Select Menu
Select Menu

Favorit

Buku Referensi

Buku

Pergerakan Islam

Tokoh

Rumah Adat

Syamina

Pantai

Seni Budaya

Kuliner

» » » Nasihat Kepada Pemuda Islam


Unknown 04.22 0

Allah 'Azza wa Jalla berfirman dalam kitab-Nya yang mulia :


“Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang mutad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap lemah-lembut terhadap orang orang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut terhadap celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dihendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. Sesungguhnya wali (penolong ) kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah). Dan barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi wali (penolong)nya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang.” (QS. Al-Maidah : 54-56)




Allah 'Azza wa Jalla menerangkan tentang beberapa sifat orang-orang yang dicintai-Nya yaitu: mereka cinta kepada-Nya, bersikap lemah lembut kepada orang-orang beriman, berlaku keras terhadap orang-orang kafir, berjihad di jalan Allah dan tidak takut celaan orang yang suka mencela.



Ayat ini datang sesudah ayat-ayat yang menerangkan tentang wajibnya berhukum kepada apa yang diturunkan Allah dan menerangkan bahwa tidak berhukum kepada apa yang diturunkan-Nya merupakan perbuatan kufur, fasik dan zhalim. Allah menerangkan pula bahwa kitab Al-Qur’an diturunkan untuk diterapkan dalam kehidupan manusia di dunia.

                            
“Dan Kami telah turunkan kepadamu Al-Qur'an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan sebagai penyaksi *) terhadap kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya. Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu.” (QS. Al-Maidah : 48)



*) Al Qur`an adalah penyaksi bagi isi kitab yang diturunkan Allah sebelumnya. Menetapkan yang benar dan menyingkap kesalahan dari isi kitab yang telah dirubah.


Kemudian Allah 'Azza wa Jalla berfirman sesudahnya :



“Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?”



“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim. (QS. Al-Maidah : 50 - 51)



Agama (Islam) diturunkan oleh Allah agar supaya manusia berhukum padanya serta menerapkan isi ajarannya dalam kehidupan mereka.


Ada dua faktor yang menyebabkan hukum Al-Qur’an tidak dijalankan :



Kaum muslimin berwali kepada non muslim.

Kaum muslimin meninggalkan jihad


Sementara jihad berhubungan erat dengan tidak adanya rasa takut terhadap celaan seperti firman Allah Ta’ala (Yujaahiduuna fii sabilillahi walaa yakhaafuuna laumata laa-im, artinya: Mereka berjihad di jalan Allah serta tidak takut celaan orang yang mencela) Siapa yang ingin berjihad maka dia tidak perlu menoleh-noleh ke sekelilingnya. Dia tidak perlu mengambil berat kekuatan internasional atau kekuatan regional atau kekuatan musuh atau celaan teman. Tidak usah terlalu mencemaskan makar dan tipu daya musuh, sehingga hati orang-orang yang dengki lega (senang) karena kecemasan kita atau tentram dengan kematian dan akibat (buruk yang menimpa)nya. Allah telah berfirman :



“ Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. Dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit.” (QS. Al-Maidah : 44)


Jadi, penerapan isi kitab dapat diwujudkan apabila kaum muslimin tidak takut kepada manusia ataupun opini dunia. Penerapan Kitabullah ‘Azza wa Jalla dan penerapan syari’at Islam dalam kehidupan manusia tergantung dari tiga hal :


Tidak adanya rasa takut kepada manusia.

Hanya takut kepada Allah

Tidak memperdagangkan agama.


Karena itu, Fudhail bin ‘Iyadh –(atau Bisyr Al-Hafi, yang jelas salah seorang di antara mereka)— mengatakan,` Kejahatan seluruhnya diletakkan di satu tempat lalu ditaruh di atasnya kunci pembuka, yaitu sifat tamak terhadap dunia. Dan kebaikan seluruhnya diletakkan di satu tempat, lalu ditaruh di atasnya kunci pembuka, yaitu sifat zuhud terhadap dunia.”



‘Ubadah bin Shamit pernah berkata,


“Kami telah berbai`at (mengucapkan janji setia ) kepada Rasulullah saw untuk mendengar dan taat baik dalam keadaan dalam suka maupun benci, tidak menentang orang yang memberi perintah (Amir), mengatakan yang benar di manapun kami berada, dan tidak takut karena Allah celaan orang yang mencela.” (Hadits riwayat Bukhari).


Semua urusan dalam agama ini akan tegak manakala orang-orang yang beriman tidak terpengaruh dengan opini dunia, tidak takut kepada manusia dan tidak sedikitpun mengharapkan dari dunia mereka. Karena itu, engkau tidak akan menjadi orang yang benar-benar tulus dan ikhlas sampai pujian manusia dan celaannya sama di sisimu. Jika engkau ada di atas kebenaran, maka (Janganlah kamu takut kepada manusia (tetapi) takutlah kepada-Ku).



Karena itu, orang-orang shalih terdahulu –semoga Allah meridhai mereka— tidak senang menunjukkan kebaikan mereka kepada orang, bahkan ada sebagian mereka yang justru senang apabila aib (kekurangan)nya diketahui orang, agar mereka tidak menganggap dirinya sebagai orang yang mempunyai banyak kebaikan. Adalah Ahmad bin Hanbal, apabila lewat di pasar, lebih senang berjalan di antara para kuli angkat. Supaya orang-orang tidak mengenalinya dan tidak menunjuk ke arahnya dengan telunjuk jari seraya mengatakan, “Itu lho Imam Ahmad.”



Bahkan lebih jauh dari itu, mereka dengan sengaja menunjukkan aibnya kepada orang ramai apabila suatu ketika mereka merasa kagum terhadap dirinya sendiri.



Umar bin Al-Khatthab r.a. pernah mengumpulkan orang ramai di luar waktu shalat. Lalu ia naik ke atas mimbar dan berkata , “Wahai manusia, beberapa tahun yang lalu saya menggembalakan kambing orang di kota Mekkah untuk mendapatkan upah beberapa kirat (4/6 Dinar)”. Setelah mengucapkan ini, ia turun dari mimbar. Lalu Abdurrahman bin Auf berkata, “Wahai Amirul Mukminin mengapa engkau berdiri hanya untuk merendahkan dirimu sendiri?” Umar menjawab, “Memang itu yang saya maksud.” Kisah mengenai hal ini banyak sekali dinukil dalam tarikh.



Adalah Umar bin Abdul Aziz apabila menulis surat, lalu isi surat itu membuat kagum dirinya, maka dia menyobek-nyobeknya supaya hatinya tidak kemasukan perasaan ujub.


Karena itu Rasulullah saw mengajarkan kepada kita untuk memperbanyak ucapan Laa haula walaa quwwata illaa billahi.


“Maukah aku tunjukkan suatu kalimat yang merupakan simpanan di surga? Maka beliau menyebutkan, `Ucapkanlah Laa haula walaa quwwata illa billahi”. (HR. Al-Bukhari – Muslim dan yang lain).


Menyatakan dirinya lepas dari kepemilikan daya, kekuatan, kemampuan, ilmu dan sebagainya dan mengembalikan kepemilikan itu kepada Allah. Huruf “Laa” di sini adalah “peniadaan” untuk jenis atau macam. Tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah, artinya kekuatan itu adalah milik Allah 'Azza wa Jalla.



DARIPADANYA DAN KEPADANYA



Kamu ini apa? Seberarti apa dirimu? Jika kedudukanmu tinggi, maka Allah-lah yang meninggikamu. Jika kamu kaya, maka Allah-lah yang membuatmu kaya. Jika kamu pandai, maka Allahlah yang mengajarimu. Jika pidatomu bagus, maka Allahlah yang menganugerahkan kemampuan itu padamu. Jika badanmu sehat, maka itu adalah karunia yang datang dari Allah. Jika kamu diterima oleh masyarakat, disayangi dan dicintai, maka semua itu adalah berkat anugerah yang diberikan Allah kepadamu. Semuanya dari Allah dan akan kembali kepada Allah.



“Katakanlah:"Wahai Rabb Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan engkau cabut kerajaan dari orang yang engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu. Engkau masukkan malam ke dalam siang dan Engkau masukkan siang kepada malam. Engkau keluarkan yang hidup dari yang mati, dan Engkau keluarkan yang mati dari yang hidup. Dan Engkau beri rezki siapa yang Engkau kehendaki tanpa hisab (batas).” (QS. Ali Imran : 26-27)



Semua yang datang dari Allah 'Azza wa Jalla merupakan ujian bagimu. Allah akan melihat apa yang kamu perbuat dan apa yang kamu kerjakan. Semuanya akan dihisab dan kamu harus mempertanggungjawabkannya. Umurmu, pekerjaanmu, kemudahan, hartamu, kesehatanmu akan dimintai pertanggungjawaban atasnya. Semuanya akan ditanyakan oleh Allah 'Azza wa Jalla, bagaimana kamu menggunakan dan menghabiskannya? Jangan kamu kira ada sesuatu yang berlalu tanpa ada perhitungan.


“Tiada bergeser kedua kaki seorang hamba dari tempatnya semula (pada hari kiamat) sampai ditanyakan kepadanya tentang empat perkara : tentang umurnya, bagaimana ia menghabiskannya, tentang ilmunya apa yang dilakukan dengannya, tentang hartanya, darimana ia memperoleh dan untuk apa ia membelanjakan, dan tentang badannya, untuk apa ia pergunakan”. (Hadits Shahih riwayat Tirmidzi, lihat Shahih Al Jami` As Shaghir: 7300).


Masa mudamu … kekuatan yang kau miliki … kesehatanmu, kamu habiskan untuk apa? Apa kamu gunakan untuk tidur di atas ranjang, atau makan-makan di restoran atau pergi ke kota-kota bersama sanak keluarga dan orang-orang yang dicintai? Sementara ada orang-orang yang disembelih, diusir dari kampung halamannya, dirusak kesuciannya, sedang kamu menyaksikannya namun pura-pura tidak melihatnya. Karena menurutmu masa muda dapat dimanfaatkan di medan amal yang lain. Kamu rela dengan keadaan itu dan berkhayal seolah-olah dirimu bekerja untuk Islam.


Kamu berkata dalam hati, `Cukuplah bagiku menghadiri upacara keagamaan dua bulan sekali, memperingati Maulid Nabi, memperingati Isra’ Mi’raj, memperingati Nuzulul Qur’an, atau hari ke 15 Mei atau Hari Bumi. Alhamdulillah kami bisa hadir. Teman-teman datang banyak, mereka gembira menyambut perayaan ini …` . Itu sajakah?


Jangan kamu kira kemuliaan itu seperti buah korma yang mudah kau makan.


Tiada dapat kau capai kemuliaan sampai engkau mengecap pahitnya kesabaran


Kesabaran itu pahit rasanya dan kamu harus rasakan kepahitan itu lebih dahulu sebelum berangan-angan tentang surga.


“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad di antaramu, dan belum nyata orang-orang yang sabar”. (QS. Ali Imran : 142)


Apakah kamu mengira dapat masuk surga tanpa lebih dahulu berjihad dan bersabar? Jika kamu berfikir demikian, maka kamu salah besar. Tidak ada surga tanpa jihad dan sabar.



Ketika Ali bin Abi Thalib r.a. pindah ke negeri Bashrah, ia mendapati di sana orang-orang tengah mengaji di masjid. Di masjid itu ada beberapa muhaddits (pengabar hadits) dimana masing-masing mempunyai halaqah ta’lim sendiri. Lalu Ali bin Abi Thalib r.a. bermaksud menguji mereka. Setiap orang diujinya, setelah selesai ia mengatakan pada orang yang telah diujinya, “Kamu jangan berbah lagi ataupun mengabarkan hadits”. Sampai akhirnya ia berhadapan dengan Al-Hasan Al-Bashri, pada waktu itu Al-Hasan Al-Bashri masih muda, umurnya baru mendekati masa akil baligh. Ali bin Abi Thalib r.a. menyampaikan, “Hai anak muda, apa yang memperbaiki agama dan apa pula yang merusaknya?” Al-Hasan Al-Bashri menjawab, “Yang memperbaiki agama adalah sifat wara’ dan yang merusak agama adalah sifat tamak.”


AKIBAT SIFAT TAMAK YANG MENIMPA GOLONGAN ULAMA


Mengapa negeri-negeri Islam bisa hilang?


Mengapa harga diri dan kehormatan bisa lenyap? Mengapa manusia sampai dizhalimi? Mengapa para ulama, pewaris para Nabi, dimusuhi bahkan dibunuh? Mengapa orang-orang yang baik diusir dari kampung halamannya? Mengapa wanita muslimah keluar di jalan-jalan raya tanpa menutupi kepala? … Mengapa?



Bukankah itu semua disebabkan oleh ketamakan segolongan orang yang sebenarnya dijadikan Allah untuk menjaga agama-Nya? Ketamakan segolongan ulama terhadap harta yang dikuasai oleh kaum penguasa. Inilah sebenarnya yang merusakkan dunia dan agama umat Islam. Karena itu Fudhail bin Iyadh pernah mengatakan, “Alangkah jeleknya seorang alim, yang ketika kamu menanyakan tentangnya, lalu kamu mendapat jawaban, “Dia ada di istana Amir (penguasa negeri)”.



Hudzaifah r.a. pernah mengatakan, “Sesungguhnya pintu istana para penguasa adalah sarang fitnah seperti tempat-tempat menderumnya onta”. Perlu diketahui bahwa tempat-tempat menderumnya onta, kamar kecil dan WC adalah rumah-rumah syetan. Fitnah akan muncul di sana, apabila golongan ulama mendatanginya. Adalah Hudzaifah pernah mengatakan, “Demi Allah, tiadalah engkau mengambil sedikit dari dunia mereka melainkan mereka pasti akan mengambil dari agamamu dua kali lipatnya”.



Kalian melihat mereka bisa naik mobil-mobil mewah, membangun gedung-gedung bertingkat dan menikahi wanita-nwnita cantik. Tapi ketahuilah, itu semua mereka dapatkan dengan mengorbankan agama mereka. Mereka terpaksa mendiamkan penyimpangan para penguasa dan mendiamkan kezhaliman mereka.


Pernah suatu ketika orang-orang mengatakan kepada Asy-Sya’bi, “Wahai Abu Muhammad, engkau berhasil menghidupkan ilmu. Dan sekarang banyak sekali murid-muridmu”. Namun Asy-Sya’bi menjawab, “Jangan kamu iri padaku dan jangan pula merasa kagum. Ketahuilah sepertiga di antara muridku mati sebelum sempat besar. Sepertiganya lagi ikut para penguasa. Yang ini lebih jelek daripada yang mati dan sepertiganya lagi, sedikit dari mereka yang mencapai keberuntungan”.


 “Dan janganlah kamu menjual ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit.”


TINGGALKAN BANGKAI ITU, BIARKAN KAWANAN ANJING MEMPEREBUTKANNYA


Satu masalah wahai saudara-saudaraku … Andaikan kita timbang dunia ini –Subhanallah— akan kita dapati betapa remehnya, betapa sedikitnya dan betapa tiada berarti.



Tiadalah dunia itu melainkan seperti bangkai yang terselubung dengan manik permata. Gerombolan anjing menyalak di sekitarnya dan semuanya bermaksud menariknya. Jika engkau menjauhinya, maka selamatlah engkau dari pertanyaan pemiliknya. Dan jika engkau menariknya maka anjing-anjing itu akan bersaing denganmu memperebutkannnya.



Oleh karenanya biarkan anjing-anjing itu bertengkar memperebutkannya. Saya akan memberikan perumpamaan tentang dunia di sisi Rabb kita kepada kalian –dan bagi Allahlah permisalan yang tinggi--. Jika kamu makan daging, maka yang tersisa adalah tulangnyadan tulang itu kamu lemparkan (buang) keluar rumah. Lalu tulang-tulang itu menjadi rebutan anjing. Adapun yang mendapatkan tulang besar (katakanlah), dia menjadi kepala daerah, atau menteri atau perdana menteri. Dan yang mendapat tulang-tulang kecil (katakanlah), menjadi tukang sapu atau sekretaris dalam perusahaan atau orang miskin. Lelah bekerja dari pagi sampai petang untuk mendapatkan makanan tetapi tulang yang didapatnya kecil, tidak cukup untuk menutup keperluannya. Demikianlah permisalan dunia di sisi Allah – dan Allah mempunyai permisalan yang Maha Tinggi -. Allah melemparkan tulang-tulang itu (yakni dunia) kepada kawanan anjing. Ada anjing yang mendapat bagian tulang besar dan ada anjing yang mendapat bagian tulang kecil. Perhatikanlah tingkah laku anjing-anjing itu ketika mereka sedang gaduh memperebutkan tulang kecil!!



Andaikan dunia ini sebanding dengan sayap nyamuk di sisi Allah, niscaya Dia tidak akan memberikan kepada orang kafir seteguk air pun daripadanya.



Demi Allah, saya bersumpah kepada kalian, andaikan dunia bernilai di sisi Allah, mana mungkin Dia menjadikan Hafizh Asad sebagai presiden? … Mana mungkin? Mana mungkin Dia menjadikan Reagan sebagai presiden negara terbesar di dunia? Akan tetapi dunia memang tidak bernilai di sisi Allah walau sebesar sayap nyamuk sekalipun.



Suatu ketika Umar bin Al-Khatthab berkunjung ke rumah Rasulullah saw. Saat itu beliau sedang bertelekan di atas tikar anyaman. Ketika beliau bangun, Umar melihat bentuk anyaman tikar itu membekas di punggung Rasulullah saw. Maka menangislah Umarseraya berkata , “Wahai Rasulullah, keadaanmu seperti ini sementara Kaisar dan Kisra berbaring di atas ranjang yang empuk”. Beliau berkata kepada Umar, “Apa ada sesuatu yang meragukanmu pada diriku hai Umar? Ketahuilah, mereka adalah kaum yang disegerakan kenikmatan mereka dalam kehidupan dunia”.


“Dan (ingatlah) hari (ketika) orang-orang kafir dihadapkan ke neraka (kepada mereka dikatakan), `Kamu telah menghabiskan rezkimu yang baik dalam kehidupan duniawimu (saja) dan kamu telah bersenang-senang dengannya; maka pada hari ini kamu dibalasi dengan azab yang menghinakan karena kamu telah menyombongkan diri di muka bumi tanpa alasan yang benar dan karena perbuatan fasik yang pernah kamu lakukan.” (QS. Al-Ahqaf : 20)


Pernah suatu ketika Umar bin Al-Khatthab disuguhi makanan yang lezat dan mengundang selera makan. Namun ia malah menangis sehingga para sahabat yang lain heran dibuatnya, maka mereka bertanya, “Wahai Amirul Mukminin, apa yang membuatmu menangis?” Umar menjawab, “Saya khawatir jangan-jangan kita ini termasuk ke dalam golongan orang yang difirmankan Allah :



“Kamu telah menghabiskan rezkimu yang baik dalam kehidupan duniawimu (saja) dan kamu telah bersenang-senang dengannya”.

Jadi apa sekarang batas yang membedakan antara orang Afghan termiskin di Propinsi Herat dengan orang Amerika terkaya di Florida? Perbedaannya hanyalah yang satu bisa makan daging dengan keratan besar dan yang lain hanya bisa makan daging dengan keratan kecil. Yang satu bisa tidur dengan tenang dan nyenyak setelah makan roti kering campur garam, sedang yang satu lagi senantiasa gelisah, tertekan dan goncang jiwanya. Setiap waktu membawa kotak berisi pil dan obat-obatan. Enam jam saja terlambat minum obat, maka dia akan merintih dan mengaduh … Jika kita menyelami segi kejiwaan mereka, maka akan nampak perbedaan yang sangat menyolok antara keduanya. Yang satu hidupnya tenang dan tentram, sedangkan yang satunya selalu gelisah dan tertekan.



Sekarang engkau berdiri (beada) di bumi jihad. Jika engkau memperhatikan pokok persoalan hidup yang sesungguhnya, maka dunia itu akan nampak remeh dalam pandanganmu. Jika engkau memperhatikan hasil (yang akan kau dapat), maka akan muncul rasa kerinduan dalam hatimu. Jika engkau melihat kenyataan yang kini engkau hadapi, maka engkau juga akan merasa lega dan senang karenanya.



Pokok permasalahannya ialah bahwa dunia yang kini kita tinggalkan tidak bernilai sama sekali di sisi Allah walau sebesar sayap nyamuk. Dan menurut sabda Rasulullah saw tidak sebanding dengan bangkai anak kambing. Jadi sebenarnya kita tidak meninggalkan apapun. Sedangkan kenyataan (hidup dalam jihad) adalah seperti sabda Nabi saw :




“Berjihadlah kamu sekalian, karena sesungguhnya jihad adalah pintu dari pintu-pintu masuk surga. Dengannya Allah menghilangkan kesedihan dan kesusahan”. (HR. At Thabrani, lihat Shahih Al Jami` As Shaghir: 4063)



Sedangkan hasilnya adalah satu di antara dua kebaikan, sebagaimana firman Allah Ta’ala :



“Katakanlah, "Tidak ada yang kamu tunggu-tunggu bagi kami, kecuali salah satu dari dua kebaikan. Dan kami menunggu-nunggu bagi kamu bahwa Allah akan menimpakan kepadamu azab (yang besar) dari sisi-Nya, atau (azab) melalui tangan kami.” (QS. At-Taubah : 52)



Jihad merupakan wasilah untuk mencapai salah satu dari dua kebaikan itu. Tapi harus diingat, bahwa jihad tidak mungkin wujud kecuali dengan perwalian (saling menolong dan bersatu). Maksudnya, jihad bukan amal fardiyah, tapi amal jama’iyyah. Sedangkan amal jama`iyyah itu menuntut adanya muwaalah (perwalian ) di antara orang-orang beriman dan mu`aadah (permusuhan ) terhadap orang-orang kafir.

“Janganlah kamu jadikan orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani sebagai wali-wali (mu)”. (QS. Al Maidah: 51).


“Dan barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang beriman menjadi wali (penolong)nya, maka sesungguhnya partai (pengikut) Allah itulah yang pasti menang”. (QS. Al Maaidah: 56).


Perwalianmu kepada orang-orang beriman, pembelaanmu terhadap mereka, dukunganmu di pihak mereka, permusuhanmu terhadap musuh-musuh mereka, keikutsertaanmu dalam penderitaan dan kegembiraan mereka …. Ini adalah suatu yang sangat penting dan tidak terpisahkan dari jihad.


“Dan janganlah kamu takut kepada manusia (tetapi) takutlah kepada-Ku.”



Tidak takut kepada manusia, dan hanya takut kepada Allah 'Azza wa Jalla.


“Dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit.”


Tidak cenderung kepada dunia dan menjauhinya.

BISIKAN HATI



Di medan-medan perjuangan hati manusia selamanya akan senantiasa bertanya …. bertanya kepada dirinya – dan ini merupakan sebagian dari pintu masuknya syetan -, “Mengapa kamu memenjarakan dirimu sendiri? Mengapa kamu tinggalkan negeri dan keluargamu? Jika kamu terbunuh, maka istrimu yang cantik akan menjadi janda, dan anak-anakmu yang manja akan menjadi anak yatim! …. Kepada siapa kamu titipkan mereka? Jika keluarga yang kamu tinggalkan masih hidup, maka kepada siapa mereka kamu titipkan? Di negerimu dahulu, kamu dikelilingi oleh sekumpulan anak-anak muda dan orang-orang tua. Mereka semua mengetahui betapa bernilainya dirimu dan menghargai pula kemampuanmu. Kamu tinggalkan mereka dan datang kemari. Kamu memenjarakan dirimu di antara bukit-bukit dan lembah-lembah. Tidak ada yang melihatmu kecuali Rabbul ‘Alamin. Tidak ada yang mendengarkan perkataanmu kecuali jin dan malaikat. Kamu tinggal di suatu tempat yang sepi dari keramaian. Sedikit saja manusia yang kamu lihat. Jika kamu berbicara, mereka tidak mendegarkan perkataanmu. Kamu tak ubahnya seperti perahu kecil di samudra luas terombang-ambingkan ombak. Karena apa? Karena berbagai problema jihad yang menghadang di hadapanmu. Maka lebih baik kembali saja ke negerimu! Di sana juga ada jihad, di sana juga ada i'dad, di sana juga ada ribath. Kehadiranmu di sini tidak berarti … keberadaanmu bersama mereka seperti anak-anak layaknya. Kamu hanya menjadi beban jihad. Kamu makan dari makanan mereka, minum dari minuman mereka dan bahkan merintangi gerakan mereka. Maka sudah sepantasnyalah kamu malu pada dirimu sendiri dan mencelanya, lalu mengemasi barang-barangmu dan kembali ke negerimu. Demikianlah syetan menghasut hati manusia.



Tapi, hati orang beriman yang sadar, benar dan khusyu’ tentu akan menjawab, “Hai syetan, bukankah mereka itu saudara-saudaraku yang wajib aku lindungi? Bukankah mereka itu wali-waliku yang harus aku tolong? Bukankah mereka itu orang-orang yang aku cintai? Dimana aku menyenangi untuk mereka sesuatu yang aku senangi untuk diriku.”



Andaikan Afghanistan itu anak perempuan kecil saya atau anak laki-laki kecil saya, lalu ia terluka parah dan darahnya mengalir deras oleh tikaman senjata orang-orang kafir,maka tegakah saya meninggalkannya? Tentu saya akan menjawab, “Memang luka ini mustahil dapat disembuhkan atau sukar disembuhkan, tapi saya tidak akan membiarkan lukanya bertambah parah dan penyakit menggerogoti tubuhnya. Saya tidak akan membiarkan dia terus menerus merintih kesakitan. Saya akan mencari pengobatan untuk anak saya kemana saja. Saya akan mencari dokter spesialis untuk mengobati anak saya. Saya akan membawanya dari satu rumah sakit ke rumah sakit yang lain sampai sembuh penyakitnya. Jika biaya habis, saya akan berhutang kepada si Anu dan si Anu. Saya akan menjual tanah, rumah bahkan nyawa jika saya mampu.



Saya akan membawanya ke ujung dunia, jika memang hal itu bisa meringankan penderitaannya atau menyelamatkan nyawanya.



Andaikan Dienullah yang kini terancam bahaya, maka apakah kita akan berusaha menyelamatkannya? Andaikan Dienullah itu saudara kita, anak kita atau istri kita maka apakah kita tega membiarkan demikian saja di saat ia tengah mengalami bahaya? Tapi kenyataannya kita tidak membela Dienullah sebagaimana kita membela istri kita atau anak kita atau bapak kita. Dalam praktek yang sesungguhnya kita menerapkan prinsip yang dianut oleh orang-orang Ba’ats; yakni : Dien kepunyaan Allah dan negara milik semua warganya. (maksudnya : Jika Dien (agama) terancam, maka serahkan saja soal pembelaannya kepada Allah. Yetapi jika negara yang terancam bahaya, maka wajib bagi warganya untuk membelanya. Pent.)



Memang benar Dien adalah kepunyaan Allah, dan Allah – lah yang akan melindunginya. Sebagaimana ucapan Abdul Muthalib ketika tentara Abrahah menyerang kota Makkah dan hendak meruntuhkan Baitullah Ka’bah, “Ketahuilah bahwa onta-onta yang kamu rampas itu adalah kepunyaanku, maka kembalikanlah. Adapun rumah (yang hendak kamu runtuhkan) itu mempunyai Rabb (Pemilik) yang akan melindunginya.”



Namun Dien itu adalah kepentingan manusia yang pertama kali harus dilindungi, mengingat seluruh syari’at yang dibawa oleh para nabi, datang untuk melindungi lima perkara, yakni :


      1. Dien,

      2. Nyawa, 

      3. Kehormatan,

      4. Akal,
      5. Harta.


Yang pertama dan utama adalah Dien. Sehingga jika terjadi pertentangan kepentingan antara kesinambungan dien dan kesinambungan nyawa (kehidupan), maka nyawalah yang harus dikorbankan untuk mempertahankan dien. Oleh karenanya orang yang murtad harus dibunuh. Demikian juga jika terjadi keadaan dimana musuh masuk ke negeri Islam, maka Imam harus mengirimkan sebagian kaum muslimin untuk berperang mempertaruhkan nyawa demi melindungi Dienul Islam dari ancaman. Di sini nyawa dipertaruhkan untuk melindungi Dien. Jika musuh menawan sejumlah orang-orang muslim dan kemudian menjadikan mereka sebagai tameng (sandera) untuk melindunginya dari serangan dengan meletakkan tawanan muslim di depan barisan dan kemudian mereka berjalan di belakang mereka, maka pasukan muslim boleh membunuh tawanan muslim yang dijadikan tameng itu untuk mencapai posisi orang-orang kafir dan membunuh mereka.



Sejumlah orang-orang Islam boleh dikorbankan nyawanya seberapapun besarnya, jika tujuannya untuk melindungi Dien, kehormatan, harta dan negeri mereka.



Silahkan kamu bandingkan… apakah Dienullah itu lebih rendah nilainya dalam pandanganmu daripada istri-istri atau anak-anakmu? Bayangkan, betapa pedihnya hatimu seandainya kamu melihat anakmu tengah menderita kesakitan.. Jika anakmu sakit keras, tentu kamu tidak akan meninggalkannya. Jika istrimu berada di klinik bersalin hendak melahirkan anak, tentu kamu akan setia menunggui di sana. Pada saat istrimu berjuang melawan rasa sakit, tentu fikiranmu kacau dan hatimu resah sampai ia melahirkan … Andaikan Dienullah dalam bahaya, sementara kamu berusaha melupakannya … meskipun dengan membaca Al-Qur’an adakah Allah mau menerima amalmu? Contoh lain misalnya, kamu sedang belajar tajwid dan membaca Al-Qur’an di tepi pantai; lalu ada anak kecil yang tenggelam dan kamu melihatnya. Maka bolehkah kamu terus membaca Al-Qur’an dan membiarkan anak tersebut tenggelam? Sesungguhnya Al-Qur’an yang kamu baca itu akan melaknatmu, karena kamu meninggalkan yang wajib dan menyibukkan diri dengan yang sunnah. Seorang lelaki mengerjakan shalat tahajjud sepanjang malam, kemudian shalat Shubuh ditinggalkannya, maka apakah shalat malamnya itu bernilai? Seberarti apakah shalat tahajudnya itu dibandingkan dengan dua raka’at shalat fardhu?!



Wahai saudaraku … mengapa kamu tidak mau memberikan pertolongan kepada orang-orang beriman? Kamu mengatakan, `Aku telah bosan`. Mengapa demikian? Mengapa kamu bosan? Apakah karena perselisihan yang terjadi di antara orang-orang Afghan? Sesungguhnya masalah yang sebenarnya bukan karena ikhtilaf orang-orang Afghan, tetapi karena memang kamu tidak suka berperang. Kamu mencari sebab dan alasan supaya dapat meninggalkan tempat ini. Kamu membuat berbagai alasan seolah-olah kepulanganmu itu disebabkan karena tidak ada amal (jihad) Islam di sini.



Apabila Rasulullah saw menyuruh kita membawa keluar perempuan yang sedang haidh ke lapangan pada hari raya ‘Ied adalah dimaksudkan untuk memperbesar jumlah kaum muslimin yang hadir dan membuat geram musuh-musuh Allah. Apabila Sa’id bin Musayyab rahimahullah pergi memenuhi panggilan perang meskipun usianya sudah lanjut, penglihatannya telah hilang dan ia dalam keadaan sakit. Sehingga orang-orang mengatakan padanya, “Allah telah memberimu udzur sebab engkau dalam keadaan sakit”. Maksudnya agar supaya dia tidak usah ikut berangkat berperang. Maka dia menjawab, `Allah membangkitkan kaum muslimin untuk berperang baik dalam keadaan merasa ringan atau merasa berat. Allah Ta’ala berfirman :


“Berangkatlah kamu berperang baik dalam keadaan merasa ringan ataupun merasa berat”. (QS. At-Taubah : 41)



Bila aku tidak bisa berperang, maka setidaknya aku memperbesar jumlah pasukan Islam. Di samping itu aku bisa menjaga perbekalan mereka`.



Maka jelaslah bahwa kehadiranmu di dalam jihad bukan tidak berarti atau sia-sia, sebab sekurang-kurangya kamu telah memperbesar jumlah kaum muslimin.



SABAR DAN MENGUATKAN KESABARAN



Adalah Sayyid Quthb menderita sakit berat selama meringkuk dalam penjara. Para aparat keamanan negara tidak berani mendatangi Sayyid Quthb untuk mengatakan padanya agar mau meminta amnesti, maka mereka mendatangi keluarga dan karib kerabatnya dan mengatakan, “Mintalah amnesti, maka kami akan mengeluarkannya”.Lalu keluarganya datang dan mengatakan padanya, “Kami ingin mengajukan permohonan kepada pemerintah untuk membebaskan dirimu dengan alasan kesehatan”. Tapi Sayyid Quthb memperingatkan mereka agar tidak melakukan hal tersebut.Dia mengatakan kepada mereka, “Sesungguhnya dalam kesabaran kita ada contoh kesabaran bagi orang banyak”.



Andaikan engkau tetap tinggal di sini dan bersamamu ada orang lain, engkau menyabarkannya dan diapun menyabarkanmu. Kepulanganmu akan membuat kepulangannya. Keteguhanmu akan membuat keteguhannya. Bagaimana kalau ada seseorang yang telah dikenal luas oleh masyarakat, mempunyai pekerjaan mapan dan pengaruh, lalu semua itu ditinggalkannya dan kemudian datang ke sini. Datang ke sini dan tidak bekerja, hanya tinggal bersama mujahidin. Yang dikerjakannya adalah mendengar dan berusaha memberikan sesuatu kepada mujahidin, meski hanya menyampaikan berita atau hanya berkunjung ke Arbab Road saja (markas orang-orang Arab di Peshawar). Maka yang demikian itu sudah cukup memberikan pengaruh besar terhadap penduduk negerinya, terhadap murid-muridnya jika dia seorang guru atau dosen; terhadap keluarganya jika dia seorang kepala keluarga; terhadap perusahannya jika dia seorang direktur; di lingkungan rumah sakitnya jika dia seorang dokter, dan sebagainya.



Yang ini telah meninggalkan pekerjaannya di rumah sakit, padahal dia mempunyai kedudukan terpandang dan gajinya juga lumayan besar. Dia tinggalkan itu semua dan datang ke Peshawar. Kini dia hidup ala kadarnya. Turun naik di antara tanah dan debu. Bersama istrinya yang biasa hidup senang dan mewah, tinggal di tempat-tempat yang bersih, lalatpun tidak ada yang masuk ke rumahnya. Hidup bersama kaum muhajirin, kaum fakir miskin, orang-orang cacat dan lain-lain. Maka bagaiaman dia tidak meninggalkan kesan baik dalam masyarakatnya? Maka mungkinkah Allah 'Azza wa Jalla melupakan yang demikian itu daripadanya? Tidakkah Allah akan memberikan ganti padanya? Tidakkah Allah akan menyempurnakan nikmat kepadanya dan melindunginya? Tidakkah yang demikian itu akan membalik dari ketidaksenangan menjadi keridhaan di hati keluarganya?.



NOSTALGIA


Saya ambil contoh diri saya sendiri. Saya selalu teringat akan nostalgia ini.



Pada tahun 1968-1969 M. wilayah terakhir Palestina jatuh ke tangan Yahudi dan pasukan Pan Arab mundur ke garis pertahanan kedua. Percayalah, ketika saya mendengar dari siaran radio bahwa pasukan Pan Arab dipaksa meninggalkan garis pertahanan pertama dan mundur ke garis pertahanan kedua, maka saat itu juga saya berfikir bahwa mereka telah meninggalkan kota Al-Quds dan berpindah ke daerah Syi’fath atau Baitu Shifaf sejauh 2-3 kilometer dari kota Al-Quds. Yang jelas dengan jatuhnya garis pertahanan ini – yakni, gunung Suluth —, maka jatuh pula Masjidil Aqsha ke tangan Yahudi. Jamal Abdul Nasher meminta maaf kepada rakyat dan menangis di siaran televisi seraya berkata, “Saya yang bertanggung jawab atas kekalahan ini. Saya minta maaf kepada saudara-saudara semua. Dan kini pemerintahan, saya serahkan kepada saudara Zakaria Muhyidin”. Setelah itu para pengikut partai sosialis mengumpulkan ribuan orang-orang awam untuk melancarkan demonstrasi menuntut kembalinya Jamal Abdul Nasher. Pada tanggal 9 atau 10 Juli 1969 M, rakyat Mesir turun ke jalan menuntut supaya Jamal Abdun Naser dipulihkan jabatannya. Tuntutan ini akhirnya diterima. Maka dengan demikian Jamal Abdul Nasher berhasil mengambil alih kekuasaannya kembali.



Singkatnya, Masjidil Aqsha jatuh dan jatuh pula wilayah Tepi Barat ke tangan Yahudi, sehingga kami dipaksa harus keluar dari wilayah Tepi Barat. Di tengah perjalanan evakuasi, tentara Yahudi menangkap saya. Waktu itu saya berjalan dari wilayah Tepi Barat Sungai Yordan ke wilayah Tepi Timur Sungai Yordan. Mereka memerintahkan saya supaya untuk mengangkat tangan, lalu mereka menggeledah saya dan hampir saja membunuh saya. Namun mereka tidak mengetahui identitas saya yang sebenarnya, padahal biasanya mereka mudah membunuh orang-orang Palestina yang mereka curigai dari pejuang. Singkatnya, Allah 'Azza wa Jalla mentakdirkan saya dan teman-teman selamat dalam pemeriksaan tersebut. Akhirnya kami tiba di ‘Amman dengan selamat. Saya tinggal dan menjadi guru di ‘Amman tapi tidak merasakan gairah hidup. Kami tinggal di gunung Taj dan di bawah tempat tinggal kami terdapat sungai. Suatu malam serombongan pemuda (Al-Fatah dan Front Demokrasi) lewat di sungai itu. Mereka adalah anak-anak belia yang meninggalkan bangku sekolah-sekolah mereka di Palestina, mereka menyusuri sungai tersebut sambail bernyanyi :



Negeriku, negeriku, negeriku

Untukmulah seluruh hati dan kalbuku



Maka saya berkata dalam hati, “Tidakkah engkau malu wahai Abdullah?! Anak-anak yang masih muda belia itu mendahuluimu berjihad! Di mana sikap kejantananmu sebagai laki-laki. Demi Allah, anak-anak jalanan itu akan mengatakan bahwa negeri mereka lebih mahal daripada mereka. Dan mereka berani mempertaruhkan nyawa untuk membelanya. Sementara kamu tidak berkorban untuk Palestina. Tidak mau berkorban untuk Islam, padahal Islamlah yang menjadi sumber kemuliaanmu!”. Demi Allah! inilah salah satu dorongan yang menggerakkan hati saya. Saya malu kepada diri saya sendiri ketika melihat betapa bersemangatnya anak-anak muda itu. Khususnya pada malam hari ketika mereka menyusuri sungai untuk masuk ke wilayah Palestina yang diduduki Isra’il.



Suatu hari kami mendapat undangan untuk hadir dalam pertemuan di kantor Ikhwan. Mereka berkata kepada kami, “Siapa yang mau berjihad, maka silakan mengacungkan tangan”. Maka saat itu juga saya berkata kepada diri saya sendiri, ‘Tidur nyenyak di Amman, sehingga shalat shubuh tertinggal?! Cukup!, ini harus berakhir”. Singkat kata mereka mengatakan, “Bagi siapa yang mau, maka kami siap menanggung makan, minum dan pakaiannya”. Gerakan Al-Fatah memberi tunjangan bagi yang sudah berkeluarga sebesar 15 Dinar dan bagi yang masih bujang 10 Dinar. Namun tunjangan yang sebesar itu tidak bisa mencukupi kebutuhan kami ,maka saya meminta tanbahan lagi 10 Dinar kepada Ikhwan supaya sekeluarga bisa bertahan hidup. Jadi sebulannya saya mendapat tunjangan 25 Dinar. Tentu saja saya minta berhenti mengajar kepada Departemen Pendidikan. Namun Departemen Pendidikan menolak pengunduran diri saya. Maka saya katakan kepada mereka, “Jika kalian tidak menerima pengunduran diri saya, maka anggap saja saya sudah berhenti kerja”.



Pada saat itu saya sudah beristri dengan dua anak perempuan. Saya ingat salah seorang ikhwan yang turut berjihad bersama kami, namanya Syaikh Sabil. Kepada ikhwan yang satu ini saya minta bantuan. Kata saya, “Syaikh Sabil, tolong jika tidak keberatan tempatkanlah istri saya bersama istrimu. Bukankah kamu punya kamar untuk menampung mereka?”. “Ya, ada”. Jawabnya. Lalu saya tempatkan istri saya di rumah Syaikh Sabil, di sebuah kamar yang berdinding tanah berukuran 2,5 x 3 m2. tidak ada tempat masak, tidak ada tempat mandi atau fasilitas rumah tangga yang lain.



Yang jelas, kami turut berjihad sampai batas waktu yang dikehendaki oleh Allah Kami tinggal di gua selama 4-5 bulan, menunggu sampai dapat melakukan sekali serangan ke pihak musuh. Kami memang jarang melakukan serangan. Kami harus meninggalkan keluarga dan peraturan melarang kami untuk meninggalkan kamp pertahanan. Sekali sebulan saja kami diizinkan pulang menemui keluarga selama satu setengah hari.



Akhirnya perjuangan merebut Palestina dengan sistem gerilya mengalami kegagalan. Lalu mereka mengembalikan saya sebagai dosen di Fakultas Syari’ah. Saya mengajar sambil meneruskan program studi saya sampai akhirnya saya berhasil meraih gelar doktor. Saya masuk ke Universitas Yordania dan menjadi dosen di Universitas tersebut. Gaji yang saya terima bertambah besar. Tapi suatu hari istri saya berkata, “Tidak ada hari yang pernah kita lalui terasa lebih membahagiakan, lebih tenang, lebih ngirit dan lebih mudah daripada hari-hari yang kita lalui dalam jihad”. Dia melanjutkan, “Dulu, engkau memberi kami belanja 16 Dinar Yordania dan kau sisakan 5 Dinar untuk keperluanmu, namun demikian yang sedikit itu dapat mencukupi kebutuhan kita”.



Sekarang gaji saya 20 kali atau 30 kali lipat dari tunjangan yang pernah saya terima dulu. Namun demikian kami hanya bisa berangan-angan saja untuk makan enak di rumah. Saya bekerja sebagai dosen di universitas, tetapi saya tidak berani membeli buah-buahan kecuali jika ada tamu yang datang ke rumah kami, dan itupun untuk disuguhkan pada tamu bukan untuk anak saya; karena memang tamu saya banyak sekali. Kira-kira kami hanya bisa makan roti dan nasi.



Bayangkan, istri saya sampai mengatakan, “Sekarang kita punya hutang, padahal sewaktu engkau berjihad, tunjangan sebesar 15 Dinar saja mencukupi kebutuhan kita sebulan”. Istri saya juga pernah mengatakan, “Dulu saya ingin membeli baju baru, namun saya malu. Saya ingin membeli lemari baru atau ranjang atau yang lain, namun saya merasa malu. Saya berkata dalam hati, “Besok atau petang nanti, bisa jadi suamiku kembali dalam keadaan sudah terbunuh. Maka mana tega saya memakai pakaian baru dan menyambut mayatnya dengan baju baru yang saya kenakan?”.



Sewaktu kamu masuk ke medan jihad, maka akan terputus segala kemewahan yang pernah kamu dapatkan. Kamu harus hidup hemat … harus hidup hemat. Akan tetapi cinta dunia dan panjang angan-angan, inilah yang menjadikan kita semua senang kepada kemewahan dunia.


“Hiduplah kamu di dunia seolah-olah kamu adalah orang asing atau penyeberang jalan saja. Jika kamu berada di waktu sore maka janganlah menanti datangnya pagi dan jika kamu berada di waktu pagi, maka janganlah menanti datangnya sore. (HR. Al-Bukhari: 6416).



Hal paling sulit yang kami hadapi selama berjihad di Palestina adalah bersabar dalam ribath. Masuk pertempuran adalah sesuatu yang mudah, akan tetapi menunggu datangnya perang, maka ini adalah bagian paling sulit dalam jihad. Kami harus menunggu dalam waktu yang lama. Tinggal di antara ladang-ladang ranjau yang ditanam musuh di sekitar kami. Ancaman musuh datang dari semua arah, baik musuh dari luar maupun musuh dari dalam. Di situ markas kelompok Front Demokrasi, di sana markas kelompok Front Kebangsaan, dan di sini markas kelompok sayap kiri dari gerakan perlawanan Al-Fatah. Mereka semua membenci kami. Maka kami harus menjaga keselamatan kami dari ancaman mereka yang berada di keliling kami, lebih dari kewaspadaan kami dari serangan orang-orang Yahudi. Demi Allah, kadang-kadang sebulan atau lebih kami dalam keadaan siap siaga penuh … Saya ingat, pernah sebulan penuh kami berada dalam keadaan siap siaga. Kami tidak berani masuk ke kemah. Kami berpencar dua-dua atau tiga-tiga dan tidur di bawah pohon. Kami khawatir kelompok sayap kiri dan kelompok Komunis atau yang lain menyerang kami. Bayangkan!, dalam keadaan seperti ini kami hanya diizinkan 5 bulan sekali turun ke sungai untuk mengadakan operasi penyerangan.



Sabar dalam menanti perang adalah sesuatu yang sangat sulit dalam jihad. Maka dari itu sabar dalam jihad adalah lebih penting daripada jihad. Oleh karenanya Rabbul ‘Alamin berfirman :


“Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu beruntung.” (QS. Ali Imran : 200)



Oleh karena diri manusia itu cenderung tidak bersabar menghadapi situasi yang sulit.



DIMANA RABITHAH ALAM ISLAMI



Kemudian wahai saudara-saudaraku, apabila setiap bangsa muslim kita biarkan menghadapi perjalanan hidupnya sendiri-sendiri, kita biarkan bangsa Palestina menghadapi perjalanan hidupnya sendiri, kita biarkan bangsa Afghan menghadapi perjalanan hidupnya sendiri, kita biarkan bangsa Moro menghadapi perjalanan hidupnya sendiri, jika demikian di mana letak persaudaraan dalam Islam? Di mana keuniversalan Islam? Jika demikian realitanya maka jiwa/semangat kebangsaan lebih kuat merasuk dalam diri kita daripada semangat Islam. Jika ada musuh menyerang negeri mereka, maka sudah pasti seluruh penduduknya siap mengangkat senjata membela putra-putranya … Tapi jika ada musuh menyerang kaum muslimin yang berlainan bangsa, maka mereka hanya diam tidak mau membantunya. Bukankah demikian kenyataannya??



Jadi semangat dan fanatisme kebangsaan lebih kuat berpengaruh dalam diri kita daripada fanatisme Islam. Jika setiap bangsa muslim dibiarkan menentukan nasib dan menghadapi persoalannya sendiri-sendiri, maka di mana letak keuniversalan Islam? Di mana persaudaraan Islam, di mana letak perwalian orang-orang beriman? Di mana letak pembelaan terhadap orang-orang Islam?



Adakah tersisa bagi kaum muslimin alasan, jika pintu jihad telah terbuka di hadapan mereka? Tetapi justru mereka mengatakan hal yang sebaliknya tentang jihad ini!! Tidakkah kamu temui dari seribu front yang tersebar di wilayah Afghanistan, sebuah front yang dipimpin seorang shaleh, dan di dalamnya ada orang-orang shaleh, yang mereka berperang untuk meninggikan kalimat Laa Ilaaha Illallah? Pasti akan kamu temukan … masuklah ke front dari front-front itu. Tinggallah bersama mereka sampai kamu menjumpai Allah 'Azza wa Jalla atau mendapatkan kemenangan.



HAJAT JIWA KEPADA JIHAD



Tidak ada udzur bagimu di sisi Allah 'Azza wa Jalla. Tidak ada alasan bagi kita mengatakan, ‘ Kami mengumpulkan manusia untuk pergi berjihad’ … Tidak! … sebab jiwa manusia menghajatkan ibadah jihad seperti halnya badannya membutuhkan makanan dan minuman. Jiwa manusia tidaklah akan mengkilap atau bersih ataupun hilang dan terbebas dari noda-noda kotorannya kecuali di bawah kelebatan pedang.



Memang benar, ada seseorang yang dilempari granat musuh, lalu granat itu meledak di antara dua kakinya, tapi dia tidak terluka. Ini menyangkut aqidah qadar dan ajal.



“Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati kecuali dengan idzin Allah, sebagai ketetapan yang telah tertentu waktunya.” (QS. Ali Imran : 145)



Apakah orang yang mempunyai aqidah semcam itu sama dengan orang yang duduk di kursi menghadap meja, menulis tentang jihad dan tidur di atas ranjang empuk? Atau duduk di dalam kantor Fadhilah Al-Ustadz Profesor Doktor menulis tentang Islam?



Pada musim haji tahun 1971 M / 1391 H, kami ada di Makkah menunaikan ibadah haji. Kami keluar dari medan jihad di Yordania untuk yang pertama kalinya. Kami tinggal beberapa waktu untuk menyeru kaum muslimin … ‘Wahai kaum muslimin! marilah berjihad bersama kami !!! Mereka menjawab, “Para tokoh Islam tidak memutuskan dan tidak menyetujui kalau kami ikut berjihad bersama kalian”.! Keputusan dunia !… Sementara kami menghadapi peperangan, sebagian ikhwan ada yang berkeliling dari satu negeri ke negeri yang lain mengajak kaum muslimin, “Ikutlah bergabung dengan ikhwan-ikhwan kalian yang tengah berjuang itu … Ikutlah bergabung dengan mereka!!” Adapun para da’i yang panjang lidahnya, mereka menghabiskan liburan mereka di Beirut dan tidak mau singgah di Yordania. Mereka naik pesawat dari Riyadh ke Beirut langsung atau dari Kuwait ke Beirut … ya memang benar! … Demi Allah!! mereka belum pernah sekalipun mengunjungi kami … sekalipun!



Saya ada di Mina ketika kaum muslimin berkemah di sana, saat sedang menghadiri ceramah agama di Mina. Mudah-mudahan Allah merahmati Doktor Amin Al-Mishri, dimana ketika itu beliau berbicara tentang jihad. Dan ada lagi seorang yang bernama Ibnu ‘Abdu dari Maghrib, dia juga berbicara tentang jihad. Waktu itu saya duduk di samping pengarah acara. Saya katakan padanya, “Saya mau membacakan sesuatu tentang jihad pada mereka”. Lalu dia memperkenalkan diri saya kepada hadirin, “Mujahid besar Abu Muhammad, dipersilakan maju ke depan.” … Dia tidak mengetahui apa yang akan saya bacakan. Andaikan dia tahu, pasti dia tidak akan memberi kesempatan saya untuk maju ke depan. Lalu saya berdiri dan berkata, “Mudah-mudahan Allah memberi balasan yang baik kepada dua orang ustadz yang baru saja menyampaikan ceramahnya. Kami mendengar ceramah beliau berdua dan mudah-mudahan Allah memberikan manfaat kepada kami dengan isi ceramah tersebut. Namun demikian saya ingin menanyakan kepada kalian wahai orang-orang yang berbicara tentang jihad, dan mendengar perkataan saya –Sa’id Hawwa pada saat itu hadir, demikian pula tokoh-tokoh Islam di seluruh dunia—upaya jihad di Yordania hanya beberapa langkah dari sini. Bukan di planet Mars, tapi di Yordania. Siapa di antara kalian yang sudah berziarah ke sana, sekali saja? Tidakkah kalian takut kepada Allah?! Jihad apa yang sedang kalian bicarakan itu?!



Demi Allah, kalian dusta, dusta!! –Apa yang tuan-tuan perbuat di sini … di Saudi Arabia?!! Tidakkah tuan-tuan hanya mengumpulkan harta saja! Membangun istana-istana, gedung-gedung bertingkat dan mobil-mobil dan sebagainya!! Kembalilah ke negeri kalian!! .. Kembalilah ke negeri kalian, dan itu lebih baik bagi kalian!! Saya bericara keras sekali, padahal banyak di antara mereka adalah ustadz-ustadz saya sendiri, serta tokoh-tokoh Islam yang lain. Tapi hati saya tidak tahan. Kata-kata yang keluar dari mulut saya semuanya adalah celaan. Tentu saja setelah saya menyelesaikan pembicaraan terjadi kegaduhan. Akan tetpi mereka tidak mampu berbicara apapun. Mereka hanya mengatakan, “Orang itu dari organisasi Al-Fatah, bukan dari kaum muslimin. Dia adalah pengikut Yasser Arafat!!”



Wahai saudara-saudara!



Islam adalah dien amali, waqi’i, jaad (praktis, realitis dan penuh kesungguhan). Dien yang bersahabat baik dengan pepohonan dan tanah. Berguling-guling di atas debu dan tidur di atas tanah. Bukan dien yang hanya mengenal tilam, pakaian mewah, gedung bertingkat, mobil dan pesta-pestaan. Islam bukan dien yang berisi slogan-slogan kosong tak bermakna di alam nyata.



Engkau pergunakan waktumu lima tahun di Peshawar, namun belum pernah sampai di daerah perbatasan (Pakistan-Afghanistan). Saya tidak percaya bahwa dalam hatimu terdapat sepercik kapi kemauan untuk membela dien ini. Saya tidak percaya! … Demi Allah! saya tidak percaya.



Terkadang ada seorang da’i besar datang ke Islamabad untuk menghadiri muktamar, tapi ia tidak sampai ke Peshawar, padahal di sana terdapat persoalan Islam paling penting di dunia. Ia tidak sampai ke Peshawar!! Demi Allah, sesungguhnya ia jatuh dalam pandanganku meskipun ia adalah da’i terbesar di muka bumi, ini secara lisan. Dan dalam catatanku ia sama sekali tidak ada dan tidak masuk perhitungan, dunia jatuh dalam pandanganku. Mudah-mudahan saja ia tidak jatuh dalam pandangan Allah.



Lebih mengenaskan dan lebih memilukan lagi daripada ini, ada sejumlah besar pemuda muslim yang beribadah haji. Mereka berada kurang dari 1 kilometer dari Mina, di mana Sayyaf berdiri menyampaikan bahnya. Tapi mereka tidur-tiduran dan tidak tergerak untuk mendengar apa yang dikatakan Amir Mujahidin!! … Jihad menghidupkan dienullah, menghidupkan dienullah sekali lagi di permukaan bumi … maka mana mungkin kalian berharap pada para pemuda itu? Apa yang mungkin mereka perbuat pada suatu hari nanti? Mereka adalah pemuda yang tidak mempunyai keberanian. Mungkin takut atau mungkin malas menghadiri ceramah Sayyaf yang dihadiri oleh ribuan manusia.



Barangkali dia cemas, jangan-jangan dalam kumpulan manusia itu ada intel. Kemudian intel tadi melihatnya mendengarkan ceramah Sayyaf. Maka dia memutuskan tidak datang karena dia tahu betul bahwa dinas inteljen negerinya memperhitungkan mereka yang mendengarkan ceramah Sayyaf.



Pemuda semacam ini, tidak berharga sama sekali. Tak mungkin masuk dalam perhitungan saya. Meskipun di belakang saya ada satu juta orang macam para pemuda itu, maka akan saya katakan seperti pepatah mengatakan, “Wahai penghalang jalanku!” Tidak punya nilai sama sekali! Punya nilai apa pemuda macam itu? Apalah arti keberadaannya?



Ada seorang pemuda Arab datang ke Islamabad. Dia mau mendaftarkan diri ke sebuah universitas. Telah seminggu dia tinggal di sana. Lalu saya katakan padanya, “Allah telah menuntun banyak kebaikan kepadamu. Saya akan mengirimmu ke Peshawar untuk melihat mujahidin dan muhajirin. Ini adalah kesempatan bagus yang kau dapat sepanjang hidupmu.” Tapi apa jawaban pemuda yang selalu mengulang-ulang kalimat, ‘Allah adalah tujuan kami’? Ia menjawab, “Bagaimana jika nanti agen Mossad tahu?” Lalu saya katakan padanya, “Mossad? Apakah Mossad itu Rabbul ‘Alamin!! Mengetahui perkara yang ghaib? Mengetahui namamu Ahmad Sahleh Abdullah di antara kaum muhajirin yang berjumlah jutaan orang itu?”



Ketika pemuda ini ada di rumah saya, saya katakan padanya, “Ya akhie, sebaiknya engkau berkunjung ke Peshawar”. Mendengar saran saya, maka dia mulai beralasan, “Seharusnya kita tidak boleh melakukan sesuatu tanpa perhitungan, kita tidak boleh tergesa-gesa melakukan suatu tindakan”. Alasan klise !!… Strategi, taktik!. Inilah kata-kata yang selalu diingatnya!. Persoalan yang menurutnya berat dalam timbangannya. Inilah alasan paling baik untuk mendukung keengganannya pergi melihat mujahidin dan muhajirin. Berpikir yang dalam, strategi, idzin, taktik dan sebagainya … jadi, punya nilai apa pemuda macam ini? Apakah prinsip yang kita perjuangkan dapat menang dengan dukungan pemuda macam ini?



Ketika Indira Ghandi terbunuh, maka saya bergembira karena dalam dugaan saya di sana ada seorang muslim yang berani membela agamanya. Tapi tak lama kemudian, juru bicara pemerintah India mengumumkan bahwa pembunuhnya adalah seorang Sikh. Maka saya berujar, “Aduhai duka cita saya terhadap Islam. Orang-orang Sikh berani berjuang untuk membela kuil mereka yang dirobohkan. Mereka membunuh Indira Ghandi di dalam istananya … sedangkan beratus-ratus ribu nyawa kaum muslimin yang dibantai di Assam, namun tidak ada ghirah ataupun mobilisasi untuk membalas kejahatan. Seekor sapi kalian sembelih, lalu mereka membantai beratus-ratur ribu nyawa saudara kalian!! Dien kalian disembelih, sedangkan kalian hanya berkata pasrah, “Sudah menjadi takdir Allah atas hamba-hamba-Nya”.



Mereka menyitir firman Allah :



“Jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya. Maka biarkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan.” (QS. Al-An’am : 112)



Sewaktu Presiden (India) mendengar kejadian itu, maka apa komentarnya? Ia berkomentar, “Seharusnya Indira Ghandi menyadarai bahaya yang mengancamnya. Sebab siapa yang bertanggung jawab atas kematian beribu-ribu atau beratus-ratus ribu nyawa orang, harus menyadari bahwa ia akan dibunuh sebagai pembalasannya”.



Jadi, di mana gerangan aqidah Islam yang senantiasa berdenyut dalam nadi kaum muslimin? Di mana gerangan syari’at Islam yang senantiasa dinamis? Di mana kuda-kuda Allah ketika mereka menyeru, “Wahai kuda Allah naiklah”. Di mana orang-orang yang disebut Rasulullah saw dalam sabdanya :



“Sebaik-baik penghidupan manusia ialah orang yang memegang kendali kudanya fii sabilillah yang selalu dalam kondisi siaga.Tiap mendengar suara menakutkan atau kegaduhan(dari musuh), segera terbang mengejarnya, mencari mati di tempat yang menjadi persangkaannya”. (HR. Muslim)



Kemudian lihatlah mereka yang tinggal diam di negeri-negeri Islam. Segala masalah mereka filsafatkan, teori-teori mereka ciptakan, buku-buku mereka terbitkan dan sebagainya. Dari otak mereka yang genius keluar pemikiran-pemikiran tentang Islam, tentang amal Islami, tentang jihad Islam tetapi tak pernah sekalipun mereka datang ke Peshawar. Mereka berlibur pada musim panas di Turki, di Swiss, di Eropa, di Spanyol, namun tidak mau memaksa dirinya untuk mengunjungi mereka yang mengukir sejarah dengan tetesan darah.



Jika dalam jihad Afghan terdapat seratus sampai seratus ribu orang Arab, maka apakah jumlah ini sudah terbilang banyak? Seratus orang Arab dari setiap satu juta orang Arab, apakah jumlah ini sudah banyak? Kami menghendaki dari setiap satu juta orang kaum muslimin untuk menyodorkan seorang saja, apakah permintaan kami ini terlalu tinggi? Adakah terlalu berlebihan? Akan tetapi permintaan itu tidak terpenuhi !! Tidak ada seorang Arab-pun yang datang dari setiap jutanya.



Tiga hari yang lalu mujahidin mengevakuasi tiga puluh orang gadis ke Peshawar dari sebuah desa yang diserang tentara Rusia. Mereka menangkap orang-orang tua, para ulama, kaum wanita dan anak-anak, dan menyembelihnya. Kemudian jasad para korban tersebut mereka tuangi bensin dan kemudian dibakar. Tidak ada yang tersisa kecuali tiga puluh gadis tersebut.



Sementara di sisi lain, para pemikir Islam –Masya Allah— menerbitkan buku-buku baru. Dari Daar As-Syuruuq (Penerbit Asy-Syuruuq) terbitbuku baru … dari Al-Buruq terbit buku baru … dan dari penerbit yang lain terbit buku-buku baru …!!



MENENTANG NASH DAN REALITA

Wahai saudara-saudaraku!

Keberadaan kalian di bumi jihad ini paling tidak sebagai udzur/alasan nantinya di hadapan Allah. Bahwa di muka bumi ini masih ada tersisa kaum muslimin yang rela berkorban harta dan nyawa membela dienullah.


Waktu saya berkata, “Hukum syar’i, apabila kaum kuffar merampas sejengkal tanah yang berada dalam kekuasaan kaum muslimin, maka jihad menjadi fardhu ‘ain bagi setiap orang muslim dan muslimah. Di mana dalam kondisi jihad fardhu ‘ain, seorang wanita harus keluar mengangkat senjata tanpa harus meminta izin suaminya, seorang hamba (budak) harus keluar mengangkat senjata tanpa harus meminta izin dari tuannya, seorang anak harus keluar mengangkat senjata tanpa harus meminta izin orang tuanya, orang yang berhutang harus keluar mengangkat senjata tanpa harus meminta izin kepada orang yang menghutanginya, mereka mendebatnya, “Fatwa apa yang anda keluarkan itu? Dari akalkah? Lalu saya jawab, “Bukan, bukan dari akal saya”. Lantas mereka bertanya, “Andaikata anda pulang ke rumah, lalu tidak mendapati anak dan istrimu di rumah, karena telah pergi ke Afghanistan, apakah anda merelakannya?” Maka pertanyaan mereka saya jawab, “Kasihan sekali anda wahai tuan-tuan. Demi Allah, jika kaum muslimin menerapkan hukum syar’i ini seminggu saja, pasti musuh tidak akan mampu menghadapi mereka. Penduduk Afghanistan dan Pakistan, laki-laki dan perempuan, tua muda semuanya mengangkat senjata … Warga Saudi, warga Yordania, warga Syiria, semuanya mengangkat senjata … mungkinkah Rusia bisa bertahan di Afghanistan? Mungkinkah Yahudi bisa bertahan? Demi Allah kaum muslimin akan mencincang daging mereka andaikan dibolehkan mencincangnya.



Andaikan kaum muslimin menerapkan hukum itu selama seminggu saja, tentu perempuan, anak-anak, orang yang berhutang, hamba dan tuannya semuanya keluar ke medan pertempuran mengangkat senjata. Tidak ada cocok tanam, tidak ada pabrik yang kerja, tidak ada perdagangan, tidak ada universitas ataupun sekolah-sekolah yang mengajar siswanya …. Semuanya akan keluar.



Jika pakaian yang kau kenakan rusak/robek jahitannya, jika pakaian kaum muslimin robek pada bagian ujungnya, maka robekan itu harus segera dijahit agar tidak melebar ke mana-mana, yang menyebabkan auratmu terbuka.



Ada orang yang menyangka bahwa fatwa ini datangnya dari diri saya, maka silakan tunjukkan kitab fiqih mana yang bertentangan dengan fatwa ini! Demi Allah, tiadalah saya membaca kitab fiqih yang bericara tentang jihad, melainkan isi kitab tersebut muat ketetapan seperti di atas. Lalu ketika fatwa ini saya tunjukkan kepada orang-orang alim, mereka menerima dan menyetujuinya. Akan tetapi kebanyakan manusia memang tidak mengetahuinya.



Pernah seorang pemuda tanggung, mendebat saya dan mengatakan, “Bagaimana jika Syaikh saya tidak setuju dan tidak memberi idzin saya untuk berangkat berjihad?” Maka saya jawab, “Adakah kamu hendak meminta idzin dahulu kepada Syaikhmu dalam rangka mentaati Allah dan menjalankan kewajiban yang dibebankan atasmu?”. Allah mewajibkan sedangkan Syaikhmu tidak mengidzinkan. Apabila Allah berfirman padamu … seperti firman-Nya:



“Tidak akan meminta ijin kepadamu orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari Kemudian, untuk (tidak ikut) berjihad dengan harta dan diri mereka. Dan Allah mengetahui orang-orang yang bertaqwa. Sesungguhnya yang meminta ijin kepadamu, hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian, dan hati mereka ragu-ragu, karena itu mereka selalu bimbang dalam keragu-raguannya”. (QS. At-Taubah : 44-45)



Maka sudah sepatutnya bagi Syaikhmu untuk menguatkan hatimu dan mengajarkan kepadamu bahwa :


“Setiap umat itu ada kerahiban (kependetaan) dan kerahiban umatku adalah jihad fii sabilillah” .(HR. Ahmad dan Abu Ya`la, lihat Kita Al Jihad Ibnu Mubarak : 68 ).


Sebagaimana sabda Nabi saw yang termaktub dalam hadits shahih, maka dia harus mengajarkan padamu bahwasanya:



“Barangsiapa berperang di jalan Allah, selama waktu orang memerah susu onta, maka wajib baginya masuk syurga”.(HR. Ahmad dan Ibnu Hibban, lihat Shahih al Jami` as Shaghir: 6416)



Dan sudah semestinya bagi syaikh, ustadz, guru tersebut itu mengajarkan kepadamu bahwa :


“Berdiri sejam dalam barisan untuk berperang lebih baik daripad beribadah selama enampuluh tahun”. (HR. Al Baihaqi, lihat Shahih Al Jami` as Shaghir: 5151)


Dari mana syaikhmu itu? … Syaikh yang ucapannya kamu dahulukan daripada perintah Allah, Rabbul ‘Alamin?



Pernah suatu ketika Ibnu Abbas menyebutkan hadits Nabi saw dalam majelis ta’limnya. Lalu orang-orang berkata, “Tapi Abu Bakar dan Umar mengatakan begini dan begini”. Maka Ibnu Abbas marah sekali dan berkata pada mereka, “Demi Allah, sesungguhnya saya khawatir kalian akan ditimpa hujan batu dari langit, karena kemurkaan Allah dan laknatnya. Saya katakan kepada kalian Rasulullah saw bersabda demikian, sedangkan kalian mengatakan Abu Bakar dan Umar mengatakan demikian”.



Dan saya katakan kepada kalian bahwa Allah telah berfirman demikian, tetapi kalian mengatakan, “Syaikh kami berkata demikian”. Maka apa yang akan diperbuat langit terhadap kalian? Jika orang yang meletakkan perkataan Abu Bakar r.a. di samping/sejajar dengan sabda Nabi saw saja dikhawatirkan tertimpa hujan batu dari langit, maka bagaimana orang yang meletakkan perkataan seorang syaikh di depan firman Allah swt? Bagaimana coba?!!



Ada seorang laki-laki bertanya kepada Imam Asy-Syafi’i, “Wahai Abu Abdullah, apa pendapat tuan tentang masalah ini?” Lalu ia menyambung perkataannya, ‘Telah sampai khabar kepada kami dari fulan dari fulan, dari fulan bahwasanya Rasulullah saw bersabda demikian. Apakah tuan berpendapat seperti ini juga?” –Maksudnya apakah pendapatmu seperti ini--?” Mendengar perkataan orang tersebut maka Imam Asy-Syafi’i marah sekali, wajahnya merah padam, lantas ia berkata, “Langit mana yang akan menaungiku, dan bumi mana yang akan mengangkatku/memikulku, jika aku tidak mengatakan seperti apa yang Rasulullah saw sabdakan? Heh kamu! Apakah kamu pernah melihatku memakai pakaian pendeta Nasrani? Apakah kamu pernah melihatku keluar dari gereja? Sehingga aku berani menyelisihi sabda Rasulullah saw –seperti yang diperbuat para pendeta terhadap ajaran nabinya--.”



Pernah Abu Hanifah berkata, “Ibnu Dzi’b meriwayatkan sebuah hadits, lalu aku bertanya padanya, “Apa pendapatmu tentang masalah ini?” Maka iapun marah sekali dan berteriak, “Ya menurut kepala dan kedua mata (ku)! … Ya, menurut kepala dan kedua mata (ku)! … ya menurut kepala dan kedua mata (ku)!!” dengan rasa jengkel.

«
Next
Posting Lebih Baru
»
Previous
Posting Lama

Tidak ada komentar

Leave a Reply