan anak-anak. Atau bisikan jahat syetan-syetan mereka
mengalir dalam urat nadinya sehingga memandang orang-orang beriman merupakan
bahaya laten bagi kemuliaan mereka dan bagi kekuasaan mereka.
Realita ini dapat kalian temui dengan jelas dan terang di
negeri Afghanistan. Bagaimana dengan keadaan mereka yang mendapatkan tarbiyah
dan keadaan mereka yang tidak mendapatkan tarbiyah dalam perjalanan jihad
mereka.
Para aktivis dakwah Islam yang memegang kendali
kepemimpinan dan yang mencetuskan jihad mubarak ini, apabila mereka berada di
front-front, maka front-front tersebut serasa dipenuhi dengan rasa
persahabatan, persudaraan, cinta kasih dan kelemahlembutan. Pada waktu jihad
Afghan bangkit untuk yang pertama kalinya, maka sebagian manusia pada berkumpul
mengitari pemuka kampungnya, dan mengikuti apa yang mereka sebut
Arbab/tuan-tuan pemimpin atau wakil atau sebutan-sebutan lain bagi para pemuka
pada masa pemerintahan raja –Zahir Syah--. Pada permulaannya mereka berhasil
mewujudkan kemenangan-kemenangan besar. Akan tetapi sesudah itu, setelah
berlalu beberapa tahun, setelah mereka berhasil merontokkan beratus-ratus tank
Rusia, secara tiba-tiba mereka menjadi tentara Rusia, menjadi antek-anteknya
dan menjadi milisi-milisi yang menjalankan rencana-rencana mereka. (Inilah
keadaan orang-orang yang tidak mendapat sentuhan tarbiyah sebelum mereka terjun
dalam jihad –pent.)
F. Pentingnya Jama'ah Islam
Jika demikian perlu adanya harakah Islam sebelum kita
mengangkat senjata. Harakah Islam sangat penting dan vital dan tidak mungkin
dilewatkan. Marhalah dasar yang tidak mungkin kita abaikan. Kita tidak akan
mengabaikan melainkan jika kita mengabaikan pembentukan agama Islam itu
sendiri. Oleh karenanya, agama Islam tidak akan mungkin bisa tegak kalau tidak
dengan jama’ah. Dan jama’ah Islam memberikan tarbiyah kepada para anggotanya …
kemudian jama’ah akan menjadi sumbu pemantik dan detonator (peletup) yang
meledakkan daya/kekuatan umat. Apabila daya ini meledak, maka jihad akan pecah
di mana-mana. Kemudian sesudah mengalami cobaan yang lama, sesudah menghadapi
berbagai bencana dan musibah, sesudah darah, raga dan syuhada’ berjatuhan,
sesudah merasakan kenyangnya perjalanan panjang dan penuh kepahitan, maka saat
itulah Allah memberikan kekuasaan kepada sisa golongan yang masih hidup dan
menjadikan mereka sebagai perisai-perisai bagi kekuasaan-Nya dan sebesar
orang-orang yang dipercaya untuk menjalankan syari’at-Nya … kenapa demikian?
Sebab Allah Maha Mengetahui dan Maha bijaksana. Tidak menghendaki agama-Nya
mengalami kehancuran karena tangan-tangan kaum muslimin atau mereka yang
mendapatkan gelaran orang-orang yang Islam. Orang-orang yang memegang kendali
kekuasaan akan diberi tnggung jawab untuk memimpin berjuta-juta manusia. Jika
mereka bukan merupakan orang-orang yang dapat dipercaya untuk melindungi harta
benda, kekayaan dan darah, pasti darah kaum muslimin akan mengalir di tangan
mereka, kehormatan kaum muslimin akan ternoda di tangan mereka. Dan mereka
merupakan bahaya bagi hukum Islam!!!
G. Harakah Islamiyah Ibarat Detonator
Mesti ada pembentukan, dan pembentukan –pembangunan
Islam—tidak akan bisa ditegakkan kalau tidak melalui jama’ah Islam. Jama’ah
Islam inilah yang nantinya akan meledakkan potensi umat –seperti halnya
detonator meledakkan bahan peledak--. Umat adalah bahan bakar dan jama’ah
adalah apinya. Jama’ah/Harakah Islam adalah sebagai pengarah, pemandu dan
penuntun jalannya utmat Islam. Mereka sebagai ujung tombak,s bg pasukan
terdepan, sebagai pelopor dalam menghadapi kekafiran. Mereka akanberjuang
paling depan sampai Allah membuat mereka berkuasa di atas bumi. Dan kemudian,
jama’ah Islam inilah yang nantinya memegang kendali kekuasaan.
Karena itu, saya selalu menanyakan dalam jihad Afghan ini.
Siapakah yang menjadi pemimpin di wilayah fulan? Dan siapakah yang menjadi
komandan di wilayah fulan? Apabila mereka memberikan jawaban kepada saya : “Dia
termasuk aktivis jama’ah Islam yang lama.”, maka hati saya senang, perasaan
saya lega dan jiwa saya merasa tentram. Karena di sana masih ada sisa
orang-orang shaleh yang mungkin bisa dipercaya untuk menjaga harta kekayaan,
kehormatan dan darah.
Rasulullah saw serta para sahabat –sesudahnya—tidak pernah
memberikan kekuasaan kepada para tabi’in untuk menjabat Amir (gubernur) dan
Qa’id (panglima perang). Kepemimpinan perang berada di tangan As-Sabiqunal
Awwalun dari sahabat Muhajirin dan Anshar. Saya tidak melihat ada panglima
perang dari kalangan tabi’in dengan adanya para sahabat pada masa pemerintahan
Khulafa’ur Rasyidin. Oleh karena para sahabat –semoga Allah meridhai
mereka—bagaimanapun juga merupakan “Mata uang standart” (generasi inti) dan
“Emas kuning” yang menjaga validitas uang-uang kertas serta mata-mata uang
harian yang beredar dan berada di tangan orang. Mereka, orang-orang, ingin
mendapatkan mata uang ini … Demikian juga, kaum muslimin saat itu senantiasa menghitung-hitung
berapa jumlah Veteran Badar yang masih hidup. Bisa dibaca dalam tarikh Islam,
bagaiaman mereka sangat memperhitungkan kehadiran As-Sabiqunal jAwwalun …
misalnya saja : Peperangan ini diikuti oleh 100 orang Veteran Badar … tak
tersisa lagi seorangpun dari Veteran Badar … masih ada Veteran Uhud, si fulan,
si fulan dan si fulan dan seterusnya …. Masih tinggal dari Ahli Bai’atur Ridwan
fulan … kenapa demikian? Sebab mereka ibarat “Mata uang standart” yang menjaga
validitas berjuta-juta uang kertas yang beredar di pasaran. Jika “Mata uang
standart” dan “Emas kuning” ini hilang, maka mata uang kertas tadi tak ada
nilainya lagi. Kertas-kertas yang dicetak di dalam percetakan tidak akan punya
nilai lagi dipasar dunia. Dan kertas itu tidak bisa dipakai untuk membeli
kertas. –karena sudah tidak ada nilainya—maka dari itu, tidak boleh menyerahkan
amanah kepemimpinan kecuali kepada orang-orang yang memang telah tergembleng
dalam tarbiyah sepanjang dakwah Islam. Di mana mereka mengalami kepahitan dan
menahan kesudahan di atas jalan tersebut. Mereka telah ditempa oleh berbagai
macam ujian dan cobaan, oleh berbagai macam halangan dan rintangan. Hati mereka
menjadi bersih, jiwa mereka bersih dan akhirnya niat mereka betul-betul murni
untuk Allah. Mereka berperang semata-mata untuk meninggikan kalimatullah.
Oleh karenanya, ketika Ali r.a. berhasil jongkok di dada
musuh Allah dan hampir saja memenggal lehernya, mendadak ia berdiri dan
meninggalkannya. Maka mereka bertanya kepada Ali kenapa ia berbuat demikian.
Maka Ali menjawab : “Dia meludahi wajahku dan saya khawatir kalau matinya nanti
dikarenakan oleh emosiku sendiri, padahal saya ingin amal saya semata-mata
hanya karena Allah, maka kutinggalkan ia.”
Tatkala Ali berdiri bersama seorang Yahudi di hadapan Umar
dalam majlis pengadilan, dan kemudian Umar memerintah : “Hai Bapaknya Hasan,
berdirilah di samping lawan sengketamu orang Yahudi ini!”, maka wajah Ali
berubah marah. Setelah sidang selesai. Umar mencerca Ali : “Apakah engkau
merasa marah ketika saya mengatakan padamu : “Duduklah di samping Yahudi ini!”
Jawab Ali : “Ya, saya merasa marah ketika engkau mengatakan pada saya
“Berdirilah kamu hai Yahudi!” seharusnya engkau mengatakan pada saya :
“Berdirilah engkau hai Ali di samping Yahudi ini!”
Hati-hati yang bersih dari segala tendensi dan hanya
mengharapkan keridhaan Allah. Tatkala Allah menguji mereka, mereka bersabar.
Dan tatkala Allah mengetahui bahwa tidak ada keinginan apapun dalam hati mereka
–bahkan perasaan ingin agar dakwah ini menang lewat tangan mereka--, maka
tahulah Allah bahwa mereka telah menjadi orang-orang yang dapat dipercaya untuk
menjalankan syari’at-Nya. Akhirnya Allah memberikan kekuasaan kepada mereka di
atas bumi ini.
Tatkala Hudzaifah menerima kepercayaan untuk memegang
urusan harta di wilayah timur, dia mengirim risalah kepada Umar. Kata Hudzaifah
dalam risalahnya : “Wahai Umar, demi Allah. Segeralah engkau ambil hartamu dari
tanganku, karena sesungguhnya aku melihat harta itu tampak menggoda seperti
gadis cantik.”
Adalah mereka menghilang apabila datang sesuatu yang
diinginkan orang, akan tetapi pabila datang ketakutan mereka hadir di sana
Mereka tidak berjingkrak-jingkrak tatkala tombak mereka
mengenai musuh, dan tidak pula menjadi cemas dan risau hati apabila mereka
sendiri yang kena
Pabila datang zaman kejayaan mereka bersembunyi dan
terlihat mereka pabila mata manusia sudah tak lagi memperhatikannya
Mereka jinak bak merpati di Baitul Haram,
Dan bak singa jika dirampas anaknya.
H. Pengalaman Jihad
Jihad Afghan bisa dijadikan sebagai pengalaman sangat
berharga bagi harakah-harakah Islam di masa sekarang. Harakah Islamiyah di
negeri Afghan terhitung sebagai harakah yang paling banyak mendatangkan hasil
dan pengaruh di muka bumi. Sesugu yang tidak diperoleh oleh harakah lain
manapun di belahan bumi.
Memang benar kalau Harakah Islamiyah di Afghanistan adalah
salah satu anak di antara anak-anak lain yang lahir dari induk Harakah
Islamiyah yang tumbuh di negeri Mesir dan di negeri Makkah. Akan tetapi karena
harakah tersebut dihadapkan oleh berbagai macam situasi, pengalaman dan
kejadian menyebabkan mereka banyak mendatangkan hasil dan banyak memberikan
sumbangan kepada orang yang mau mempelajari pengalaman ini secara mendalam. Dan
sudah sepantasnya bagi setiap orang Islam di bumi sekarang ini yang berusaha
menegakkan Islam sekali lagi, untuk mempelajari pengalaman itu secara
perlahan-lahan –dengan cara seksama—
Para pengikut Harakah Islamiyah di negeri jAfghanistan
telah matang melalui pahitnya pengalaman, melalui ujian dan cobaan, dan melalui
ketatnya penyaringan.
Pemuda macam Ir. Basyir Ahmad atau orang tua macam
Jalaluddin Haqqani atau komandan yang kuat macam Ahmah Syah Mas’ud, mereka
telah siap untuk memegang kekuasaan. Bukan dengan kehendak mereka sendiri.
Mereka tidak pernah belajar administrasi lewat Fakultas Administrasi dan
Ekonomi. Akan tetapi berbagai macam kejadian dan peristiwa yang mereka hadapi
memaksa mereka untuk menemukanpemecahan bagi stiap problem yang ada. Dia
sendiri yang menjadi Perdana Menteri, Panglima Pasukan, Menteri Kesehatan, Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan, Menteri Urusan Sosial, Menteri Perhubungan, Menteri Keuangan dan
menteri untuk urusan apa saja. Sebab kasus-kasus yang ada memaksa dia untuk
mencari pemecahannya. Menyelesaikan problem kekurangan bahan makan di wilayah
Thohor, problem perselisihan di wilayah Badakhsyan, problem orang-orang luka di
wilayah Kunduz, problem tempat-tempat pengajaran di wilayah Kohestan dan
sebagainya. Dia dipaksa untuk menemukan pemecahannya, apapun jua bentuk
pemecahannya, pemecahan bagi problem kesehatan, pemecahan bagi problem
pendidikan, pemecahan bagi problem sosial dan pemecahan bagi problem pangan.
Dia sendiri yang membentuk Dewan Kementrian. (Dia di sini yang dimaksud adalah
Ahmad Syah Mas’ud, pent.)
Berbagai kejadian datan gmenemui saya dan bertanya :
“Apakah orang-orang Afghan mampu memerintah negerinya?” Maka saya jawab : “Ya,
mereka mampu memerintah negerinya sendidi. Bagaimana mereka tidak mampu
memerintahnya, sedangkan mereka sudah terbiasa menerima tentara, perlengkapan-perlengkapan,
materi, menerima kunjungan kedatangan orang yang cinta jihad, mereka juga biasa
memberi pengarahan, bantuan, usulan dan pemecahan masalah. Pertama : Pengalaman
jihad Islam di negeri Afghanistan merupakan pengalaman sosial yang mengakar
dalam-dalam di jantung masyarakat. Sebab pengalaman-pengalaman Harakah
Islamiyah di dunia Islam selama ini bertempat dan hidup dalam masyarakat yang
sempit, bersih dan jernih sejernih air dari langit. Akan tetapi mereka belum
pernah dipaksa untuk bersinggungan (bergesekan) dengan manusia di sekitarnya.
Ya Allah, Cuma sedikit sekali di antara mereka yang mengalaminya, yakni melalui
pengalaman mereka di dalam penjara. Adapun di Afghanistan, front-front
terbentuk dari seluruh golongan masyarakat. Dimasuki oleh orang-orang Islam
awam dan oleh wali-wali Allah, dimasuki oleh pemimpin-pemimpin besar dan oleh
tentara-tentara yang lemah, dimasuki oleh orang-orang yang bersikap masa bodoh
dan oleh orang-orang yang loyalist dan berdisiplin tinggi. Jadi seluruh lapisan
masyarakatlah yang membentuk front-front perlawanan Islam di Afghanistan.
Sehingga sang pemimpin harus menderita kepahitan seperti kepahitan yang ia
rasakan sepanjang tahun-tahun kepemimpinannya. Dia senantiasa berfikir,
bagaimana caranya mengangkat lapisan masyarakat yang berbeda-beda tingkat
pemahaman dan pengalamannya terhadap Islam? Apa yang mungkin diperuat dari
lapisan masyarakat yang majemuk ini? Yang ini lalai mengerjakan kewajiban, yang
ini melampaui batas, yang ini selalu mengerjakan shalat malam, yang ini tidak
mengerjakan shalat nafilah, yang ini tidak mengerjakan shalat shubuh tepat pada
waktunya, yang ini mengisap rokok, yang ini mencuri, yang ini berzina …
bagaimana mereka membuat gabungan dari ti pe manusia yang beraneka ragam tadi
menjadi front perlawanan yang selama sepuluh tahun berturut-turut mampu
menghadapi kekuatan terbesar, tergarang dan terangkuh di bumi? Ini juga
terhitung sebagai salah satu hal yang positif dari seian banyak karya raksasa
yang telah disumbangkan Harakah Islamiyah di Afghanistan yang belum pernah
dicapai oleh Harakah Islamiyah di belahan bumi manapun.
Kedua : Kesabaran dalam Al-Qur’anul Karim menurut
perkiraan dan imajinasi kami saat ini –yang mempelajarinya lewat Harakah
Islam—tiada lain ialah sabar dalam menghadapi siksaan di dalam penjara. Adapun
jihad yang timbul di negeri Afghanistan, benar-benar telah memberikan
pengalaman yang lebih luas, lebih matang dan lebih dalam tentang arti kesabaran
itu sendiri. Antara lain ialah sabar dalam ribath. Sabar dalam ribath jauh lebih
berat dibandingkan dengan sabar dalam penjara. Sebab di dalam penjara,
seseorang dipaksa oleh kenyataan bahwa dia memang harus bersabar, karena dia
tidak mempunyai alternatif lain kecuali harus bersabar. Adapun kesabaran di
front-front pertempuran, maka hal itu tergantung di tangannya. Dia bisa
meninggalkan front tersebut kapan saja di amau. Dan dia bisa bersabar di sana
kapanpun dia mau. Sabar di dalam front amatlah susah. Oleh karenanya ribath di
dalam Al-Qur’anul Karim didahului dengan dua perintah untuk bersabar :
“Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan
kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah beribath (bersiap siaga di daerah
perbatasan dengan musuh) dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu beruntung.”
(QS. Ali Imran : 200)
Jadi pengalaman jihad Afghan merupakan pengalaman yang
unik, pengalaman yang dalam dan pengalaman yang visual. Maka sudah sepantasnya
bagi dunia Islam dan semua orang yang berupaya untuk mengembalikan tegaknya
agama Islam sekali lagi, untuk memperhatikan pengalaman tersebut, memikirkan
serta merenungkannya dalam-dalam. Sebab pengalaman Harakah Islam yang bersih
yang pernah ada, tidak dapat bertahan lama di bawah kezhaliman penguasa
thaghut. Meski kecemburuan itu tetap ada di dalam hati mereka. Sementara di
sisi lain kita melihat dakwah Islam tidak sampai masuk ke pedalaman
Afghanistan. Namun demikian Harakah Islam di sana tidak mau masuk ke dalam tata
pemerintahan dan jabtan-jabatannya, sehingga apabila mereka mengambil suatu
ketetapan dalam suatu urusan, tidak lagi dipengaruhi oleh kekhawatiran akan
kehilangan jabatan dan tugasnya ataupun menimbang-nimbang lebih dulu antara
manfaat dan kerugiannya. Manfaat yang didapat apabila jabatan-jabatan tersebut
tetap berada di tangan Harakah Islam, dan kerugian yang didapat apabila jabatan-jabatan
tersebut dikorbankan dan kemudian melawan thaghut. Harakah Islam sejam
permulaannya sampai sekarang tidak pernah memperoleh sedikitpun harta dunia dan
kesenangannya. Mereka tetap bertahan tapi jauh dari tekanan, jauh dari
kecemburuan. Kecemburuannya tetap seperti sedia kala –yakni ada di dalam
hati—Kata-kata, bimbingan dan petunjuk-petunjuk hanyalah meluncur melalui
helaan nafas saja tanpa ada tekanan, tanpa ada beban di atas bahu dan pundak.
Sekali lagi saya katakan secara singkat : “Agam aini tidak
akan bisa tegak sekali lagi kalau tidak melalui Harakah Islam. Sedangkan
Harakah Islam sendiri haruslah memperhatikan soal tariyah dan bina’. Dan
pelaksanaan dari pada tuntutan itu tidaklah bisa berlangsung dalam waktu yang
singkat.”
Ketiga : Mereka yang menimbulkan kesangsian pada driri
Umat Islam terhadap Harakah Islam, maka sesungguhnya mereka telah membuat
manusia yang menyangsikan terhadap agama itu sendiri dan juga terhadap
kepantasan/kelayakannya untuk kembali hidup, untuk membangun tata dunia haru
dan untuk etap harus eksis sampai akhir zaman. Makany, sekarang ini kita
menemui kenyataan bahwa negeri-negeri –yang penduduknya beragama Islam—berusaha
dengan sungguh-sungguh untuk melemparkan panahnya kepada seluruh Harakah Islam
dari satu busur. Dan panah-panah mereka tepat mengenai sasarannya. Mereka
mengatakan : “Kami mau Islam dan cinta Islam akan tetapi kami tidak ingin
mereka yang fanatik dan fundamentalis.” Mereka menimbulkan keragu-raguan
terhadap dakwah Islam dan kepemimpinannya agar supaya umat Islam berputus asa
dan hilang harapannya akan kemungkinan agama Islam ini kembali sekali lagi
untuk mengatur dunia. Dan cara tersingkat/terpintas untuk memutuskan harapan
Islam dari kelayakannya untuk kembali memimpin hidup manusia adalah dengan cara
menimbulkan keraguan umat Islam terhadap para juru dakwah. Jika umat Islam
telah ragu dan berputus asa, maka tidak akan berarti lagi di sana upaya Harakah
Islam untuk menegakkannya.
Keempat : Harakah Islam tidak dapat menegakkan hukum Islam
sendirian. Harakah Islam ibarat detonator, sumbu dan pemantik yang akan
meledakkan daya/kekuatan umat. Harakah Islam biasanya dan selamanya
beranggotakan sedikit orang, sebab orang-orang yang mulia jumlanya sedikit.
Umatlah yang bisa menjadi bahanbakar pertempuran. Setelah Harakah Islam
berhasil menjadikan diri mereka sebagai sumbu, pemantik dan detonator dan
kemudian meledakkan kekuatan umat –yang dalam hal ini ibarat bahan peledak--,
maka untuk seterusnya merekalah yang akan menjadi pengarah, pemandu, pembimbing
dan pemimpin.
I. Amanah Kekuasaan
Sungguh merupakan bahaya besar apabilah Harakah Islam
memperoleh kemenangan, lalu mereka memberi jalan kepada pihak lain untuk
memegang kekuasaan. Sebab –orang-orang seperti— mereka tidak akan bisa menjadi
orang-orang yang dapat dipercaya –meski mereka berusaha bagaimanapun—untuk
menjaga harta, kehormatan, nyawa dan darah…. Harakah Islam yang mula-mula
mestilah menyisakan orang-orangnya meskipun sedikit. Mereka yang tertinggal
itulah yang harus menjadi pemegang kekuasaan. Sebab mereka telah masak/matang
oleh lamanya marhalah ujian dan panasnya api cobaan.
Karena itu, saya selalu bertanya : “Berapa orang yang
masih ada di sekitar Sayyaf, Hekmatiyar, Rabbani dan Yunus Khalis di antara
pengikut Harakah Islam yang mula-mula, yang telah terbina dan hidup di atas
ujian dan cobaan sehingga mereka matang karena panasnya?! Jika saya melihat
jumlah mereka masih banyak, maka hati saya lega dan gembira. Sebaliknya, jika
saya melihat hanya buih yang semakin bertambah di sekitar mereka, maka hati
saya menjadi sesak dan tertekan, karena harapan bisa jadi akan semakin jauh
dari kenyataan.
Pertama-tama menaruh harapan kepada Allah, kemudian kepada
mereka-mereka yang telah lama ujian musibah mereka, lama ujian jihad mereka dan
lama pula penderitaan mereka di atas jalan dakwah. Singkatnya, mereka adalah
tumpuan harapan –sesudah Allah--.
Saya cukupkan sampai di sini, dan saya mohon ampunan Allah
untuk diri saya dan diri kalian.
J. Khotbah Kedua
Segala puji bagi Allah kemudian segala puji bagi Allah.
Mudah-mudhan kesejahteraan dan keselamatan, senantiasa dilimpahkan kepada
Rasulullah junjungan kita Muhammad bin Abdullah saw, serta kepada keluarga,
sahabat dan orang-orang yang mengikutinya.
“Sesungguhnya telah berlalu sebelum kamu sunnah-sunnah
Allah. Karena itulah berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah … (QS. Ali
Imran : 137)
Allah ‘Azza wa Jalla menjadikan sejarah di masa lalu
sebagai ‘ibrah/pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai mata hati. Kemudian
Allah melanjutkan firman-Nya dalam ayat-ayat Al-Qur’an yang lain :
“Sesungguhnya pada yang demikian itu, terdapat tanda-tanda
kekuasaan Allah bagi orang-orang yang berakal.” (QS. Thaha : 54)
“Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat pelajaran
bagi orang yang takut (kepada Rabbnya).” (QS. An-Nazi’at : 26)
“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
peringatan bagi orang-orang yang mempunyai hati atau yang menggunakan
pendengarannya, sedang dia menyaksikannya.” (QS. Qaf : 37)
K. Kesimpulan
Islam tidak akan tegak melainkan dengan cara sebagaimana
tegaknya untuk pertama kali melalui tangan Rasulullah saw … tiadalah Islam
tegak pada kali yang pertama melainkan melalui perjuangan dakwah tauhid yang
murni. Dakwah tauhid yang menghancurkan berhala-berhala di dalam hati sebelum
menghancurkannya di alam wujud.
Tauhid tidak mungkin bisa difahami dengan jalan membaca
kitab, akan tetapi difahami dengan jalan membaca peristiwa dan kejadian secara
riil serta dengan jalan menghadapi ujian dan cobaan. Setiap orang yang jauh
dari cobaan, tidak mungkin dapat memahami Dienullah dan tidak mungkin dapat
menjadi orang yang dapat dipercaya untuk mengemban syari’at Allah sekiranya
amanah tersebut diletakkan di atas kedua bahunya untuk dia laksanakan.
Oleh karenanya, kita melihat kenyataan bahwa
pemerintah-pemerintah –di jazirah Arab--
banyak meminta bantuan kepada para penghafal nash-nash (Al-Qur’an dan
hadits), para penghafal matan-matan kitab dan hasyiyah-hasyiyah untuk
mengkafirkan para aktivis dakwah Islam ketika mereka bermaksud menggantung
leher mereka di tiang gantungan.
Kenapa demikian? Bukankah para ulama tadi menghafal lebih
banyak, bahkan berlipat ganda, daripada ap yang dihafal oleh para juru dakwah.
Mereka menghafal fiqh dan Ilmu-ilmu syari’at lipat kali ganda daripada apa yang
dihafal oleh para juru dakwah …. Sebab tauhid telah bersemayam dalam hati para
juru dakwah melalui proses ujian dan cobaan serta melalui berbagai tantangan
yang mereka hadapi. Sementara yang itu –maksudnya para ulama yang penulis
bicarakan—mengenal tauhid, Al-Qur’an dan hadits serta fiqh hanya melalui
bacaan, buku dan kitab.
Memang benar demikian. Kita dapati realita tersebut pada
diri juru dakwah macam Sayyid Quthb dan para juru dakwah lain. Ketika Sayyid
Quthb digiring ke tiang gantungan, seorang ulama Al-Azhar maju ke depannya!!
–termasuk bagian dari berita acara hukuman mati ialah pelaksanaan hukum
tersebut harus disaksikan oleh salah seorang Syaikh (ulama besar). Syaikh tersebut tugasnya mendiktekan
kalimattauhid kepada orang yang hendak digantung--. Syaikh tadi maju ke depan
Sayyid Quthb dan mengatakan padanya : “Sayyid Quthb.” “Ya .” Jawab Sayyid
Quthb. “Bacalah Asyhadu anlaa ilaaha illallah.” Katanya. Maka Sayyid menyahut
dengan nada sinis : “Sampai tuan juga –turut campur--? Tuan datang untuk
melengkapi sandiwara ini? Ketahuilah wahai tuan, kami dihukum karena kami
mengucapkan “Laa ilaaha illallah”, sedangkan tuan-tuan makan roti dengan
menjual “Laa ilaaha illallah”.”
Beda, dan sungguh berbeda jauh sekali antara keduanya.
Antara mereka yang makan dengan Laa ilaaha illallah dengan mereka yang dihukum
mati dengan sebab Laa ilaaha illallah.”
Jika demikian, ada perbedaan besar antara tauhid nazhari
(tauhid yang bersifat teoritis) dengan tauhid waqi’I amali (tauhid yang
bersifat realistis dan praktis). Antara orang-orang yang menggoyangkan kekuatan
para thaghut dan tiang singgasana mereka serta menggoncangkan bumi dari bawah
mereka dengan orang-orang yang dipaksa mengeluarkan fatwa jadi-jadian –yakni
yang telah direkayasa—bilamana penguasa thaghut bermaksud menimpakan bencana
kepada Harakah Islam atau bilamana mau menumpasnya.
1)
Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam kisah
mengenai hijrah
2)
HR. Muslim dalam Shahihnya
3)
Shahih Al-Jami’ Ash-Shaghir no. 5961
Tidak ada komentar