Ambisi Terhadap Kedudukan dan Harta
Unknown
04.04
0
Sebuah hadits yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dengan isnad shahih atau hasan.
“Tiadalah dua srigala lapar yang dilepaskan di tengah kawanan domba, lebih merusak kawanan domba tersebut daripada kerusakan yang diakibatkan sifat tamak seseorang kepada harta dan kedudukan terhadap agamanya.” (Shahih Al-Jami’ Ash-Shaghir :5620)
Wahai kalian yang telah ridha Allah sebagai Rabb kalian, Islam sebagai Dien kalian. Ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah 'Azza wa Jalla telah menurunkan di dalam Al-Qur’an Al-Karim :
“Maka apabila malapetaka yang sangat besar (hari kiamat) telah datang.
Pada hari (ketika) manusia teringat akan apa yang telah dikerjakannya, dan
diperlihatkan neraka dengan jelas kepada setiap orang yang melihat. Adapun
orang yang melampaui batas, dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka
sesungguhnya nerakalah tempat tinggal(nya). Dan adapun orang-orang yang takut
kepada kebesaran Rabbnya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka
sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya).” (QS. An-Nazi’at : 34-41)
MANUSIA TERDIRI DARI DUA GOLONGAN
Manusia terdiri dari dua golongan, yaitu : golongan yang menuntut dien dan
golongan yang mencari dunia. Adapun yang mencari dunia, maka dia akan berlari
mengejar dunia, dengan lidah menjulur seperti juluran lidah anjing yang tidak
pernah berhenti. Adapun yang menuntut dien dan akhirat maka dia menjual
dunianya untuk mendapatkan balasan yang baik di negeri akhirat.
Allah Ta’ala berfirman :
“Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan
kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi Al-Kitab), kemudian dia
melepaskan diri dari pada ayat-ayat itu, lalu dia diikuti oleh syaitan (sampai
dia tergoda), maka jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat. Dan kalau Kami
menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu,
tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah,
maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya dijulurkannya
lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia menjulurkan lidahnya (juga).” (QS.
Al-A’raf : 175-176)
Juluran yang tidak akan berhenti di belakang dunia, maksudnya, mengejar
dunia seperti anjing yang menjulurkan lidahnya di belakang sesuatu yang diingininya,
dimana kepentingannya tidak ada putus-putusnya, pintu-pintunya tidak pernah
akan tertutup, airnya tidak mengenyangkan seperti air laut yang asin. Orang
yang haus hendak meminumnya untuk menghilangkan dahaga, akan tetapi air itu
hanya menambah haus saja. Barangsiapa berlari di belakangnya, maka ia hanya
akan membuatnya letih. Berapa banyak sudah para pelamar yang sudah meminangnya,
akan tetapi mereka mati dibunuhnya pada malam pesta perkawinan mereka. Dan
tiada yang dapat selamat dari pada dunia kecuali orang-orang yang memandang
rendah terhadapnya dan menginjak-injaknya dengan kaki mereka. Maksudnya, dunia
merayu dengan segala daya pikat yang dimilikinya, akan tetapi mereka berpaling
daripadanya serta menjauhi jalannya, sebab mereka tahu jalan yang akan
mengantarkan mereka kepada Allah. Dunia hanya menemani badan mereka, akan
tetapi ruh mereka di langit bersama mala’ul a’la (para malaikat).
Ambisi terhadap dunia sumbernya adalah hawa nafsu. Dan hawa nafsu pasti
akan menyesatkan seorang dari jalan Allah.
Allah Ta’ala berfirman :
“Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka
bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan
Allah.” (QS. Shad : 26)
Alangkah banyaknya manusia yang mengikuti hawa nafsu, sehingga merekapun
jatuh tergelincir (ke dalam neraka) …. Allah Ta’ala berfirman :
“Hai Bani Israil, sesungguhnya Kami telah menyelamatkan kamu sekalian
dari musuhmu, dan Kami telah mengadakan perjanjian dengan kamu sekalian (untuk
munajat) di sebelah kanan gunung itu dan Kami telah menurunkan kepada kamu
sekalian manna dan salwa. Makanlah di antara rezki yang baik yang telah Kami
berikan kepadamu, dan janganlah melampaui batas padanya, yang menyebabkan
kemurkaan-Ku menimpamu. Dan barangsiapa ditimpa oleh kemurkaan-Ku, maka
sesungguhnya binasalah ia.” (QS. Thaha : 81)
Kata ‘hawaa’ (hawa nafsu) diambil dari kata ‘hawaa’ yang juga
mempunyai arti jatuh. Oleh karena itu ruhmu mengepak-epak mau bergantung kepada
Mala’ul A’la, sedangkan tanah menarikmu dan syahwat menurunkanmu, sehingga
engkau tenggelam dalam kubangan dunia yang berbau busuk. Engkau jatuh ke
dalamnya dan terbanting di dasarnya.
ANTARA SIFAT WARA’ DAN SIFAT TAMAK
Pada pembahasan yang lalu saya telah menyampaikan bah tentang “Tawakkal
kepada Allah”. Saya katakan bahwa tawakkal berdiri di atas landasan sifat
wara’, dan hawa nafsu berdiri di atas landasan sifat tamak (ambisius). Alangkah
bagus kata-kata yang diucapkan oleh Hasan Al-Basri di masa belianya, ketika ia
menjawab pertanyaan Ali bin Abi Thalib r.a., “Hai anak muda, apa yang
memperbaiki agama dan apa pula yang merusakkannya?” Ia menjawab, “Yang
memperbaiki agama adalah sifat wara’ dan yang merusakkannya adalah sifat
tamak.”
Hawa nafsu membangkitkan sifat tamak sedangkan sifat wara’ tegak dan
bersumber dari sifat zuhud. Di atas sifat zuhud pilar-pilar tawakkal yang kokoh
ditegakkan. Dan dari kubangan hawa nafsu keluar bau udara yang sangat busuk.
Sungguh beda sekali antara orang yang menaiki dunia mendaki puncak ketinggian,
sementara bau harum semerbak di sekelilingnya dengan orang yang tidak keluar
dari tempat tinggalnya kecuali bau busuk dan tidak keluar dari dirinya kecuali
bau tak enak yang hanya membuat mual dan jijik orang yang menciumnya.
AMBISI TERHADAP HARTA DAN KEDUDUKAN
Kami telah menyebutkan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi
dengan isnad shahih atau hasan.
“Tiadalah dua srigala lapar yang dilepaskan di tengah kawanan
domba, lebih merusak kawanan domba tersebut daripada kerusakan yang diakibatkan
sifat tamak seseorang kepada harta dan kedudukan terhadap agamanya.” (Shahih
Al-Jami’ Ash-Shaghir :5620)
Sebab yang melatarbelakangi datangnya (asbabul wurud)
hadits ini adalah peristiwa yang berkaitan dengan Ashim bin Adi yang membeli
seratus saham/bagian dari saham tanah-tanah Khaibar setelah Rasulullah saw
membagi-bagikannya kepada mereka yang turut menaklukkan negeri tersebut. Setiap
sahabat yang ikut berperang mendapatkan satu saham, adapun mereka yang membawa
kuda mendapatkan tiga saham. Saham Khaibar pada waktu itu dibagi menjadi 1800
bagian. Sementara para sahabat yang ikut dalam ghozwah Khaibar, yang juga
dikenal dengan sebutan Ashabul Hudaibiyah” –sebab mereka semua turut bersama
Nabi saw dalam peristiwa di Hudaibiyah, pent.—berjumlah 400 orang. 1200 orang
di antaranya adalah prajurit jalan kaki, dan 200 sisanya adalah pasukan
berkuda. Prajurit berkuda mendapatkan bagian 3 saham, yakni 1 saham untuk
orangnya, 2 saham untuk kudanya. Sedangkan mereka yang berjalan kaki mendapatkan 1 saham. Jadi jumlah total semuanya ada 1800
saham. Beberapa waktu selang setelah pembagian saham itu, Ashim bin Adi membeli
100 saham dari para sahabat yang lain.
Berita tersebut sampai kepada Rasulullah saw. maka Rasulullah saw bersabda
seperti hadits di atas. Dan dalam riwayat lain dirawikan oleh Ath-Thabrani
Rasulullah saw bersabda :
“Tiadalah dua serigala ganas yang dilepaskan di tengah kawanan
domba, lebih merusak kawanan domba tersebut dari pada kerusakan yang
diakibatkan kerakusan seorang muslim dalam mengejar harta dunia dan kedudukan
terhadap agamanya.” (Hadits ini hasan).
Tamak pada harta bisa terjadi dari dua jalan.
Pertama : Tamak terhadap harta yang halal.
Sebagian manusia ada yang mempunyai kesukaan mengumpulkan harta kekayaan
dengan cara-cara yang halal. Akan tetapi dia tidak melewatkan waktu sedikitpun
tanpa menambah harta simpanannya. Ia tidak melewatkan begitu saja hari-hari
berlalu atau melewatkan saat-saat malam yang tiba melainkan pasti ia gunakan
mengkalkulasi keuntungan baru yang diperolehnya. Jika harta berkurang atau
tidak bertambah, maka akan kau lihat ia sangat bersedih dan berduka.
Tidak mengapa seorang muslim mempunyai jutaan Dirham atau
Dinar, asal ia berlaku zuhud pada saat itu juga. Pernah suatu ketika Imam Ahmad
bin Hanbal ditanya, “Ada seorang lelaki yang mempunyai uang seratus ribu
Dirham, apakah ia bisa dikatakan orang yang zuhud?” Imam Ahmad menjawab, “Ya,
bisa. Jika ia tidak merasa sedih jika uang itu hilang dan tidak merasa gembira
manakala uang itu bertambah.” Dapat dikatakan zuhud dengan persyaratan di atas,
yakni : tidak bergembira jika harta itu bertambah, dan tidak akan sedih apabila
harta itu berkurang atau lenyap.
Inilah jalan yang pertama. Dan ini salah satu penyebab yang dapat
membinasakan seorang muslim. Oleh karena ia tidak mempunyai waktu untuk
memikirkan atau mengerjakan sesuatu untuk akhiratnya. Waktunya siang dan malam
dihabiskan untuk mengumpulkan kekayaan dan menghitung keuntungan.
Berapa banyak orang yang memetik hasil amalnya saat jamuan pada hari raya
Idul Fitri? Pada saat orang bergembira selepas menunaikan kewajiban puasa.
Mereka saling mengucapkan selamat satu sama lain. Ketika disuguhkan secangkir
teh kepadanya, kepalanya masih dipenuhi dengan perhitungan, waktu sejenak untuk
meminum secangkir teh itu perhitungannya tetap tidak berhenti. Ia katakan
kepada shahibul bait, “Terimakasih, saya tidak punya hutang kepada seseorang.”
Ambisi terhadap harta kekayaan sebatas ini bisa membinasakan seorang.
Cukuplah dua hal ini, kamu mempergunakan jam-jammu atau waktu-waktumu yang
berharga untuk mencari sesuatu yang telah dijamin dan untuk mengejar sesuatu
yang telah dibagikan. Sebagaimana sabda Rasulullah saw kepada Ummu Habibah
ketika ia berdoa di dekat Rasulullah saw, memohon kepada Allah agar umurnya
dipanjangkan dan agar Allah memberkati umurnya serta umur saudara lelakinya
Mu’awiyah.
“Ketahuilah, engkau telah memohon kepada Allah akan ajal yang sudah
dibatasi dan akan rizki yang telah dihitung”.
Kemudian beliau menatap muka Ummu Habibah dan mengatakan :
“Berdoalah kepada Allah untuk perkara-perkara akhirat, pada saat-saat
berharga yang kamu miliki.”
Wahai saudara-saudaraku!
Ingatlah bahwa ajalmu sudah ditentukan. Setiap hari umurmu bertambah,
tetapi ajalmu kian berkurang. Maka pergunakanlah hari-harimu untuk menyongsong
akhirat dan jangan untuk mengumpulkan kekayaan dunia. Jika kamu pergunakan
waktumu untuk mengumpulkan harta karena takut miskin, maka siapakah yang membuat
kefakiran? Yang membuat kefakiran adalah Allah!. Rasulullah saw menenangkan
umatnya dalam urusan rizki, karena Rabbnya telah bersumpah kepadanya atas hal
tersebut. Allah telah berfirman :
”Dan di langit terdapat (sebab-sebab) rezkimu dan terdapat (pula) apa
yang dijanjikan kepadamu. Maka demi Rabb langit dan bumi, sesungguhnya yang
dijanjikan itu adalah benar-benar (akan terjadi) seperti perkataan yang kamu
ucapkan.” (QS. Adz-Dzarriyat : 22-23)
Rasulullah saw juga bersabda :
“Ruhul Qudus (Jibril) mengilhamkan sesuatu dalam hatiku
bahwasanya tidak akan mati diri
seseorang sampai disempurnakan rizkinya. Maka bertaqwalah kamu sekalian kepada
Allah dan carilah rizki dengan cara yang baik.” (HR. Ibnu Majah: 2544)
Dalam satu riwayat Israiliyat disebutkan, “Rizki itu telah dibagi dan orang
yang tamak itu tidak akan mendapatkan apa-apa –kecuali sesuatu yang telah
ditentukan baginya--. Wahai anak Adam, apabila engkau menghabiskan umurmu untuk
mencari kekayaan dunia, maka apa yang kamu cari untuk akhirat(mu)??”
Ibnu Mas’ud r.a. berkata : “Yakin itu adalah engkau tidak menukar ridha
manusia dengan kemurkaan Allah (yang diberikan padanya) dan engkau tidak
mencela seseorang atas sesuatu yang belum diberikan Allah padamu. Karena
sesungguhnya rizki itu tidak bisa digiring (dikejar) oleh kerakusan orang yang
tamak dan tidak bisa ditolak oleh keengganan orang yang tidak suka.
Sesungguhnya Allah dengan keadilan-Nya telah membuat kesenangan dan kegembiraan
dalam yakin dan ridha, dan telah menjadikan kesedihan dan kesusahan dalam
keraguan dan kedongkolan.”
Kelapangan hati dan ketentraman jiwa sesungguhnya terdapat dalam
keridhaan,yakni keridhaan terhadap qadar
(ketentuan).
Adalah Umar bin Abdul Aziz sering mengulang-ulang ucapannya ;
“Aku berpagi-pagi sementara tidak ada kegembiraan yang
aku rasakan kecuali dalam (menerima) qadha’ dan qadar. Dan aku berpagi pagi
sementara tidak ada yang aku rasakan kecuali dalam (menerima) qadar”.
Umar bin Khatthab pernah berkata,
“Andaikata syukur dan sabar –syukur atas nikmat dan sabar atas cobaan--
adalah dua ekor kuda tunggangan, maka aku tidak akan peduli mana di antara
keduanya yang akan aku naiki. Aku tidak peduli apa nikmat yang turun padaku
sehingga akupun bersyukur atau musibah yang turun padaku, sehingga aku
bersabar.”
Salah seorang salaf berkata, “Apabila qadar itu adalah kebenaran, maka
tamak itu adalah batil. Dan apabila qadar di antara manusia itu merupakan
perkara yang biasa, maka percaya kepada setiap orang merupakan kelemahan. Dan
apabila kematian itu menunggu-nunggu setiap orang, maka merasa tentram dengan
kampung dunia itu merupakan kebodohan.”
Salah seorang bijak pernah berkata, “Manusia yang paling panjang duka
citanya adalah yang berhati dengki, yang paling senang kehidupannya adalah yang
qana’ah dan yang paling sabar menanggung kehinaan adalah yang tamak, yang
paling mudah kehidupannya adalah yang menolak dunia dan yang paling besar rasa
penyesalannya pada hari kiamat adalah yang panjang angan-angan.”
Sifat tamak adalah penyakit yang bisa jadi membahayakan
terhadap orang yang melihatnya
kecuali sedikit di antara mereka.
Betapa banyak orang yang loba dan tamak,
dan akhir ketamakan itu membuatnya jadi orang hina.
Dan tidak akan kau dapati orang tamak, melainkan hina juga orangnya. Setiap
orang yang tamak di dunia, tentu akan dihinakan oleh penduduk dunia. Oleh
karena ia mencari dunia dari apa yang ada di tangan manusia, padahal manusia
tidak suka pada orang yang meminta-minta kepada mereka.
Allah murka jika engkau tidak minta kepada-Nya
Dan Bani Adam akan marah manakala dimintai.
Bahkan seandainya engkau minta kepadanya sumbangan untuk membantu fakir
miskin, maka hatinya terasa sempit. Padahal dia tahu kalau engkau tidak
mengambil sesuatu apapun darinya. Sebab manusia pada dasarnya diciptakan dengan
watak kikir kecuali sedikit daripada mereka. Adapun jiwa manusia yang terbangun
dan terbentuk di atas sifat murah hati dan dermawan, maka inilah yang menjadi
penegak masyarakat dan pengokoh sendi-sendi umat dan pemerintahan.
Manusia menjadi hina, negeri-negeri menjadi musnah dan nilai-nilai kesucian
diinjak-injak; ini semua adalah akibat dari sifat ketamakan manusia terhadap
dunia. Tamak terhadap harta atau ambisi terhadap derajat dan pangkat.
Kedua : Tamak terhadap harta yang haram.
Dia mengumpulkan harta yang syubhat dan harta yang haram dan tidak peduli atau memperhatikan apakah harta
yang dikumpulkannya itu haram atau halal. Maka harta kekayaannya bercampur dari
hasil makanan yang halal dan haram. Dan setiap daging yang tumbuh dari makanan
yang haram, maka neraka lebih berhak atasnya.
Seseorang yang dekat dengan salah seorang Syaikh Al-Azhar bercerita pada
saya bahwa suatu hari raja Fu’ad mengundang Syaikh tersebut untuk jamuan makan.
Memang sudah menjadi kebiasaan raja mengundang orang-orang tertentu dalam
jamuan makan paginya. Raja mempersilakan Syaikh tersebut untuk memakan hidangan
yang telah disediakan di hadapannya. Tetapi Syaikh tersebut menahan tangannya
dan berkata, “Telah diharamkan atas kalian (memakan) bangkai dan darah.”
(QS. Al-Maidah : 3).
Raja berkata, “Ini makanan halal, daging halal dan nasi halal”. Lalu Syaikh
tersebut menjumput segenggam makanan raja dan kemudian memerasnya. Aneh, dari
perasan makanan itu mengucur darah berwarna merah legam.
KIKIR ADALAH SIFAT YANG MEMBINASAKAN
Sifat tamak merupakan sifat kikir yang amat sangat. Yakni, mengumpulkan
harta kekayaan yang syubhat, yang halal maupun yang haram kemudian mencegah hak
serta kewajiban yang ada padanya. Sifat ini sangat membahayakan dan dapat
membinasakan orang-orangnya sebagaimana sabda Rasulullah saw :
“Takutlah kamu sekalian dari sifat kikir, karena
sesungguhnya sifat kikir itu telah membinasakan umat-umat sebelum kalian. Ia
memerintahkan mereka untuk berbuat dzalim, maka merekapun berbuat kedzaliman.
Ia memerintahkan mereka untuk memutuskan
tali persaudaraan, maka merekapun memutuskan tali persaudaraan. Dan ia
memerintahkan untuk berlaku maksiat, maka merekapun melakukan maksiat.” (HR.
Ahmad 2: 191).
Dan dalam hadit hasan diriwayatkan:
“Tidak akan berkumpul sifat kikir dan iman dalam hati
seorang hamba selama-lamanya “.(HR. An Nasa`i dan Al Hakim, lihat Shahih
Al-Jami’ Ash-Shaghir no. 7616 ).
Kau habiskan umurmu wahai orang kikir! untuk mengumpulkan Dirham dan Dinar.
Gemerincing uang Dinar yang engkau kumpulkan itu menarik bagimu lalu kau simpan
logam-logam itu di dalam pundi-pundi di bawah tanah. Kau jatuhkan hukuman mati
atas logam-logam itu atau hukuman penjara selama-lamanya sehingga tak ada
seorang pun yang bisa melihatnya. Serta tidak kau edarkan uang itu ke
tangan-tangan orang yang membutuhkan atau untuk memberi manfaat kepada seorang
muslim, maka engkau merugilah di dunia dan di akhirat. Seperti apa yang
dikatakan sahabat Ali bin Abi Thalib r.a. :
“Aku heran dengan ikhwal orang bakhil, ia mengejar
kefakiran yang justru lari daripadanya dan lari dari kekayaan yang justru
mengejarnya. Ia hidup di dunia seperti kehidupan orang-orang miskin, tetapi di
akhirat ia dihisab dengan hisab yang berlaku bagi orang-orang kaya”.
Dinar itu ia kumpulkan untuk anak cucu dan keturunannya yang hidup
sesudahnya. Dan mereka menggunakan harta kekayaan itu untuk memuaskan syahwat
mereka di pasar-pasar malam, di London, di Bangkok, Manila, Paris, di
kasino-kasino, di meja bilyard, di rumah-rumah prostisusi. Sementara ia hidup
di dalam kubur di bawah cambukan malaikat Munkar dan Nakir. Ia dicambuki dengan
cemeti besi sehingga menjerit-jerit kesakitan. Jeritannya dapat didengar
makhluk-makhluk yang ada di langit dan di bumi kecuali bangsa jin dan manusia.
Rasulullah saw bersabda :
“Andaikan saja kalian tidak akan saling menguburkan
nantinya, niscaya aku akan berdoa kepada Allah supaya kalian diperdengarkan-Nya
adzab kubur”. (HR. Ahmad 3: 103).
Hai orang-orang yang gemar menumpuk-numpuk harta, ingatlah bahwa banyak
manusia yang berkata :
“Cukuplah seseorang dikatakan berdosa apabila ia
menyia-nyiakan orang yang mestinya diberi makan.” (HR. Ahmad 2: 161)
Janganlah engkau menyia-nyiakan hak orang yang mestinya engkau beri makan,
dan jangna pula engkau menyia-nyiakan hak orang-orang yang mestinya engkau
cukupi nafkahnya. Sebagian untuk dirimu, sebagian untuk akhiratmu dan sebagian
lagi untuk keluargamu. Jangan engkau hidup untuk dunia. Jangan engkau perbesar
isi perutmu, karena engkau tahu ke mana larinya sesuatu yang telah keluar dari
perut. Atau engkau turuti syahwat farjimu, karena engkau tahu air kotor seperti
apa yang keluar dari farji. Sungguh mengherankan sekali Bani Adam itu.
Bagaimana ia bisa berlaku sombong dengan harta yang dimilikinya? Padahal
asalnya adalah dari air mani yang kotor dan kesudahannya adalah bangkai yang
menjijikkan. Dan antara dua waktu tersebut ia membawa tinja, yakni kotoran yang
keluar dari tubuh manusia. Ini adalah permisalan dunia di sisi Rabbul ‘Alamin.
Bacalah firman Allah :
“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan
dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta
berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang
tanam-tanamannya mengagumkan para petani.” (QS. Al-Hadid : 20)
Apa yang terjadi setelah turun hujan? Tumbuhnya tanam-tanaman!. Lalu apa
yang terjadi setelah tanam-tanaman itu tumbuh? Menghasilkan buah dan makanan!
Lalu apa kelanjutannya setelah buah dan makanan itu ada? Kalian tahu sendiri!.
Sesungguhnya pada setiap tahun atau tiga tahun pemerintahan di negeri-negeri
Arab mengubah saluran-saluran pembuangan yang ada di ibukota-ibukota negerinya,
karena banyaknya apa yang dimakan manusia dan karena meningkatnya kuantitas
kotoran yang keluar dari perut mereka.
AMBISI TERHADAP KEDUDUKAN
Ambisi untuk meraih ketinggian dunia. Saya melihat kezuhudan manusia dalam
mencari kekuasaan jauh lebih sedikit daripada kezuhudan mereka dalam mencari
harta kekayaan --atau dengan kata lain,
mereka yang berambisi terhadap kekuasaan lebih banyak dibanding dengan
mereka yang tamak terhadap harta. Berapa banyak orang yang zuhud terhadap harta
dan hidup layaknya orang-orang miskin, namun demikian terhadap kekuasaan, orang tersebut sangat
antusias sekali.
Sungguh amat disayangkan sekali, banyak di antara kaum muslimin yang shalih
tergeincir langkahnya karena tidak mampu menguasai ambisinya untuk meraih atau
mempertahankan kekuasaan. Hal ini saya saksikan manakala ada benturan
kepentingan, antara kepemimpinannya dengan komitmen ikhwan-ikhwannya dalam
mencari keridhaan Allah. Maka ia memutuskan hubungan dengan ikhwan-ikhwan yang
pernah berbagi suka dan duka dengannya demi mempertahankan kepemimpinannya.
Kalian lama hidup dengannya. Kalian telah memberikan seluruh hati kalian
dan segenap kecintaan kalian kepadanya. Kalian telah meninggalkan dunia dan
kemewahannya demi mencapai tujuan yang kalian yakini bahwa hal itu diridhai
Allah 'Azza wa Jalla. Kemudian jika komitmen kalian dan kemauan keras kalian
untuk membuat ridha Rabb kalian bertentangan dengan kepemimpinannya, atau
kedudukannya ataupun kekuasaannya, maka kalian tidak mendapati lukisan-lukisan
buruk yang tergambar dalam benak manusia melainkan akan ia tumpahkan pada
kalian siang dan malam.
Kemarin, boleh jadi engkau adalah orang yang paling dekat dengannya, paling
dicintainya dan paling dekat dengan dasar hatinya. Tapi besok sesudah terjadi
pertentangan antara ambisinya terhadap kekuasaan dengan kemauan kerasmu atas
apa yang engkau yakini bahwa ia adalah jalan akhiratmu, bahwa ia adalah jalan
Rabbmu, maka engkau dapati ia sangat membencimu. Dan ia tidak meninggalkan
cercaan, aib ataupun cela melainkan ia lemparkan padamu. Padahal, di waktu itu
juga, ia atau orang-orang sepertinya adalah zuhud terhadap dunia. Mereka hidup
sederhana layaknya orang-orang miskin. Namun kecintaanya terhadap dunia dan
kekuasaan mencegahnya untuk mengatakan yang benar tentang dirimu. Oleh karena
perkataan yang hak, berbenturan dengan ambisi dan hasratnya terhadap kekuasaan.
Maka celakalah orang yang membuat kemurkaan Rabbnya untuk mencari ridha
manusia.
Maka dari itu, dalam posisi di mana engkau harus membuat ridha Rabbmu,
dalam posisi di mana engkau meyakini bahwa murka Allah akan menimpamu jika
engkau berjalan dalam kafilah mereka serta berjalan mengikuti hawa nafsu
mereka; maka engkau harus mengucapkan kata yang benar, engkau harus menetapi
jalan yang engkau yakini sebagai jalan yang diridhai Allah dan engkau harus
meletakkan ketetapan yang berharga dalam mizanmu bahwasanya harta, anak, istri
dan teman tidak berguna sedikitpun pada hari kiamat. Sebagaimana firman Allah :
“Pada hari harta dan anak lelaki tidak berguna. Kecuali
orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.” (QS. Asy-Syuraa :
88-89)
Meskipun hal tersebut membuat engkau jauh dari mereka, meski hal tersebut
membuat mereka membencimu.
JANGAN KAU BINASAKAN DIRIMU SENDIRI UNTUK KEPENTINGAN HAWA NAFSU ORANG LAIN
Wahai kaum muslimin …!.
Bukan kalian saja yang mesti mendengar nasehat ini, tapi seluruh kaum
muslimin. Janganlah kalian menjual akhirat untuk kepentingan dunia orang lain.
Janganlah kalian rusakkan agama dan amal kebajikan kalian untuk kepentingan
hawa nafsu orang lain. Mereka adalah golongan yang rendah, bahkan yang paling
rendah.
Abdullah bin Al-Mubarak pernah ditanya, “siapakah raja-raja itu?”. “Orang-orang zuhud.” Jawabnya. “Siapakah orang-orang rendahan itu?” Tanya
mereka. “Mereka yang makan dengan merusak agamanya.” Jawabnya –maksudnya mereka
yang memperbaiki dan membangun dunia serta melupakan kepada akhiratnya--. “Lalu
siapakah orang yang paling rendah itu?” Tanya mereka. “Mereka yang memperbaiki
dunia orang lain dengan merusakkan agamanya.”
“Dan mereka telah mengambil sembahan-sembahan selain Allah, agar
sembahan-sembahan itu menjadi pelindung bagi mereka. sekali-kali tidak!. Kelak
mereka (sembahan-sembahan) itu akan mengingkari penyembahan
(pengikut-pengikutnya) terhadapnya, dan mereka (sembahan-sembahan) itu menjadi
musuh bagi mereka.” (QS. Maryam : 81-82)
Maka waspadalah kalain! Janganlah kalian memperturutkan hawa nafsu, sebab
hawa nafsu itu gelombangnya besar dan tidak kentara. Berapa banyak raksasa yang
tumbang oleh tiupan badai hawa nafsu??!
Wahai saudara tercinta … wahai saudaraku!!
Saya nasehatkan kepadamu dari dasar lubuk hati yang paling dalam. Janganlah
engkau memutuskan tali kasih sayangmu dengan orang-orang demi menuruti hawa
nafsu seorang hamba yang tidak dapat memberikan manfaat atau mendatangkan
madharat padamu sedikitpun pada hari kiamat. Jangan sampai kekikiran dan hawa
nafsu memerintahkanmu memutuskan hubungan persaudaraan, lalu kamu menurutinya
hingga binasalah kamu karananya. Janganlah kamu merusakkan akhiratmu karena
mengikuti hawa nafsu seseorang. Jika kamu adalah orang dekatnya, maka sudah
sepantasnya jika kamu mendekatinya di saat-saat berduaan dan membisikkan ke
telinganya nasehat-nasehat yang agak pedas dan kata-kata yang benar meski pahit
rasanya. Engkau katakan padanya, “Ya akhi! Takutlah kepada Allah dengan
perkataanmu tentang si fulan. Demi Allah, saya tidak melihat sesuatu yang buruk
pada dirinya. Setahu saya, dia itu orangnya baik dan bersih kehidupannya.”
Oleh karena itu janganlah engkau berlari bersama gelombang hawa nafsu
sehingga engkau binasa bersama orang-orang yang binasa. Jangan sampai engkau terpedaya
oleh banyaknya mereka yang berjalan (mengikuti hawa nafsunya, pent.), sehingga
engkau turut bersama mereka. Sebab boleh jadi mereka yang banyak itu termasuk
orang-orang yang binasa. Allah telah berfirman :
“Dan sebagian besar manusia tidak akan beriman , walaupun
kamu sangat menginginkannya.” (QS. Yusuf : 103)
Ambisi terhadap kedudukan juga bisa terjadi dari dua jalan. Ambisi kepada
kedudukan dengan menggunakan sarana-sarana yang bersifat duniawi dan ambisi
kepada kedudukan dengan menggunakan sarana-sarana yang bersifat ukhrawi.
Adapun contoh yang pertama : Mengejar pangkat atau kedudukan di dunia
dengan menggunakan harta dan kehormatan atau makanan dan sebagainya. Dan contoh
yang kedua mengejar pangkat atau kedudukan di dunia dengan sarana ilmu atau
jihad atau juga zakat dan sebagainya.
Jadi untuk mewujudkan ketamakan atau ambisinya kepada kedudukan di dunia,
seseorang terkadang menggunakan sarana yang bersifat duniawi dan terkadang pula
yang bersifat ukhrawi.
AMBISI TERHADAP IMARAH (JABATAN)
Adapun mengenai jabatan, maka Rasulullah saw pernah mengatakan kepada
Abdurrahman bin Samurah.
“Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah kamu minta jabatan. Karena
sesungguhnya, jika kamu diberi jabatan karena memintanya, maka akan diserahkan
kepadamu sendiri untuk memikulnya. Jika kamu diberi jabatan tanpa memintanya,
maka kamu akan dibantu (oleh Allah untuk memikulnya).” (HR. Al-Bukhari
dan Muslim).
Dalam Shahih Al-Bukhari diriwayatkan :
“Sesungguhnya kalian akan berambisi dalam mendapatkan
jabatan. Dan akan menjadi penyesalan nantinya pada hari kiamat.”
Dalam hadits shahih lain diriwayatkan :
“Sesungguhnya, Demi Allah
kami tidak memberikan jabatan dalam urusan kami ini kepada seseorang
yang memintanya atau kepada seseorang yang berambisi pada jabatan tersebut.”
(HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Adapun mengenai masalah mengejar dunia dan kedudukan dengan menggunakan
sarana agama, maka Rasulullah saw pernah bersabda :
“Barangsiapa menuntut ilmu yang seharusnya untuk mencari
keridhaan Allah dengannya, tetapi ia tidak menuntutnya kecuali untuk
mendapatkan kedudukan atau kekayaan dunia, maka ia tidak akan mendapatkan bau
surga pada hari kiamat.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah dan Al Hakim; Lihat
Shahih Al-Jami’ Ash-Shaghir no. 6159 ).
Orang tersebut tidak akan dapat mencium bau surga pada hari kiamat, padahal
bau surga itu, sebagaimana sabda Rasulullah saw :
“Barangsiapa membunuh seorang ahli dzimmah, maka ia tidak
akan mendapatkan bau surga. Dan sesungguhnya bau surga itu dapat dicium dari
jarak tujuh puluh tahun perjalanan jauhnya.” (HR. An Nasa`i : 4753, lihat kitab At-Targhib wa Tarhib. Jilid 3
hal. 299.
Dalam riwayat Ahmad dinyatakan :
“Dapat dicium dari jarak seratus tahun perjalanan.”
“Barangsiapa menuntut ilmu untuk
menyombongkan diri dengan para ulama’ atau menengkari orang-orang bodoh atau
untuk memalingkan pandangan manusia kepadanya, maka Allah akan memasukkannya
kepada dalam neraka.”( HR. Ibnu Majah. Lihat kitab Shahih Al-Jami’ Ash-Shaghir
no. 6382. Dan kitab Misykaatul Mashaabih no. 225.)
Dan lebih celaka lagi daripada itu adalah mereka yang mengorbankan nyawa
mereka atau mempertaruhkan diri mereka dalam bahaya hanya untuk mencari kedudukan
dan kehormatan di dunia. Mereka ikut berperang dan berkorban nyawa supaya
disebut pemberani. Dan engkau dapati mereka dalam pertempuran termasuk orang
yang paling berani. Dalam hadits shahih, Rasulullah saw bersabda :
“Akan tetapi engkau berperang supaya dikatakan pemberani,
dan itu telah dikatakan orang, kemudian diperintahkan malaikat untuk
menyeretnya ke neraka. Lalu diseretlah dia dengan muka terbalik dan kemudian
dilemparkan ke neraka.”(HR. Ahmad 2: 233)
Wahai saudara-saudaraku!
Jihad ini mempunyai adab-adab yang harus dipelihara oleh orang yang
mengerjakannya. Jika tidak, maka kalian akan kembali tanpa beroleh pahala,
malah bahkan mendapatkan dosa.
Dalam sebuah hadits hasan. Rasulullah saw bersabda :
“Perang itu ada dua, barangsiapa keluar berperang untuk mencari
keridhaan Allah, taat kepada Amir, menginfakkan harta yang berharga –yakni
harta yang disukainya— memudahkan teman dan menjauhi kerusakan; maka tidur
dan jaganya adalah berpahala. Dan barangsiapa keluar berperang karena berbangga-bangga,
riya’ dan sum’ah; tidak menjauhi kerusakan dan tidak taat kepada Amir dan
berbuat kerusakan di muka bumi maka ia tidak kembali dengan perolehan yang
memadai –(HR. Abu Dawud : 2510).
Memudahkan teman maksudnya temannya berjihad; mempergauli dengan budi
pekerti yang baik, membebaskan dirinya dari banyak permintaan, bersabar atas
segala sesuatu yang menyakitkannya yang datang dari teman-temannya, memudahkan
teman, menjauhi kerusakan, meninggalkan banyak tanya, meninggalkan banyak omong
yang sama sekali tidak bermanfaat baginya, tidak ingin tahu persoalan yang
tidak bermanfaat yang jika diketahuinya dan tidak berbahaya pula jika tidak
diketahuinya. Jika ia mengerjakan kelima perkara tadi – maka tidurnya dan
jaganya adalah pahala semua, yakni, kembali dengan membawa perolehan pahala
yang sama dengan saat ketika dia mulai berangkat--. Sedangkan pengertian dia
tidak kembali dengan perolehan yang memadai
yakni dia kembali membawa dosa bukannya pahala.
Oleh karena itu jagalah lesan kalian; perbaikilah persahabatan kalian dengan
orang-orang yang berada di sekitar kalian, taatlah kepada orang-orang yang
menjadi pemimpin kalian, murnikanlah hati kalian dan luruskanlah niat kalian
sampai kalian kembali dengan pahala yang besar dan ganjaran yang banyak
Saya cukupkan sampai sekian, dan saya mohon ampunan kepada Allah untuk diri
saya dan diri kalian.
BAH KEDUA
Segala puji bagi Allah, kemudian segala puji bagi Allah. Mudah-mudahan
kesejahteraan dan keselamatan selalu terlimpahkan kepada junjungan kita
Muhammad bin Abdullah, keluarga, para sahabat dan orang-orang yang
mengikutinya.
“Tiadalah dua serigala lapar yang dilepaskan di tengah kawanan domba, lebih
merusak domba-domba tersebut daripada kerusakan yang diakibatkan oleh ketamakan
seorang hamba –dalam riwayat lain dikatakan: seorang muslim— kepada
harta dan kedudukan terhadap agamanya.”
Tamak kepada harta ada dua macam :
- Tamak
dalam mengumpulkan harta yang halal.
- Tamak
dalam mengumpulkan harta yang syubhat disertai kekikiran dan tidak mau
menunaikan hak kewajibannya.
Ambisi terhadap kedudukan ada dua macam :
- Ambisi
dalam mengejar kedudukan dunia dengan sarana dunia.
- Ambisi
dalam mengejar kedudukan dunia dengan sarana agama.
Maka dari itu, berhati-hatilah wahai saudaraku. Waspadalah kalian terhadap
dua macam sifat tamak ini. Allah telah memilih kalian untuk mengemban risalah
Islam. Maka janganlah kalian menerjunkan diri kalian dalam bahaya kecuali untuk
mencari keridhaan Allah Ta’ala. Dan janganlah kalian memulai jihad ini dengan
membawa pahala dan kembali dengan membawa dosa.
Wahai saudara-saudaraku!
Jagalah adab jihad kalian. Jihad itu besar sekali pahalanya. Tidak ada
sesuatupun amal kebajikan yang menyamai pahalanya dalam timbangan Allah.
Jagalah kehormatan perang kalian, karena kehormatan perang itu besar dan
tinggi. Dan jihad adalah puncak tertinggi Islam sebagaimana disabdakan
Rasulullah saw. Berhati-hatilah kalian dengan hal yang berhubungan dengan
fatwa. Jangan lancang berfatwa dan
cepat-cepat memberi fatwa. Ketahuilah, bahwa Imam Malik pernah ditanya tentang
empat puluh macam persoalan oleh seorang lelaki dari Maghrib yang datang ke
Madinah. Hanya empat yang dijawabnya dan selebihnya ia jawab, “Tidak tahu.”
Maka lelaki tersebut berkata kepadanya, “Apa yang harus kukatakan kepada
kaumku, padahal aku datang dari negeri Maghrib untuk mendapat jawaban.” Malik
berkata, “Katakanlah kepada kaummu bahwa Malik tidak tahu.”
Berhati-hatilah kalian dan jangan lancang berfatwa. Dan
jangan pula kalian cepat-cepat memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan
yang ditujukan kepada kalian. Yang paling berani di antara kalian dalam
berfatwa adalah yang paling berani masuk neraka. Oleh karena beranimu sekedar
untuk mencari ketinggian di dunia dan mengorbankan agamamu.
Adalah Ibnu Sirin apabila ditanya tentang satu persoalan, warna mukanya
berubah, seoalah-olah dirinya bukan sosok yang semula.
Adalah Malik apabila ditanya tentang satu masalah, seakan-akan dirinya
berdiri di antara surga dan neraka. Demikian pula dengan orang-orang salaf
dahulu. Adalah setiap orang ingin agar orang lain yang memberikan fatwa, bukan
dirinya. Sampai-sampai apabila ada orang datang yang bertanya, maka ia berkata,
“Tidakkah engkau mendapati orang yang lebih mengetahui dalam masalah ini
daripadaku?. Tanyakanlah pada Hasan Al-Bashri, saya tidak tahu.”
Maka dari itu wahai saudaraku, janganlah kalian lancang berfatwa untuk
mencari kehormatan di atas dunia, supaya orang-orang mengatakan tentang dirimu
“si Fulan sangat alim” atau “si Fulan orang faqih.
Wahai saudara-saudaraku, tamaklah kalian terhadap kehidupan akhirat dan
bersihkanlah hati kalian dari ambisi untuk meraih kedudukan, kehormatan,
ketinggian, pangkat dan derajat di atas dunia. Sungguh saya telah menyaksikan
sebagaimana pernah saya katakan, kenyataan- kenyatan pahit yang terjadi, akibat
sifat ambisius seseorang terhadap kedudukan dan kekuasaan. Seperti misalnya, engkau
memberi kepercayaan kepada seseotang untuk memimpin lima orang, lalu ketika
engkau melepaskan kedudukannya sebagai mas’ul, mendadak ia bangkit memusuhimu.
Lalu dia menghasut sana sini. Merusak hubungan antara si ini dan si itu, dan
memutuskan hubunganmu dengan mereka. Kemudian jika esoknya engkau
mengembalikannya sebagai mas’ul atas tiga orang, maka dia menyanjungmu setinggi
langit. Engkau menjadi pemimpin yang senantiasa dikunjungi. Engkau menjadi
gunung besar yang dilihat dengan penuh penghormatan. Engkau menjadi laki-laki
yang hampir tidak melakukan kesalahan kecuali sedikit saja. Tetapi ketika,
engkau melepaskan mas’uliyahnya dari lima orang saja, maka dia mencari-cari
jalan untuk memfitnahmu. Dia berjalan di antara manusia mengadu domba.
Tidak ada komentar