Select Menu
Select Menu

Favorit

Buku Referensi

Buku

Pergerakan Islam

Tokoh

Rumah Adat

Syamina

Pantai

Seni Budaya

Kuliner

» » Jihad dan Kekuasaan


Unknown 02.00 0

 
Wahai mereka yang telah ridha Allah sebagai Rabbnya, Islam sebagai diennya, dan Muhammad sebagai Nabi dan Rasulnya.  Ketahuilah bahwa Allah telah menurunkan ayat dalamSsurat Al Qashash :

“Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) bumi. Dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang-orang yang bertaqwa”. (QS. Al Qashash : 83)

 
Berkata Qadhi Al Fudhail bin ‘Iyadh, ketika membaca ayat ini  : “Disinilah hancur berantakan angan-angan”.

 

IKHLAS
 
Sesungguhnya mujahid memperoleh ketinggian sampai pada tingkatan ini dan naik ke derajat surga yang seratus itu, karena surga itu mempunyai seratus tingkat.  Allah telah menyiapkan bagi mujahidin, karena mereka tertutup dari pandangan mata, tersembunyi di balik kepulan debu.  Wajah mereka kusut dan berdebu, yang apabila berdiri di muka pintu rumah orang maka dia akan diusir.  Jika berbicara, maka omongannya tidak didengar.  Dan jika memerintah maka perintahnya tidak dita’ati kecuali oleh orang-orang pilihan  yang jujur, ikhlas dan telah ridha terhadap jalan menuju Rabbul ‘Alamin ini.

Karena itu Rasulullah SAW mengumpulkan dalam sebuah hadits syarif antara ‘uzlah (menjauhkan diri dari manusia) dan jihad, antara orang-orang yang ber ‘uzlah dari manusia dan mujahid.  Kedua golongan manusia ini bertemu dalam dua hal yakni : sama-sama terasing (gharib) di dunia dan sama-sama tidak menyombongkan diri di muka bumi.

Sabda Nabi SAW :

“Sebaik-baik kehidupan manusia adalah seseorang yang memegang kendali kudanya fie sabilillah.  Dan ia akan melompat ke punggung kudanya setiap mendengar suara kegaduhan atau suara yang menakutkan dari musuh dan segera melesat ke arahnya agar terbunuh dan mati yang menjadi idamannya. Atau seseorang yang menggembala kambing di puncak gunung atau perut lembah (mengasingkan diri), menegakkan shalat, menunaikan zakat dan beribadah kepada Allah sehingga datang al yaqin (kematian). Tidaklah dari golongan manusia ini kecuali dalam kebaikan”. (HR. Muslim)[ii]

 
Jihad itu lebih didahulukan daripada i’tizal  (mengasingkan diri) dari manusia.  I’tizal tidak dibenarkan kecuali pada masa dimana fitnah telah betul-betul merajalela. Atau sebagaimana keadaan yang disinyalir oleh Rasulullah SAW dalam sebuah sabdanya :
 

“Sehingga apabila kalian melihat kebakhilan  menjadi sesuatu yang dita’ati, hawa nafsu telah menjadi ikutan dan dunia menjadi  orientasi, serta setiap orang yang mempunyai pendapat merasa kagum terhadap pendapatnya sendiri, maka selamatkanlah diri kamu sendiri dan tinggalkanlah kebanyakan manusia”. (HR. Abu Dawud).[iii]

 

JIHAD FARDHU ‘AIN
 
Jihad Afghan sekarang ini, seperti yang telah saya kemukakan berulang-ulang adalah fardhu ‘ain menurut siapapun orang yang mempunyai hubungan dengan Kitabullah, fiqh dan yang lain.  Tak ada alim ulama sekarang ini yang dapat membantah persoalan tersebut.  Banyak ulama kenamaan yang memfatwakan demikian, yakni apabila musuh merampas sejengkal tanah dari negeri kaum muslimin, maka jihad menjadi fardhu ‘ain.

Apabila engkau melihat bangsa Afghan dilanda kesedihan dan kepedihan.  Sederet peperangan dahsyat melingkar dan berputar di atas kepalanya, memeras urat syaraf, hati dan jiwanya selama delapan tahunan.  Maka harus ada di sebelahnya penopang yang mendorong jalannya, harus ada tangan-tangan lembut dan halus yang mengobati luka-lukanya meskipun hanya dengan kata-kata yang baik.

Orang-orang yang mengatakan bahwa jihad Afghan tidak membutuhkan bantuan personel, maka mereka adalah orang-orang yang berada jauh dari keadaan yang sebenarnya.  Mereka itu tidak datang membawa berita, dan mereka tidak mengabarkan apa yang sebenarnya kami alami.  Mereka tidak melihat penderitaan-penderitaan yang kami lihat. Penderiataan yang dialami oleh bangsa yang mulia dan gagah ini. Bangsa yang melalui perantaraan mereka Allah memuliakan agama-Nya, meninggikan bendera-Nya, memenangkan syari’at-Nya dan mengangkat tinggi-tinggi kepala dan cita-cita setiap orang Islam di muka bumi. Setiap orang Islam di muka bumi kembali merasa bahwa ia mulia dengan sebab agama ini. Tak pernah sebelumnya mereka merasakan perasaan seperti itu sebelum orang-orang Afghan mengangkat bendera jihad di atas puncak gunung Hindukusy dan di sepanjang batas pegunungan Sulaiman.

Saya mengatakan berdasarkan pengalaman saya selama lima tahun di sana bahwa jihad Afghan sekarang lebih membutuhkan personel daripada bantuan materi. Khususnya para da’i yang mengetahui bagaimana menyeru manusia ke jalan Allah dan para ahli berpengalaman yang memungkinkan untuk menuangkan seluruh pengalaman mereka di laboratorium Islam yang besar ini dan di medan pertempuran ini.

Da’i-da’i, pakar-pakar, ulama-ulama, dokter-dokter, insinyur-insnyur, mereka itu tidak ada seorangpun yang memperdebatkan mengenai ke-fardhu ‘ain-an mereka turut serta dalam jihad Afghan.

Adapun para mujahid yang berstatus tentara, maka mereka juga termasuk dari bagian dunia Islam. Sama saja mereka berdinas dalam kemiliteran atau sipil. Setiap orang muslim harus menjadi tentara bagi agama ini, mereka juga terkena fardhu ‘ain.

Kita harus memberi selang waktu istirahat bagi mereka yang selama ini tenggelam dalam kancah pertempuran, untuk mengembalikan nafas, menghimpun kembali tenaga dan semangat serta memantapkan tekad mereka sekali lagi untuk menghadapi musuh agresor yang kafir itu.

Jihad telah menjadi fardhu ‘ain sebelum Rusia masuk ke Afghanistan. Persoalan ini telah menjadi ijma’ jumhur ulama. Kemudian bertambah kokoh ‘ainiyah dan fardhiyah-nya setelah Rusia masuk ke Afghanistan, menginjak-injak kehormatan, merenggut kesucian, merampas harta benda serta menyembelih kaum lelaki dan anak-anak.

Jumhur ulama bersepakat pula bahwa dalam keadaan yang demikian, maka seorang anak wajib keluar tanpa harus meminta izin orang tua, seorang istri wajib keluar tanpa harus meminta izin suaminya dengan syarat dia harus didampingi muhrimnya dan jauh dari fitnah lelaki.

Inilah yang menjadi ketentuan semua fuqaha yang mereka tulis dalam bab “Al Jihad”. Semua pemikir yang menulis tentang jihad dalam kitabnya, maka mereka menetapkan hukum serupa itu juga. Saya sendiri tak pernah melihat suatu kitab yang membahas tentang jihad dan ke-fardhu’ain-annya melainkan kitab tersebut mesti menetapkan nash seperti pernyatan di atas.

 

PERTEMUAN HATI

Jihad Afghan sekarang ini, merupakan sarana satu-satunya yang memungkinkan bertemunya hati semua umat Islam di seluruh dunia. Afghanistan adalah negeri yang menarik perhatian umat Islam di seluruh belahan bumi.

Selama perjalanan keliling saya dan pengembaraan saya di dunia, maka tak pernah saya melihat hati yang begitu antusias mendengarkan berita seperti antusiasnya hati tersebut dalam mendengarkan berita bangsa Afghan yang berpenampilan lusuh dan berdebu itu.

Bangsa yang dengannya Allah memuliakan agama-Nya dan mempertautkan hati kaum muslimin di seluruh dunia. Semua orang bertanya tentang bagaimana jihad? Bagaimana kabar Mujahidin? Apa yang diperlukan Mujahidin? Ke manapun mereka pergi, bagaimana keadaan Sayyaf? Bagaimana keadaan Fulan? Nama-nama di atas telah ditinggikan Allah dengan sebab jihad ini, dan dimuliakan dengan sebab kemuliaan jihad ini.

Sebagaimana firman Allah ta’ala :

 
“Dan sesungguhnya Al-Qur'an itu benar-benar adalah suatu kemuliaan besar bagimu dan bagi kaummu dan kelak kamu akan diminta pertanggungjawaban”. (QS. Az Zukhruf: 44)

“Sesungguhnya telah Kami turunkan kepada kamu sebuah kitab yang di dalamnya terdapat sebab-sebab kemuliaan bagimu. Apakah kamu tidak memahaminya?”. (QS. Al Anbiya: 10)
 

            Dengan sebab Al Qur’anul ‘Azhim, bangsa Arab dan umat Islam menjadi mulia. Dengan sebab jihad Afghan, maka bangsa Afghan menjadi mulia. Nama-nama pemimpin mereka menjadi terkenal dan menjadi sebutan banyak orang.

 

PELOPOR UMAT.

            Sesungguhnya umat Islam dewasa ini telah bertemu di permukaan bumi dalam satu titik pandang terhadap persoalan jihad. Sedangkan kalian adalah pelopor- pelopor jihad. Kalian adalah perintis perang yang mubarak lagi agung ini. Kalianlah yang mendapat karunia Allah untuk menjadi pelopor bagi bangsa kalian menuju jihad yang mubarak ini. Menjadi pelopor umat kalian dalam mengemban tugas yang amat berat  ini.

Wahai saudara-saudaraku!

            Kalian adalah perintis kaum kalian. Dan sesungguhnya perintis jalan itu tidak akan mungkin membohongi dan menjerumuskan pengikutnya. Para perintis dalam sejarah merupakan merupakan orang-orang yang bersih, suci, benar dapat dipercaya terhadap amanah yang dipercayakan oleh Allah kepada mereka. Mereka adalah orang-orang yang benar, karena membenarkan Allah dengan mematuhi perintah-Nya untuk berperang. Para mujahid adalah orang-orang yang benar:

 

 

“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar. Tidaklah sepatutnya bagi penduduk Madinah dan orang-orang Badui yang berdiam di sekitar mereka, tidak turut menyertai Rasulullah (pergi berperang) …”. (QS. At Taubah: 119 – 120)

 

Kemudian isi ayat selanjutnya menerangkan tentang mujahidin dan besarnya pahala yang akan mereka terima dari Allah swt.

 

Wahai saudara-saudara sekalian!

Sesungguhnya Allah telah memilih kalian. Pilihan itu tidak terjadi begitu saja atau terjadi secara kebetulan, namum sebenarnya pilihan itu merupakan ketetapan yang telah dipastikan. Allah telah memilihmu untuk mengemban risalah-Nya. Allah telah memilihmu untuk mejadi syahid. Wa yattakhida minkum syuhada’, (Dan Dia mengambil beberapa di antara kalian sebagai orang-orang yang mati syahid).

Supaya engkau menjadi saksi atas kaummu pada hari kiamat. Supaya darah yang mengalir dari lukamu dinampakkan padamu di hari kiamat untuk menyaksikan kesyahidanmu.  Dan surga akan dinampakkan padamu jika Allah menetapkan surga bagimu dengan niat benar dan hati yang ikhlas.

Saya katakan : Malaikat akan bersaksi untukmu.  Orang yang mati syahid tidak disebut syahid melainkan karena makna-makna berikut ini : mungkin karena ia menyaksikan tempat duduknya di surga pada saat pertama kali darahnya mengalir, atau karena malaikat menyaksikan detik kematiannya lalu ruhnya dibawa oleh malaikat rahmat, atau karena bidadari-bidadari surga menyaksikan detik-detik kematiannya serta keluarnya ruh dari jasadnya, atau karena dia itu mati syahid yakni hidup (orang yang mati syahid itu hidup di sisi Tuhan mereka) atau karena dipersaksikan surga padanya, atau karena dia memperlihatkan kepada kaumnya bahwa nilai hidup itu lebih rendah daripada nilai prinsip dan kebenaran.

Kalian mesti menjaga diri kalian sendiri.  Telah saya sampaikan kepada kalian bahwa syahadah merupakan posisi yang amat tinggi.  Allah tidak memberikannya kecuali kepada hamba-hamba-Nya yang pilihan dan yang terbaik diantara mereka.  Dia memilih dan menjadikan sebagian diantara  kalian sebagai syuhada’.  Telah saya sampaikan dalam khotbah terdahulu dan telah pula kami ingatkan kepada kalian bahwa nafsu yang mengajak kepada kejahatan merupakan sesuatu yang paling berat untuk kalian atasi.

 

BAHAYA SYAHWAT

 

Ada berbagai sebab dan faktor yang mendorong manusia untuk berbuat dosa dan bertindak melampaui batas.  Telah saya sampaikan kepada kalian empat sebab yang paling utama yakni : al jahl (kebodohan), al ghaflah (kelalaian), al hawa (hawa nafsu ) dan asy syahwah (syahwat).

Tentunya kalian masih ingat bahwa kita telah membicarakan tentang syahwat.  Syahwat adalah kecenderungan hati dan kecondongannya untuk melakukan apa yang diinginkannya.  Dahulu, para sahabat, semoga Allah meridhai mereka semua, selalu mengawasi dan menjaga hati mereka dan senantiasa membuang jauh-jauh syahwat mereka.  Karena syahwat itu bermula dari hal-hal yang mubah, kemudian masuk kepada hal-hal yang makruh, kemudian berakhir pada syirik dan kekafiran.

Bani Isra’il menjadi kafir karena syahwat mereka, disebabkan kedurhakaan mereka dan dosa-dosa kecil mereka.  Sebagaimana firman Allah Ta’ala :

 

Mereka mulai lebih dahulu dengan perbuatan maksiyat, mulai dengan pelanggaran-pelanggaran kecil, kemudian akhirnya membunuh para nabi.

 

 

“Yang demikian itu karena mereka kafir kepada ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi tanpa alasan yang benar. Yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan melampaui batas”. (QS. Ali Imran : 112)

 

Dimulai dengan dosa-dosa kecil dan berakhir dengan perbuatan  syirik dan kufur besar.  Sebagaimana sabda Rasulullah SAW :

 

 

“Allah melaknat pencuri yang mencuri telur sampai akhirnya tangannya dipotong” (HR. Al Bukhari)[iv]

 

Mencuri telur itu hukumannya tidak sampai dipotong tangannya.  Akan tetapi pencurian yang diawali dengan hal-hal kecil biasanya meningkat dan terus meningkat sampai akhirnya si pelaku berani mencuri harta milik umat seluruhnya dan berani mengkhianati mereka.  Itu semua dilakukan karena dorongan syahwat yang ada dalam dirinya. Dia ingin melampiaskan hawa nafsunya dan memuaskan gejolak hatinya.  Apabila syahwat telah bersatu dengan kalalaian, maka keadaannya adalah seperti yang dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah :

 

 

“Apabila asy syahwah berkumpul dengan al ghaflah (kelalaian), maka keduanya menjadi sumber segala keburukan di dalam diri manusia.  Dan apabila syubhat, syahwat dan kelalaian bertemu, maka ketiganya menjadi sumber kejahatan”.

 

Seperti kata Ibnu Qayyim :

 

 

“Sesungguhnya sumber segala kejahatan adalah syubhat dan syahwat.  Syubhat tidak dapat diredam kecuali dengan yakin.  Dan syahwat tidak dapat ditolak kecuali dengan sabar.  Dengan perantaraan sabar dan yakin, engkau dapat mencapai tingkatan imam fid din (pemimpin dalam urusan din)”. 

 

Kemudian beliau membaca ayat :

 

 

“Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami”. (QS. As Sajdah : 24)

 

Syahwat paling besar ada tiga.  Ketiga syahwat inilah yang paling besar menimbulkan kerusakan pada diri manusia, yaitu :

1.  Syahwat terhadap kekuasaan

2.  Syahwat terhadap wanita

3. Syahwat terhadap harta, sehingga seseorang lupa terhadap hak manusia yang terdapat dalam hartanya dan lupa pula menunaikan zakatnya.

 

Syahwat Terhadap Kekuasaan.

 

Saya mengetahui, berdasarkan pengalaman saya, bahwa bahaya paling besar yang mengancam diri manusia datang dari syahwatnya.  Syahwat ingin berkuasa, sombong di muka bumi, takabur dan senang menjadi terkenal.  Betapa banyak orang yang dihinakan dan dibinasakan Allah karena kesombongannya.

Allah Ta’ala berfirman, yang artinya :

“Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di muka bumi.  Dan kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertaqwa”. (QS. Al Qashash : 83)

 

Dalam hadits shahih disebutkan :

 

 

“Tidak akan masuk Jannah seseorang yang dalam hatinya terdapat seberat dzarah dari kesombongan. Lalu salah seorang sahabat bertanya : “Wahai Rasulullah, bagaimana dengan seorang laki-laki yang suka memakai baju bagus dan bersepatu bagus.  Apakah itu termasuk kesombongan?”  Beliau menjawab : Sesungguhnya Allah itu indah dan menyukai keindahan. Sombong adalah menolak kebenaran dan merendahkan manusia”. (HR. Muslim, Ahmad, Abu Dawud dan At Tirmidzi) 4.

 

Menolak kebenaran maksudnya adalah mengingkarinya.  Sedangkan merendahkan manusia maksudnya adalah menghina dan meremehkannya.

Keinginan berlaku sombong di muka bumi, selalu diikuti dua perkara di atas dan tidak mungkin terpisah daripadanya.  Tidak mungkin kesombongan itu terpisah dari unsur ingkar kepada kebenaran.

 

 

“Dan mereka mengingkarinya karena kezhaliman dan kesombongan, padahal hati mereka meyakini (kebenaran)nya. Maka perhatikanlah betapa kesudahan orang-orang yang berbuat kebinasaan”. (QS. An Naml : 14)

 

Saudara-saudara, marilah kita tengok bersama-sama,  bagaimana Allah 'Azza wa Jalla menghubungkan dalam banyak ayat antara kerusakan dan kesombongan :

“Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di muka bumi”.

Berbuat kerusakan di muka bumi kebanyakan bermula dari keinginan seseorang untuk berkuasa dan memerintah, suka menyombongkan diri dan senang menonjol. Kesemuanya bermula dari tingkatan yang paling rendah sampai kepada tingkatan yang paling tinggi. Dimana akan terbentuk ikatan dosa, sumber kejahatan dan kubangan fitnah.

Ibnu Mas’ud atau Hudzaifah ra mengatakan:

 

 

“Sesungguhnya pada pintu masuk istana para sultan (penguasa) terdapat fitnah seperti tempat menderumnya unta”.    

           

Mereka, yakni orang-orang salaf, memperingatkan umat supaya jangan mendatangi penguasa jika di dalam hati mereka tidak ada maksud menasehati atau mencegah dari penyimpangannya, jika di dalam hati mereka tidak ada niat menjauhi harta kekayaannya.

Jika engkau bermaksud untuk memasuki pintu istana negara dan mendatangi mereka, maka ada dua perkara yang harus engkau hindari dan jauhi: harta kekayaan mereka dan pemberian mereka. Sebab perkataanmu akan jatuh tak bernilai dalam sekejap, begitu dirham dari tangan sultan jatuh ke tanganmu.

Sebagaimana perkataan Syaikh Sa’id Al Halbi rahimahullah ketika Ibrahim Basya datang ke negeri Syam. Ketika itu Syaikh Sa’id dikelilingi oleh para muridnya. Dia sedang memberikan pelajaran kepada mereka. Ibrahim Basya masuk masjid tempat pengajian tersebut, namun Syaikh Sa’id tidak mengacuhkannya dan dia tetap duduk sambil menjulurkan kakinya. Melihat sikap yang ditunjukkan Syaikh Sa’id itu, maka Ibrahim Basya keluar, darahnya mendidih dan kemarahannya berkobar-kobar. Lalu ia mengambil kantung berisi uang dan memberikan kepada pelayannya serta berkata:  “Taruhlah ini di pangkuan Syaikh itu!” (Kantung semacam inilah yang membuat leher menekuk dan dahi menunduk. Kantung inilah yang yang membuat mulut tersumbat sehingga agama Allah dipeti-eskan). Maka pelayan tadi datang dan meletakkan kantung tersebut di pangkuan Syaikh Sa’id. Namun oleh Syaikh, kantung tadi diangkat dan diberikan lagi kepadanya seraya mengatakan: “Katakan kepada tuanmu, bahwa orang yang menjulurkan kakinya tidak akan menjulurkan tangannya”.

Mereka, para penguasa melihat orang-orang yang mengambil harta mereka dengan pandangan sinis dan melecehkan, dengan nafsu mereka, dengan kegeraman hati mereka. Mereka berusaha untuk memuaskan hati para ulama dengan cara memberi hadiah kepada mereka sehingga para ulama mendiamkan kebatilan mereka dan membiarkan kedzaliman mereka. Para penguasa tadi melihat mereka tak ubahnya seperti binatang ternak yang berkumpul manakala diiming-iingi seikat rumput dan lari bercerai berai manakala digertak oleh pengawal mereka.

Pernah suatu ketika Khalifah Al Manshur mengunjungi Sufyan Ats Tsauri dan mengatakan padanya: “Hei Sufyan, apa yang menjadi hajatmu?”

“Engkau dapat memberikannya padaku?”,  tanya Sufyan.

“Ya”, jawab Al Manshur.

Lalu Sufyan berkata: “Janganlah kau datang padaku sampai aku mengirim utusan kepadamu. Dan janganlah mengirim seorang utusan padaku sampai aku sendiri yang minta”.

Maka Al Manshur berkata seraya membalikkan badan dan kembali pulang: “Semua burung dapat kami jinakkan dan saya tangkap kecuali Sufyan”.

Penguasa memandang manusia bahkan para ulama sebagai ayam-ayam kampung yang mereka pelihara dengan makanan mereka dan kemudian menyembelhnya kapan saja mereka mau. Orang-orang salaf mengetahui itu semua. Mereka benar-benar mengetahui dan memahaminya dari dasar hati mereka.

Suatu ketika Sulaiman ‘Abdul Malik berdiri di hadapan Ibnu Hazm – yakni Salamah bin Dinar--. Dia berkata: “Hai Ibnu Hazm, mengapa engkau tidak mendatangi kami?” Jawab Ibnu Hazm: “Mudah-mudahan Allah melindungimu dari perkataan dusta wahai Amirul Mu’minin. Dari sejak kapan saya mengenal tuan sehingga saya harus mendatangi tuan?”.

Kemudian Sulaiman bertanya kepada Ibnu Hazm: “Hei Ibnu Hazm, mengapa kami ini membenci mati dan meyukai hidup?”.

Ibnu Hazm menjawab: “Sebab kalian merusak Akhirat kalian dan membangun dunia kalian sehingga kalian merasa enggan berpindah dari bangunan yang kalian dirikan kepada bangunan yang telah kalian rusakkan”.

Mendengar ucapan Ibnu Hazm yang tajam itu, salah seorang pengawal khalifah memegang gagang pedangnya dan berkata: “Wahai Amirul Mu’minin, izinkan aku memenggal lehernya. Sebab dia telah menghinamu!”.

Kemudian Ibnu Hazm menghardiknya: “Diam kamu! Sesungguhnya telah binasa Fir’aun dan Haman”. Kemudian Ibnu Hazm memberikan nasihat kepada Sulaiman bin ‘Abdul Malik, katanya kepada Sulaiman: “Sesungguhnya bapak-bapakmu telah mengambil urusan ini (kekuasaan atas kaum muslimin) dengan darah mereka, maka dari itu tetapilah sesuatu dengan penuh pertimbangan dan takutlah engkau kepada Allah dalam memimpin rakyatmu”.

Sulaiman berkata kepada pelayannya: “Wahai pelayan, ambilkan uang 100 Dinar!”. Lalu dia berkata: “Ambillah ini wahai Ibnu Hazm!”. 

Ibnu Hazm mengangkatnya dan melihatnya lalu berkata: “Inikah harga suatu nasihat? Khamr, babi dan darah lebih halal bagiku daripada uang ini. Kembaikan saja uang ini kepada tuanmu, agar supaya diberikan kepada tangan-tangan yang berhak menerimanya”.

Karena itu, mereka takut masuk istana para sultan, sebab mereka khawatir tidak akan selamat dari fitnah, yakni: berdiam diri atas kemungkaran yang dilihatnya, ini jika mereka tidak menjilat penguasa tersebut diatas kebatilan mereka.

Rabbul ‘Izzati telah berfirman dalam Kitab-Nya:

 

 

“Dan tinggalkanlah orang-orang yang menjadikan agama mereka sebagai main-main dan sendau gurau, dan mereka telah ditipu oleh kehidupan dunia”. (QS. Al An’am : 70)

 

 

“Dan apabila kamu melihat orang-orang yang memperolok-olokkan ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka, sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain. Dan jika syetan menjadikan kamu lupa (akan larangan itu), maka janganlah kamu duduk dengan orang-orang yang zhalim itu sesudah (memberi mereka) peringatan”. (QS. Al An’am: 68)

 

Dalam menafsirkan ayat: “Falaa taq’ud ba’da adz dzikra ma’al qaumi azh zhaalimin…, (artinya: Maka janganlah kamu duduk bersama-sama orang-orang yang zhalim itu sesudah (memberi mereka) peringatan),  Al Qurthubi mengatakan: “Ayat ini merupakan hujjah atas mereka yang membolehkan dirinya sendiri untuk masuk ke istana para sultan tanpa mengingatkan mereka, tanpa menyuruh mereka berbuat ma’ruf dan melarang mereka dari perbuatan munkar”.

Sesungguhnya masuk ke istana sultan itu hanya untuk memperingatkan mereka.   Adapun sesudah memperingatkan maka : “Janganlah kamu duduk bersama orang-orang yang zhalim itu sesudah (memberi mereka ) peringatan”.

Bahaya paling besar yang dimungkinkan menyerang hati manusia adalah nafsu terhadap kekuasaan. Nafsu itu dimiliki hati, baik oleh kaum muslimin maupun kaum musyrikin. Kalian melihat nafsu terhadap kekuasaan merupakan nafsu yang paling berbahaya. Nafsu tersebut dapat memecah belah kesatuan ummat dan jama’ah. Berapa banyak sudah suatu kelompok yang telah bersatu padu karena Allah, namun kemudian bercerai berai karena ambisi salah seorang diantara mereka untuk memimpin dan ingin tampil di depan. Betapa banyak kelompok mulia yang dicerai beraikan oleh ambisi seseorang yang ingin menguasai dan memerintah mereka tanpa berpijak pada landasan kebenaran. Ini terjadi dikalangan ummat Islam.

Adapun nafsu dibawah tingkatan terhadap kekuasaan, banyak sekali. Lalu bagaimana halnya jika perkara tersebut sampai terkumpul pada diri seseorang, kekuasaan dan harta. Menguasai sektor pangan manusia seluruhnya. Membuat lapar siapa yang dikehendakinya, memberi kepada siapa yang dikehendakinya, memberi kenikmatan siapa yang dikehendakinya, dan mengharamkan atas siapa yang dikehendakinya. Disinilah letaknya fitnah. Fitnah besar bagi penguasa. Fitnah besar bagi orang-orang yang berhati lemah.

 

“Maka keluarlah Qarun kepada kaumnya dalam kemegahannya. Berkatalah orang-orang yang menghendaki kehidupan dunia: ‘Moga-moga kiranya kita mempunyai seperti apa yang telah diberikan kepada Qarun. Sesungguhnya ia benar-benar mempunyai keberuntungan yang besar’. Berkatalah orang-orang yang dianugrahi ilmu: “Kecelakan yang besarlah bagimu, pahala Allah adalah lebih baik bagi orang-orang yang beriman dan beramal shalih. Dan tidak diperoleh pahala itu, kecuali oleh orang-orang yang bersabar”. (QS. Al Qashash : 79-80)

 

Sedikit sekali orang-orang yang dikaruniai ilmu. Sedikit sekali orang-orang yang ingat dalam keadaan yang serupa itu. Sedikit sekali orang-orang yang tidak menjual agama mereka dengan harga yang murah. Sungguh alangkah sedikit dan langkanya mereka, sehingga jalan kebenaran menjadi jalan yang sunyi dan lenggang. Hanya beberapa dari orang-orang yang berjanji kepada Tuhan mereka untuk tetap setia berjalan di atas jalan tersebut bersama sedikit penempuh jalan. Mereka menghindari jalan umum, jalannya para budak nafsu dan syahwat, bersama banyak orang yang akan menemui kebinasaan .

 

Wahai saudara-saudaraku!

Syahwat ini menjadikan segelintir manusia mengaku-aku sebagai Tuhan di muka bumi ini. Mereka yang memerintah manusia, berusaha untuk menampilkan sosok dirinya kepada khalayak melalui media massa tanpa letih-letihnya. Pagi sore, siang malam selalu menampilkan wajahnya, menampakkan kezhaliman bak keadilan, dan memperlihatkan hal-hal tercela seolah-olah sebagai suatu kebaikan. Maka demikianlah, mereka tak henti-hentinya mempublikasikan manusia yang kecil dan kerdil itu sehingga mereka menganggapnya sebagai raksasa yang layak menduduki posisi Tuhan di muka bumi. Tidak mungkin seseorang diidolakan kecuali sesudah ia dipublikasikan dan dibesar-besarkan sehingga orang-orang merasa bahwa dia adalah orang yang mendapat wahyu (ilham). Jika dia mengucapkan pidatonya di layar televisi atau melalui saluran radio, padahal teks pidatonya dibuatkan atau dia mengatakan ucapan yang kadang-kadang dia sendiri tidak tahu atas apa yang telah diucapkannya, maka segara saja mass media mengulas dan mengomentari pidato yang masyhur dan bersejarah itu selama berminggu-minggu. Kandungan hukum apa yang terdapat di balik pidato itu? Faedah apa yang ada di dalamnya? Apa yang ia rencanakan untuk masa depan  rakyat? Allah mengetahui bahwa kepala negara tersebut berlepas diri dari mengetahui apa-apa yang mereka tulis ketika ia mengucapkan pidatonya. Sampai sekarang ia tidak mengetahui pidatonya sendiri, bahkan sesudah munculnya analisa yang dihasilkan oleh mereka yang menjual agama manusia untuk kepentingan dunia mereka atau bahkan untuk kepentingan dunia orang lain.

Abdullah bin Al Mubarak rahimahullah pernah ditanya: “Siapakah raja itu?”

Beliau menjawab: “Orang-orang yang zuhud”.

Beliau ditanya lagi: “Siapa yang hina itu?”

Beliau menjawab: “Mereka yang makan dengan menjual agama mereka”.

Beliau ditanya lagi: “Siapa yang paling hina itu?”

Beliau menjawab: “Mereka yang memperbaiki dunia orang lain dengan merusak agamanya sendiri”.

 

Wahai saudara-saudaraku:

Persoalan ini bukanlah persoalan kekuasaan yang paling besar meski persoalan tersebut sampai seperti apa yang dikatakan Fir’aun:

 

“Dan Fir'aun berseru kepada kaumnya (seraya) berkata: "Hai kaumku, bukankah kerajaan Mesir ini kepunyaanku dan (bukankah) sungai-sungai ini mengalir di bawahku, maka apakah kamu tidak melihat (nya)? Bukankah aku lebih baik dari orang yang hina ini dan yang hampir tidak dapat menjelaskan (perkataannya)?. Mengapa tidak dipakaikan kepadanya gelang dari emas atau malaikat datang bersama-sama dia untuk mengiringkannya?". Maka Fir'aun mempengaruhi kaumnya (dengan perkataan itu) lalu mereka patuh kepadanya. Karena sesungguhnya mereka adalah kaum yang fasik”. (QS. Az Zukhruf : 51-54)

 

Seorang pemimpin tidak mungkin ditaati secara mutlak melainkan karena kebodohan rakyatnya dan kefasikan mereka.  Para penguasa diktator tidak mungkin bertindak sewenang-wenang terhadap rakyatnya, menyiksa mereka dan menyembelih mereka semaunya, melainkan karena dukungan ahli kebathilan, dan dukungan ini betapapun besar, hanyalah tongkat kayu yang tersandar. Sebagaimana firman Allah Ta’ala :

 

“Mereka seakan-akan kayu yang tersandar. Mereka mengira bahwa tiap-tiap teriakan yang keras ditujukan kepada mereka”. (QS. Al Munafiqun : 4)

 

Jika mereka melihat pemuda berjenggot lewat di tengah jalan, maka datanglah mereka yang kerjanya mengais dan menjilat sisa makanan dalam periuk, yang menjual agama Allah dengan harga yang sedikit, kepada tuan-tuan mereka dan mengatakan : “Sungguh sekarang ini makin banyak orang-orang yang taat beragama.  Lihatlah, mereka pasti akan menimbulkan bahaya terhadap kalian.  Mereka akan berbuat sesuatu kepada kalian.  Waspadalah, wanita yang memakai jilbab makin banyak!  Hati-hatilah!  Berkumpullah kalian dan bikinlah rencana untuk menghadapi pengikut agama fanatik, untuk menghadapi kaum fundamentalis, untuk menghadapi kaum militan, cetaklah suatu generasi yang elastis.  Agamanya elastis, dapat memanjang sesuai dengan nafsu mereka dan melebar sesuai dengan selera mereka.  Rekrutlah ulama-ulama yang mau berfatwa menurut kehendak kalian!”

 

“Mengapa orang-orang alim mereka, pendeta-pendeta mereka tidak melarang mereka mengucapkan perkataan bohong dan memakan yang haram. Sesungguhnya amat buruk apa yang telah mereka kerjakan itu”. (QS Al Maidah : 63)

 

Berapa banyak penganut agama yang taat disembelih lantaran ulama mereka?  Berapa banyak pemikir Islam yang digantung karena fatwa para Syaikh, bahkan Syaikh terbesar di permukaan bumi?  Tiadalah Syaikh Sayyid Quthb dihukum mati kalau bukan karena fatwa dari Syaikh Al Azhar sesudah menulis ayat :

 

“Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik …” (QS. Al Maidah : 33)

 

Tiadalah dibunuh ‘Abdul Qadir ‘Audah, Muhammad Farghali, Yusuf Thal’at, Ibrahim Thayyib dan lain-lain kecuali karena fatwa dari seorang Syaikh Islam (baca : Kyai, Ulama).

Pernah suatu ketika para begundal rezim penguasa datang menemui Syaikh Muhammad Al Hadhar Husain meminta agar dia memberikan fatwa atas kesesatan Ikhwanul Muslimin, dan mendesaknya supaya berfatwa bahwa anggota Ikhwanul Muslimin boleh dibunuh dan dipenjarakan.  Lalu Syaikh berseru : “Aku berlindung diri kepada Allah dari menjual Jannah dengan Neraka Jahim”.  Karena Syaikh Muhammad Al Hadhar menolak permintaan mereka, maka iapun dipenjarakan.

Dahulu, guru besar Universitas Al Azhar (Syaikh Al Azhar), dipilih melalui pemungutan suara para ulama.    Dengan demikian calon yang terpilih adalah benar-benar melalui kriteria Islam.  Jadi tidak akan berhasil dalam pemilihan tersebut kecuali orang-orang yang benar dan kredibilitasnya sebagai ulama tak perlu diragukan.

Kemudian setelah dicopotnya Muhammad Al Hadhar sebagai Syaikh Al Azhar, mereka mengangkat Syaikh yang lain berdasarkan ketetapan kepala negara dan panglima revolusi.  Mereka mengatakan : “Inilah Syaikh Al Azhar yang baru”.  Tak perlu kami sebutkan namanya.  Lalu sesudah pengangkatan itu keluarlah fatwa darinya : “Sesungguhnya hukuman bagi Ikhwanul Muslimin telah diketahui dalam syariat.  Mereka adalah orang-orang yang keluar dari ketaatan kepada ‘Ulil Amri. Taubat mereka tidak diterima”.  Kalau mereka mengatakan “Mereka adalah orang-orang yang keluar dari Ulil Amri”, maka kata-kata itu dapat diterima.  Akan tetapi ucapan “Tidak diterima taubat mereka”, maka dari agama mana ia datangkan fatwa itu?  Sungguh dia telah mena’wilkan Al Qur'an menurut hawa nafsu dan syahwatnya.

 

“Kecuali orang-orang yang taubat (diantara mereka) sebelum kamu dapat menguasai (menangkap) mereka; maka ketahuilah bahwasannya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. Al Maidah : 34)

 

Syaikh tersebut berdalih : “Mereka tidak bertaubat melankan sesudah mereka ditangkap dan penjara.  Jadi taubat mereka tidak diterima”.

Dengan fatwa ini, maka digantunglah Abdul Qadir Audah dan kawan-kawannya.  Berdasarkan fatwa Syaikh Al Azhar pada bulan Desember 1954.

 

//Di atas tiang-tiang kayu leher-leher tergantung

Kepada mereka bidadari-bidadari surga merindu

Mereka berdendang ketika digiring ke tempat kematiannya

Di atas tiang-tiang kayu itu adalah para ksatria gagah

Mereka laksana pendeta di malam hari

Sepanjang malam penuh alunan Al Qur'an

Apabila mereka membacanya, maka lunaklah hati mereka

dan air mata pun jatuh berderai

Mereka telah banyak melimpahkan kehinaan pada bangsa Inggris

Dan menginjak-injak tentaranya hingga mati bergelimpangan

Tanyakan pada Yahudi, berapa banyak

batalyon tentara mereka yang gugur binasa//

 

Wahai saudara-saudaraku !

Waspadalah kamu sekalian, karena sesungguhnya nafsu yang tersembunyi ini boleh jadi telah mengacaukan hati kalian. Seringkali nafsu tersebut menyesatkan kalian dari jalan yang benar, seringkali memalingkan kalian dari kebenaran dan seringkali menjauhkan kalian dari kesungguhan. Waspadalah terhadapnya dan jauhilah sifat ingin terkenal. Betapa banyak orang binasa gara-gara keinginannya untuk tenar. Karena sifat suka tenar itu akan membinasakan si empunya.

Waspadalah dan janganlah enggan hidup secara bersahaja seperti orang kebanyakan. Adalah Imam Ahmad rahimahullah, apabila berjalan di jalanan umum, maka  beliau menyelinap diantara para kuli angkut, supaya tidak ada orang yang mengenali beliau kemudian menunjuk dengan jari tangan ke arah dirinya. 

 

KHOTBAH KEDUA

 

Alhamdulillah, Segala puji bagi Allah, kemudian segala puji bagi Allah.  Mudah-mudahan kesejahteraan serta keselamatan senantiasa dilimpahkan kepada Rasulullah, junjungan kita Muhammad bin ‘Abdullah, kepada keluarga dan sahabat-sahabatnya serta siapa saja yang mengikuti jejaknya.

 

Nikmat bersikap tawadhu’

Diantara hikmah dan nikmat Allah adalah bahwasanya :

 

 

“Tiada seorangpun yang berlaku tawadhu’ karena Allah melainkan Allah akan meninggikan kedudukannya.  Dan tiada seorangpun yang ambisi terhadap ketinggian di dunia, melainkan Allah pasti akan menghinakan dan merendahkannya”. (Al Hadits)

 

Adapun peristiwa yang melatarbelakangi sabda Rasulullah SAW di atas ialah : Suatu ketika unta Rasulullah SAW yang bernama Al ‘Adhaba dapat didahului oleh unta milik seorang Badui.  Padahal sebelum itu, tak pernah sekalipun unta tersebut dapat didahului.  Hal itu menyebabkan para sahabat menjadi jengkel,  lalu Rasulullah SAW bersabda seperti hadits di atas.

Karena itu, berlakulah tawadhu’, niscaya  Allah akan meninggikanmu.  Jika engkau menghendaki ketinggian, maka Allah akan merendahkanmu.  Hiduplah kamu diantara manusia secara bersahaja dan jangan menonjolkan dirimu di tengah-tengah mereka.

 

 

“Cukuplah seseorang itu disebut berbuat jahat, apabila ia meremehkan saudaranya sesama muslim”. (HR. Muslim).

Dalam hadits lain juga disebutkan:

“Janganlah kalian bersikap sombong terhadap menusia dan janganlah kalian meremehkan mereka. Cukuplah seseorang itu telah berbuat dosa apabila meremehkan saudaranya sesama muslim”.

 

 Boleh jadi orang yang kau remehkan di hadapanmu adalah singa perkasa yang sebanding dengan sepenuh bumi orang seperti kamu.  Sebagaimana sabda Rasulullah SAW : “Orang itu lebih baik dari sepenuh bumi semisal orang tadi”.

Ketika itu beliau bertanya kepada sahabat di sampingnya tentang seorang laki-laki yang lewat di hadapannya : “Apa pendapatmu tentang orang itu”. 

Mereka menjawab ; “Orang itu layak, apabila meminang diterima pinangannya.  Apabila berkata didengar perkataannya.  Apabila memerintah, ditaati perintahnya”.  Kemudian ada seorang lain yang lewat,  bajunya lusuh, penampilannya tidak menarik perhatian.  Lalu beliau bertanya : “Apa pendapat kalian tentang orang yang ini?”  Mereka menjawab : “Orang itu pantas jika berbicara tidak didengar perkataannya.”  Kemudian sesudah itu beliau bersabda : “Orang yang ini lebih baik dari sepenuh bumi orang yang seperti tadi”.

Berkata para ulama dan fuqaha : “Tidak ada dua jenis sesuatu yang salah satunya sebanding dengan seribu atau beribu-ribu dengan yang lain kecuali pada manusia.  Terkadang seorang manusia bisa sebanding dengan sepenuh bumi orang yang sejenisnya”.

 

Wahai saudara-saudaraku!

Sesungguhnya nafsu ingin berkuasa dan berlaku sombong di muka bumi menjadikan segelintir manusia mengaku-aku hak ketuhanan.  Lalu mereka menetapkan hukum bagi manusia dengan selain hukum yang telah ditetapkan Allah.

 

 

“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyari'atkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?”. (QS. Asy Syuura : 21)

 

Mereka merubah hukum Allah, merubah Kitabullah dan menentang sunnah Rasulullah SAW, dengan mensyari’atkan sesuatu menurut apa yang didiktekan syetan kepada diri mereka, serta menurut apa yang dinampakkan baik oleh hawa nafsu mereka.

Tasyri’ (menetapkan hukum) adalah hak Allah semata. Ulama ushul telah bersepakat bahwa Syaari’ (pembuat undang-undang/hukum) adalah Allah 'Azza wa Jalla saja.  Sedangkan Rasulullah SAW hanya mengambil izin dari Allah dalam hal penetapan hukum.  Hak menetapkan hukum tetap berada di tangan Allah saja.  Maka dari itu, barangsiapa menetapkan hukum bagi manusia dengan selain apa yang diturunkan Allah, maka dia telah mengaku-aku hak ketuhanan.  Sama saja dia mengucapkan hal tersebut atau tidak.  Dan barangsiapa mematuhi hukum yang dibuat manusia, maka dia telah menjadi hamba bagi manusia.  Sama saja apakah dia mengucapkan penghambaan itu atau tidak mengucapkannya.

Tatkala Hulaghu Khan5 mengajukan undang-undang Jenghis Khan yang bernama “Ilyasiq” kepada umat Islam untuk diterapkan.  Maka para ulama berdiri dan mengangkat kitab “Ilyasiq”, serata berkata : “Barangsiapa memutuskan hukum dengan kitab ini, maka dia telah kafir.  Dan barangsiapa berhukum dengan kitab ini, maka dia telah kafir”.

Berkata Ibnu Katsir dalam kitabnya “Al Bidayah wan Nihayah”, tentang Ilyasiq : “Barangsiapa meninggalkan hukum yang muhkam (terang dan tegas), yang diturunkan kepada Muhammad bin Abdullah penutup para Nabi, lalu dia berhukum dengan syariat lain yang telah dihapuskan 6, maka sungguh dia telah kafir.   Lalu bagaimana halnya dengan mereka yang berhukum dengan Ilyasiq, yakni undang-undang buatan Jenghis Khas yang dikumpulkan dari ajaran Yahudi, Nasrani dan Islam, dan mendahulukannya atas hukum Islam.  Maka tak pelak lagi, orang seperti itu kafir menurut ijma’ kaum muslimin.  Barangsiapa menetapkan hukum dengan selain apa yang diturunkan olah Allah meski hanya dengan ketetapan hukum saja, maka sesungguhnya dia telah keluar dari agama Allah 'Azza wa Jalla.  Dan barangsiapa mematuhi ketetapan hukum tadi, maka sesungguhnya dia telah menjadi hamba bagi orang yang menetapkan hukum itu.  Sama saja dia mengucapkan dengan penghambaan itu atau tidak”.

Barangsiapa menetapkan suatu undang-undang yang berbunyi: “Hukuman bagi seorang pencuri adalah kurungan penjara selama dua bulan”, sementara Allah 'Azza wa Jalla berfirman yang artinya : “Potonglah olehmu sekalian tangan keduanya!” (QS. Al Maidah : 38), maka sesungguhnya dia telah mengaku-aku hak ketuhanan.  Sama saja dia mengucapkan hal itu atau tidak. Sebab dia menganggap bahwa hukumnya lebih baik dari hukum Allah, dan perkataannya lebih tegas dan lebih sempurna daripada firman Allah yang jelas dan tegas.

Karena itu, maka ucapan orang yang mengatakan “Hukuman bagi pencuri adalah dua bulan kurungan penjara”, tidak berbeda dengan orang yang mengatakan bahwa : “Shalat Maghrib itu empat rakaat”.  Yang itu merubah hukum Allah yang ini juga merubah hukum Allah.  Yang itu kafir menurut ijma’ ummat.  Dan yang ini juga kafir menurut ijma’ ummat.

Waspadalah kamu sekalian wahai saudara-saudaraku, kepada mereka yang merubah syariat Allah.  Ketahuilah bahwa musibah paling besar yang menimpa manusia adalah karena di kalangan manusia ada orang-orang yang mendakwakan diri mempunyai hak membuat hukum.  Mereka menyematkan kepada diri mereka sendiri hak-hak ketuhanan yang hanya dimiliki oleh Rabbul 'Izzati, Pemilik keagungan dan kemuliaan.

Maka dari itu, syariat harus datang dari Allah kemudian dari Rasulullah SAW. Dari Kitabullah dan dari Sunnah atau dari ijma atau qiyas.  Sumber-sumber perundang-undangan inilah yang telah disepakati oleh seluruh ulama sepanjang sejarah Islam.

Barangsiapa menetapkan hukum dengan selain apa yang telah diturunkan oleh Allah, maka dia kafir dan keluar dari Islam.  Inilah yang menjadi konsensus para Imam kaum muslimin.

Undang-undanglah yang memberikan hak kepada para penguasa di bumi untuk menyembelih rakyat; yang memberikan kepada mereka hak untuk merampas harta umat; yang memberikan hak kepada mereka untuk melampiaskan nafsu dan syahwat mereka.  Mengapa mereka berbuat demikian?  Sebab undang-undang melindungi mereka.  Mereka berbicara atas nama undang-undang dan berbuat mengatasnamakan undang-undang.  Karena itu, ada sebagian perundang-undangan manusia yang menetapkan bahwa si Fulan, yakni kepala negara, berada di atas undang-undang.  Maksudnya, undang-undang atau hukum tidak berlaku atasnya.  Dia mempunyai kekebalan hukum.  Di dalam Islam, tak seorangpun manusia yang berada di atas hukum (kebal hukum).  Semuanya tunduk kepada syariat Allah.  Semuanya adalah hamba, yang wajib berhukum kepada syariat Allah 'Azza wa Jalla.

Jika kita lihat di setiap tempat di bumi sekarang ini, maka kita akan mendapati pengadilan-pengadilan yang menyidang para aktifis Islam.  Mereka menggiring pemuda-pemuda tersebut ke dalam penjara.  Setiap para aktifis Islam yang hidup di bawah belenggu kezhaliman dan kesewenang-wenangan ini berkumpul, ketika mereka mengungkapkan rasa kesakitan mereka,  ketika mereka mengerang saat hendak menghembuskan nafas mereka;  maka datanglah polisi, datanglah intelijen, menangkap dan menyiksa mereka dalam detik-detik terakhir kehidupan mereka.  Para polisi tersebut menyiksa mereka karena kezhaliman belaka.  Sungguh mereka telah berlaku sombong dan takkabur di muka bumi.

 

“Maka perhatikanlah betapa kesudahan orang-orang yang berbuat kebinasaan”. (QS. An Naml : 14)

 

Dan akibat dari perbuatan zhalim itu adalah seperti yang difirmankan Allah :

 

“Dan orang-orang yang zalim itu kelak akan mengetahui ke tempat mana mereka akan kembali”. (QS. Asy Syu’ara : 227)

 

Tiada sesuatu di dunia ini yang dimenangkan Allah seperti Dia memenangkan mereka yang diputuskan persaudaraannya, seperti mereka yang didurhakai.  Allah pasti memenangkan wali-wali-Nya dan membalaskan bagi para kekasih-Nya atas penganiayaan yang mereka alami dari musuh-musuhnya.  Sesungguhnya di muka bumi ini ada orang-orang zhalim yang menjadi cemeti Allah. Melalui perantaraan mereka, Allah menyiksa orang-orang yang zhalim yang lain.  Kemudian Allah membalas dan menyiksa mereka semua.

 

Wahai  saudara-saudaraku!

Ketahuilah bahwa di setiap tempat sekarang ini ada pesan berisi peringatan : “Hindari sikap fanatisme! Waspadalah terhadap sikap ekstrim!!”,  dengan mendapat dukungan  ulama-ulama besar.  Maksudnya adalah supaya ulama-ulama tersebut berfatwa : Bagaimana menghadapi ekstremitas agama?  Bagaimana memerangi Islam militan?  Bagaimana memerangi aqidah jihad?

Sesungguhnya sebagian besar sidang  pengadilan di negara Arab sekarang ini dan di negara non Arab, kasus dakwaan yang menduduki peringkat pertama adalah kasus jihad.  Para aktifis disidang atas tuduhan terlibat dalam gerakan jihad.  Mereka dihukum mati atas tuduhan berjihad.  Maka kesombongan mana lagi yang lebih besar daripada ini?

Kerusakan dianggap sebagai tindakan keadilan, dan jihad dianggap sebagai tindak kejahatan dan subversif terhadap sultan (penguasa), sehingga pelakunya harus diganjar dengan  hukuman mati dan digiring ke tiang gantungan.

Apa mau mereka, para penguasa itu?  Saya tak tahu apa dasar ketakutan mereka terhadap pemuda yang ingin kembali kepada Allah, bertaubat kepada Rabbnya dan merendahkan diri kepada Sang Penciptanya??

Mengapa mereka memusuhi habis-habisan para pemuda itu, namun tidak berbuat habis-habisan terhadap kebanyakan pemuda yang larut dalam kemaksiatan dan tenggelam dalam syahwatnya?  Mereka tidak merasa takut atau menggigil terhadap orang-orang semacam itu, yang mereka takutkan hanyalah jenggot apabila memanjang dan jilbab apabila menutupi aurat seorang perempuan mu’minat.  Untuk menghadapi masalah ini, maka dibuatlah suatu undang-undang.  Para menteri dan interpol mengadakan pertemuan, berkumpul di negeri kafir dan di negeri Islam untuk membuat suatu undang-undang bagaimana cara menghadapi ekstrimitas agama?  Bagaimana cara memerangi Islam dengan tuduhan ekstrim, fanatik, militan, fundamentalis atau ekslusive kepada para pengikutnya yang taat.

Yang mereka kehendaki adalah para pemuda yang mengumbar hawa nafsunya.  Seperti apa yang pernah dikatakan salah seorang atase dari sebuah negara kepada saya : “Di Amerika dulu, pada suatu malam pernah seorang polisi datang kepada saya dengan membawa tiga belas pemuda, yang semuanya terkena penyakit gonorrhea (penyakit kelamin), karena sama-sama menyetubuhi seorang wanita yang terkena penyakit gonorrhea”. Para pemuda semacam ini tidak menimbulkan bahaya terhadap penguasa.  Mereka tidak menimbulkan bahaya, karena para pemuda itu telah mereka tenggelamkan bersama hawa nafsu dan syahwat mereka.  Adapun para pemuda yang menjadi benteng umat, tulang punggung negara dan bangunan bagi negerinya serta menjadi tumpuan harapan umat ketika terjadi krisis dan peristiwa genting, maka mereka memeranginya.  Dengan apa?  Dengan kuku dan cakar yang ditancapkan musuh-musuh Allah di negeri kita.  Cakar-cakar itu mengoyak isi perut tiap orang Islam dan merobek-robek usus setiap mu’min.

Sesungguhnya ekstrimitas agama adalah sikap komitmen (berpegang teguh) terhadap agama Allah 'Azza wa Jalla.  Tidak ada sikap ekstrim, karena sikap ekstrim itu timbul dari orang-orang yang melampaui batas (thaghut).  Sesungguhnya sikap ekstrim itu lahir dari mereka yang menzhalimi manusia tanpa alasan yang benar.  Adapun para pemuda yang bermaksud memulai jihad di negerinya; para pemuda yang mencari jalan untuk menunaikan faridhah I’dad guna melindungi negaranya dari Yahudi yang merayap ke setiap tempat, melindungi negaranya dari kekafiran yang mengalir dari barat, dari bid’ah yang menyerbu dari timur dan dari serbuan Yahudi / Nashrani yang datang dari arah Laut Tengah, (mereka bukan orang-orang yang ekstrim).

Para pemuda yang tenggelam dalam syahwatnya, tidak akan menimbulkan bahaya atas orang-orang zhalim dan pengikut hawa nafsu yang memegang kekuasaan. Sesungguhnya yang menimbulkan ancaman terhadap mereka adalah : benteng kokoh, tiang kuat, dan tembok keras yang menjadi tempat sandaran umat  dan tempat berlindung mereka ketika sedang menghadapi kesusahan.

 

“Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah baik laki-laki, wanita-wanita maupun anak-anak yang semuanya berdo'a: “Ya Rabb kami, keluarkanlah kami dari negeri ini (Mekah) yang zalim penduduknya dan berilah kami pelindung dari sisi Engkau, dan berilah kami penolong dari sisi Engkau”. (QS. An Nisaa’ : 75)

 

Orang-orang yang tidak melindungi kehormatan kita seperti kaum wanita, dan tidak melindungi ketidaksalahan kita dan darah kita seperti anak-anak dan tidak melindungi orang-orang tua jompo yang telah lapuk di makan usia,   merekalah sebenarnya orang-orang yang zhalim

“Zhaalimi ahluha” artinya: bangsa dan pemerintahnya zhalim.  Karena mereka tidak melindungi kehormatan dan tidak menjaga kesucian serta tidak melindungi serta harta kaum muslimin dari perampasan dan penyitaan musuh-musuh Allah.  Ini merupakan hukuman dari Allah 'Azza wa Jalla.

 

 

“Tiada sesuatu  kaum yang meninggalkan hukum kepada kitabullah dan sunnah Nabi-Nya, melainkan  Allah pasti akan menguasakan mereka kepada musuh-musuh mereka.  Lalu musuh itu merampas sebagian apa yang berada di tangan mereka”. (Al Hadits)

 

Maka berhati-hatilah, janganlah kalian sampai terpedaya oleh fitnah-fitnah yang menyesatkan, oleh kebohongan media massa yang menyesatkan seluruh manusia, yang merubah mereka menjadi rakyat jelata belaka.  Sebagaimana yang dikatakan penyair Ahmad Syauqi.

 

// Kebohongan telah meraja lela

Kedustaan telah menipu banyak manusia

Hai  mereka yang kerjanya membeo

Akalnya ada di telinganya //.

 

Mereka tidak berfikir. Otaknya ada di telinga.  Setiap apa yang didengar oleh telinganya, dianggapnya benar, dianggapnya shahih.

Jadilah kalian bersama orang-orang yang menyiapkan dirinya untuk melindungi agama Alah dan membelanya di setiap tempat.  Jadilah kalian bersama para pemuda aktifis Islam.  Bersamalah kalian dengan kelompok Islam.  Bersamalah kalian dengan dakwah Islam.  Dan bersamalah kalian dengan harakah-harakah Islam.  Inilah tempat kedudukan kalian yang benar.  Dan itulah tempat kalian melatih diri dan di bawah naungannya kalian menumbuhkan tunas-tunas baru yang lurus, benar dan lempang.  Yang dicintai Allah dan diridhai oleh Rasulullah SAW.

 

Footnote

1.      Shahih Al Jami’ Ash Shaghir no. 5915

2.      At Tirmidzi berkata : :Hadits ini Hasan Gharib”. Lihat At Targhib wa At Tarhib IV/126

3.      Shahih Al Jami’ Ash Shaghir no.5097

4.      Shahih Al Jami’ Ash Shaghir no. 7674

5.      Hulaghu Khan adalah cucu Jenghis Khan, Raja Mongol yang meruntuhkan kekuasaan Bani ‘Abbasiyah di Baghdad.

6.      Maksudnya adalah syari’at nabi-nabi terdahulu seperti syari’at Nabi Musa, Nabi Isa dan lain-lain.

 





[1] Charles Martel hidup dari tahun 685-741 H.  Dia memegang tampuk kekuasaan di Austria tahun 719 H.  Memerangi orang-orang Sachen dan menghentikan serbuan pasukan Arab (muslimin) di bawah pimpinan Abdurrahman al Ghafiqi di Poltier dalam pertempuran Bilath Asy Syuhada’ bulan Oktober 732 H
[ii] Shahih Al Jami’ Ash Shaghir : no. 5925
[iii] HR. Ibnu Majah dan At Tirmidzi.  Dia berkata hadits ini hasan Gharib.  Lihat kitab At Targhib wa At Tarbhib juz 4 hal 126
[iv] Diriwayatkan oleh Bukhari dalam shahihnya

«
Next
Posting Lebih Baru
»
Previous
Posting Lama

Tidak ada komentar

Leave a Reply