Select Menu
Select Menu

Favorit

Buku Referensi

Buku

Pergerakan Islam

Tokoh

Rumah Adat

Syamina

Pantai

Seni Budaya

Kuliner

» » » Nafsu Selalu Menyuruh Berbuat Jahat


Unknown 04.17 0


Wahai kalian yang telah ridha Allah sebagai Rabb kalian, Islam sebagai Dien kalian dan Muhammad sebagai Nabi dan Rasul kalian, ketahuilah bahwa Allah 'Azza wa Jalla telah menurunkan di dalam Al-Qur’an :
                                              

 “Dan berjihadlah kamu di jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan tiadalah sekali-kali Allah menjadikan suatu kesempitan atas kamu dalam (urusan) agama. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim”. (QS. Al-Hajj. 78)

Kata Jihad menurut bahasa berarti mengerahkan segenap daya dan kemampuan untuk meraih apa yang disukai Al-Haq dan menolak apa yang dibenci Al-Haq. Sedangkan menurut istilah syar’i, kata Jihad mempunyai pengertian  : berperang serta memberi bantuan orang yang berperang.


JIHAD ADALAH QITAL (PERANG)

Para Imam dari golongan madzhab yang empat telah bersepakat bahwa kata jihad berarti qital (perang). Hanyasanya golongan Hanafiyah sedikit memperluas pengertiannya. Mereka mengatakan : Jihad adalah berdakwah kepada (Dien) Allah dan memerangi mereka yang menolak dakwah tersebut.

Dengan demikian kata jihad menurut istilah syar’inya adalah perang. Adapun menurut makna bahasa, kata tersebut mengandung makna yang lebih luas. Mencakup juga pengertian bermujahadah melawan hawa nafsu, bermujahadah melawan hasrat diri, bergulat melawan syetan, berjuang melawan kelalaian untuk membangkitkan hati dari tidurnya dan sebagaiya.

Ada sementara orang yang selalu mendengung-dengungkan hadits maudhu’ (palsu) yang berbunyi :

“Kita telah kembali dari jihad yang lebih kecil kepada jihad yang lebih besar”.

Sesungguhnya perkataan ini tidak pernah diucapkan sama sekali oleh Rasulullah saw. Perkataan ini dinukil oleh sebagian ulama salaf dari salah seorang tabi’in yang bernama Ibrahim bin ‘Ablah. Mereka yang menukil perkataan ini, meriwayatkan perkataan tersebut dari Isa bin Ibrahim dari Yahya bin Ya’la dari Laits bin Aslam. Ketiga perawi ini adalah dha’if (lemah). Dan hadits yang mereka riwayatkan dha’if menurut kesepakatan para ulama, bahkan lemah dan mungkar (tidak dikenal).

Oleh karena itu, pengertian yang sebenarnya adalah bahwa jihad yang terbesar adalah memerangi musuh di medan pertempuran. Adapun mereka yang mengatakan jihad melawan musuh adalah jihad kecil, maka sebenarnya mereka tidak mengenal medan pertempuran dan tidak mengetahui dahsyatnya peperangan. Mereka yang hidup di bawah desingan peluru, dentuman meriam dan raungan pesawat tempur mengetahui, itulah yang dinamakan jihad besar.

Oleh karenanya, sewaktu Rasulullah saw ditanya :

“Apakah orang yang mati syahid masih akan difitnah di dalam kuburnya?” maka beliau menjawab, “Cukuplah kelebatan pedang di atas kepalanya sebagai fitnah.(HR. An-Nasa’i, lihat Shahih Al-Jami’ Ash-Shaghir  no. 4483).

Artinya : Cukuplah baginya kecemasan dan ketakutan yang dialaminya serta musibah yang dideritanya selama berperang di medan pertempuran itu sebagai fitnahnya. Sampai-sampai karena kebijaksanaan Allah dan keadilan-Nya, maka Dia tidak mengulang fitnah atas orang yang mati syahid untuk yang kedua kali. Yakni fitnah selama berperang dan fitnah pertanyaan dari malaikat Mungkar dan Nakir.

Akan tetapi untuk mendapatkan ketinggian puncak ini, maka seseorang harus melaksanakan faridhah jihad, harus menjinakkan dirinya dan harus selalu mengikatkan diri dan jiwanya kpada Al-Khaliq swt.

Allah 'Azza wa Jalla berfirman :

“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mu'min, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah, lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan al-Qur'an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar. Mereka itu adalah orang-orang yang bertaubat, yang beribadat, memuji (Allah), yang melawat, yang ruku', yang sujud, yang menyuruh berbuat ma'ruf dan mencegah berbuat munkar dan yang memelihara hukum-hukum Allah. Dan gembirakanlah orang-orang mu'min itu.” (QS. At-Taubah : 111-112)

Dimulai dengan taubat, lalu beribadah, lalu dzikir, lalu shiyam, kemudan setelah itu akan sampai ke puncak tertinggi Islam, yakni Jihad fie sabilillah atau perang di jalan Allah. Kemudian Allah 'Azza wa Jalla mengambil sebagian dari orang-orang yang beriman itu sebagai syuhada’. Dan sesungguhnya Ia hanya mengambil orang-orang yang bersih dan baik di antara mereka. Oleh karena itu Allah 'Azza wa Jalla berfirman :

“Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman. Jika kamu (pada perang Uhud) mendapat luka, maka sesungguhnya kaum (kafir) itupun (pada perang Badar) mendapat luka yang serupa. Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu, Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran); dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) dan supaya sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim.” (QS. Ali Imran : 139-140)

Syahadah (mati syahid) itu merupakan pilihan dan saringan. Pilihan dari Pencipta makhluk, Rabb pemilik bumi dan langit, yang mengetahui rahasia yang nampak dan yang tersembunyi. Dia tidak memilih kecuali orang-orang yang memang berhak mendapatkan kedudukan ini. Dan tiada yang dapat mendaki ke sana kecuali orang-orang yang berhak mencapai puncak ketinggian itu. Dan seseorang dapat mencapai kedudukan itu hanya berkat anugerah dan karunia dari Allah.

Sekali lagi, untuk mencapai kedudukan sebagai mujahid dan untuk merengkuh syahadah, maka seseorang harus menjinakkan dirinya, mendidiknya serta melatihnya, sehingga ia mampu bertahan di atas jalan yang panjang dan terang ini, jalan yang sulit penuh dengan onak dan duri dan bersimbah darah di sana sini. Maka dari itu, siapa saja yang berkeinginan mengaruni jalan yang penuh bara api dan duri ini, maka hendaklah ia melatih dirinya untuk sabar menanggung segala macam musibah dan menahan segala kesulitan yang dialaminya.

HALANGAN DAN RINTANGAN

Diri seseorang merupakan perintangan pertama bagi mereka yang hendak melangkah di jalan yang mendaki ini. Sebagaimana ucapan Ibnul Qoyyim rhm. “Ketahuilah bahwa diri itu merupakan gunung besar yang merintangi jalan mereka yang melangkah menuju keridloan Allah. Tidak mungkin seseorang bisa menempuh jalan tersebut sebelum ia melewati gunung yang besar itu”.

Jalan yang mendaki dan sulit ini… gunung yang besar ini, disertai pula dengan lembah-lembah, bukit-bukit dan jurang-jurang yang dalam. Syetan berdiri di atas puncaknya dan memperingatkan dengan maksud menakut-nakuti orang yang berusaha untuk mendaki puncak ketinggian tersebut. Perintang yang datangnya dari diri sendiri ini harus kamu lewati sehingga kamu sampai ke jalan Allah yang aman. Jalan keselamatan yang diterangi oleh wajah Allah swt.

Maka dari itu kamu harus mendaki gunung ini. Setiap mana seorang muslim mencoba untuk menaikinya, maka syetan meneriakinya, hawa nafsu menariknya, syahwat melemahkan kemauannya. Semua bermaksud untuk melengketkan ke bumi, meski orang tersebut adalah ulama besar. Maka dari itu harus melepaskan dirinya dari segala macam keterikatan, dari segala macam ikatan dan belenggu sehingga tubuhnya menjadi enteng dan dapat mendaki puncak yang tinggi itu. Apabila ia berhasil mendaki puncak itu, maka ia akan menemukan jalan yang aman, seperti yang difirmankan Allah Azza Wa Jalla:


                                    (kht)

Allah menyeru (manusia) ke negeri keselamatan (surga), dan menunjuki orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus”. (QS. Yunus: 25)

Dan ia adalah jalan yang diterangi dengan cahaya,lurus, aman, lagi menjamin keselamatan. Yaitu sesudah mana seseorang berhasil melewati rintangan besar yang menghadangnya. Rintangan itu adalah hawa nafsu yang selalu mendorong berbuat jahat.

SEBAB YANG MENARIK MANUSIA KEPADA KEHIDUPAN DUNIA

Pertama: Kebodohan


Sebenarnya banyak sekali faktor yang membantu nafsu (yang selalu mendorong berbuat jahat) untuk mengikat pemiliknya kepada kehidupan dunia. Diantara yang utama adalah “kebodohan”. Kebodohan adalah kubangan yang busuk baunya, mengikat setiap yang mempunyai hawa nafsu dengan kebusukannya sehingga iapun tenggelam dan menyelam dalam lumpurnya yang berbau busuk.

Kebodohan merupakan faktor terbesar yang merintangi perjalanan seseorang kepada Allah Azza Wa Jalla. Merintangi kaki dari belenggu yang mengikatnya. Merintangi ruh yang akan melepaskan diri dari belenggunya. Kebodohan, apabila telah menimpa diri seseorang, maka terkadang akan membuatnya mengingkari adanya matahari meskipun ia melihat di siang hari bolong.


                                   

“Kalau sekiranya Kami turunkan malaikat kepada mereka dan orang-orang yang telah mati berbicara dengan mereka dan kami kumpulkan (pula) segala sesuatu ke hadapan mereka (1) niscaya mereka juga tidak beriman, kecuali jika Allah menghendaki. Tetapi kebanyakan mereka tidak mengerti (bodoh)”. (QS. Al An-aam : 111)

(1) Maksudnya : untuk menjadi saksi bahwa Muhammad adalah Rasulullah.


Andaikata orang-orang yang telah mati berbicara dengan mereka, para malaikat datang, dan seluruh binatang liar datang serta berbicara kepada mereka; tetap saja mereka tidak beriman. Penyebabnya adalah kebodohan (akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengerti).

Bodoh disini bukan berarti kurang pengetahuan, akan tetapi “tidak mengerti”. Orang yang mengetahui tentang Allah adalah yang takut dan bertaqwa kepada Nya. Sebagaimana firman Allah :

“Apakah kamu hai orang-orang musyrik yang lebih beruntung ataukah orang yang beribadah di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedangkan ia takut kepada (adzab) akherat dan mengharap rahmat Rabbnya? Katakanlah, “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui ? “Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran (QS. Az Zumar : 9)

Orang yang beribadah, berdiri sholat sepanjang malam, mengharap surga yang dijanjikan Rabbnya, takut terhadap adzab Nya; adalah orang-orang yang dikatakan `alim (berilmu/mengetahui).

Ibnu Mas`ud   r.a. berkata,


                                   

” Bukanlah yang dinamakan ilmu itu dengan banyaknya riwayat (yang dihafalkan), tetapi ilmu adalah sesuatu yang mendatangkan rasa takut”.

Mari kita simak bersama perkataan nabi Yusuf As,

“ Dan jika engkau tidak dihindarkan dari padaku tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku akan menjadi diantara orang-orang yang bodoh”. (QS. Yusuf : 33)

Yusuf mengetahui bahwa zina adalah perbuatan keji dan suatu kemaksiatan yang besar. Namun demikian, pengetahuan nabi Yusuf akan kekejian perbuatan tersebut tidak menafikan predikat bodoh andaikan ia terjerumus ke dalamnya. Jadi kebodohan adalah rintangan yang paling besar yang menghadang di depan jalan mendaki dari gunung yang dinamakan’Hawa nafsu yang selalu mendorong berbuat jahat’.

Oleh karenanya, Nabi Musa As menjawab perkataan kaumnya ketika ia menyuruh kepada mereka menyembelih sapi betina dan mereka mengatakan, “Adakah engkau akan menjadikan kami bahan olok-olokan?”.


                                   

“Aku berlindung kepada Allah menjadi diantara golongan orang-orang yang bodoh

(QS. Al Baqarah : 62)

Beliau tidak menjawab dengan ucapan, “Aku berlindung kepada Allah menjadi diantara golongan orang-orang yang mencemooh”.

Oleh karena kebodohan lebih besar bala`nya daripada  mencemooh. Bodoh terhadap Allah sebab yang menjadikan seseorang mencemooh dan memperolok-olok yang lain.

“Dan mereka tidak menghormati Allah dengan penghormatan yang semestinya dikala mereka berkata, “Allah tidak menaruhkan sesuatu kepada manusia”. (QS. Al An `aam : 91)

Sikap tidak menghormati Allah serta tidak mengagungkan Nya adalah yang dinamakan jahil/bodoh terhadap Allah `Azza Wa Jalla. Ma`rifat atau pengetahuan tidak menafikan kebodohan. Kadang ma`rifat dan kebodohan bertemu dalam diri seseorang, ilmu adalah lawan dari kebodohan. Dan ilmu itu sendiri adalah rasa takut. Boleh jadi seseorang banyak mengetahui sesuatu dan banyak mengerti sesuatu, akan tetapi sebenarnya ia tidak mengetahui kecuali sedikit saja.
“Aliif lam miim. Telah dikalahkan bangsa Romawi. Di negeri yang terdekat (1) dan sesudah mereka dikalahkan itu akan menang, dalam beberapa tahun (lagi). Bagi Allah-lah urusan sebelum dan sesudah (mereka menang). Dan di hari (kemenangan bangsa Rumawi) itu bergembiralah orang-orang yang beriman, karena pertolongan Allah.Dia menolong siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Dialah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. (sebagai) janji yang sebenar-benarnya dari Allah. Allah tidak akan menyalahi janji-Nya, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia; sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai.” (QS. Ar-Ruum : 1-7)

Mereka mengetahui seluk beluk dan rahasia atom, putaran elektron, kapal terbang, kapal perang, jet-jet tempur serta teknologi tinggi yang lain. Mereka mengetahui itu, akan tetapi mereka lalai terhadap kehidupan akhirat. Maka dari itu mereka dikatakan kaum yang tidak mengetahui.

Oleh karena itu para ulama berkata, “Orang yang berolok-olok atau bersenda gurau dengan ayat Al-Qur’an adalah fasik”. Dan sebagian dari mereka berpedapat kufur.

Misalnya ada sekumpulan orang yang sedang menghadapi jamuan makanan. Lalu salah seorang dari mereka maju untuk mengambil makanan seraya berkata, “Wa nasafnal jibaala nasfaa, artinya : “Dan kami hancurkan gunung-gunung itu sehancur-hancurnya.” Maka perbuatan seperti itu tergolong perbuatan fasik menurut jumhur ulama, dan kufur menurut sebagian di antara mereka. Sebab ayat Al-Qur’an adalah firman Allah, bukan untuk bahan olok-olokan ataupun senda gurau.


                                   

“Katakanlah,“Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok? Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman.” (QS. At-Taubah : 65-66)

Maka dari itu, waspadalah dari persoalan ini. Kalian jangan menjadikan hadits-hadtis Nabi dan ayat-ayat Al-Qur’an sebagai bahan untuk melucu dan menghibur agar orang-orang tertawa dan senang. Kalian harus berhati-hati dan tetap mengagungkan Allah, karena Dia adalah Dzat yang Maha Perkasa, Maha Agung, Maha Suci dan Maha Luhur.



Maka dari itu, ketika Rasulullah saw merasa bersedih hati atas berpalingnya kaum beliau dan berduka melihat jalan yang mereka tempuh, maka Allah menegurnya :

“Dan jika berpalingnya mereka (darimu) terasa amat berat bagimu, maka jika kamu dapat melihat lobang di bumi atau tangga ke langit lalu kamu dapat mendatangkan mu'jizat kepada mereka, (maka buatlah). Kalau Allah menghendaki tentu saja Allah menjadikan mereka semua dalam petunjuk, sebab itu janganlah kamu sekali-kali termasuk orang-orang yang jahil.” (QS. Al-An’am : 35)

Kalau mau membicarakan soal kebodohan, maka pembahasannya akan sangat panjang. Adapun cara terbaik untuk menghadapi orang-orang bodoh adalah berpaling dari mereka. Sebab jika kamu berdebat dengan mereka, maka mereka akan mengalahkanmu –dengan kengototan mereka--. Dan jika kamu dapat mengalahkan mereka, maka mereka akan membencimu. Dan mereka tidak akan mau mengakui kebenaranmu. Maka jalan yang terbaik adalah berpaling dari mereka.

“Maka berpalinglah engkau (wahai Muhammad) dari orang yang berpaling dari peringatan Kami.” (QS. An-Najm : 29)

Dan….

“Maka maafkanlah (mereka) dengan cara yang baik.” (QS. Al-Hijr : 85)

Berpalinglah kamu dari mereka dan jangan berdebat dengan mereka. Oleh karena perdebatan itu hanya akan menambah kecongkaan mereka. Imam Asy-Syafi’i pernah mengatakan, “Tiadalah aku berdebat dengan orang-orang yang bodoh melainkan ia akan mengalahkanku. Dan tiadalah aku berdebat dengan orang yang pandai melalinkan aku akan dapat mengalahkannya.”

Tentu saja karena orang bodoh terkadang mengingkari –seperti pernah saya katakan—cahaya matahari yang bersinar di siang hari bolong dan cahaya rembulan pada saat purnama.

Maka biarkanlah orang-orang bodoh itu. Mereka akan mati jika kalian tinggalkan. Dan akan  hidup jika kalian ajak mereka berdebat. Mudah-mudahan dengan jalan meninggalkan mereka, maka mereka akan tercegah berlaku sombong dan congkak. Dengan menjauhkan diri dan meninggalkan berdebat dengan mereka, maka mereka akan mengerti kedudukan mereka sendiri. Ini jika kamu merasa pasti bahwa dia adalah seorang yang bodoh, mengikuti hawa nafsunya sendiri, tidak mau mengakui kebenaran dan tidak mau mengikuti sesuatu yang telah pasti kebenarannya.

Kedua: Lalai


Sifat lalai menyebabkan orang terjerumus ke dalam neraka.

Allah Ta’ala berfirman :


                                   

“Sesungguhnya orang yang tidak mengharapkan (tidak percaya akan) pertemuan dengan Kami, dan merasa puas dengan kehidupan di dunia serta merasa tenteram dengan kehidupan itu dan orang-orang yang melalaikan ayat-ayat kami, mereka itu tempatnya ialah neraka, disebabkan apa yang selalu mereka kerjakan.” (QS. Yunus : 7-8)

Lalai menyebabkan seseorang berpaling, menyebabkan seseorang menyikapi peringatan ayat-ayat Allah dengan senda gurau :

“Telah dekat kepada manusia hari menghisab segala amalan mereka, sedang mereka berada dalam kelalaian lagi berpaling (daripadanya). Tidak datang kepada mereka suatu ayat al-Qur'an pun yang baru (diturunkan) dari Rabb mereka, melainkan mereka mendengarnya, sedang mereka bermain-main, (lagi)hati mereka dalam keadaan lalai. Dan mereka yang zalim itu merahasiakan pembicaraan mereka, ‘Orang ini tidak lain hanyalah seorang manusia (jua) seperti kamu, maka apakah kamu menerima sihir itu, padahal kamu menyaksikannya." (QS. Al-Anbiya’ : 1-3)

Kamu mendatanginya dengan membawa berita yang sangat penting dan dengan perkataan yang serius. Kamu ceritakan kepadanya tentang berbagai pertempuran yang membuat agama Islam menghadapi dua pilihan : lenyap atau terus bertahan. Kamu ceritakan kepadanya tentang pertempuran yang sangat dahsyat dan membinasakan. Membinasakan anak manusia sebagaimana halnya batu penggiling menumbuk halus bulir padi. Namun demikian dia lalai dan tidak begitu mengacuhkan. Sambutan yang diberikannya padamu hanyalah senyum hampa atau mengatakan padamu, ‘Saya telah mendengar cerita mereka, bahwasanya mereka telah melakukan begini dan begitu. Saya tidak punya waktu untuk mendengar pembicaraan mengenal kaum itu.’

Dia sibuk mengumpulkan uang dan menghitung-hitungnya, dia sibuk dengan berbagai macam buah-buahan yang hendak dimakannya dan berbagai macam jenis minuman yang hendak ditenggaknya. Kamu datang kepadanya untuk mengekang hawa nafsunya, untuk menyadarkannya sedikit dari kelalaian yang menghinggapi dirinya dari ujung kaki sampai puncak kepala. Kamu hendak mengalihkan sedikit perhatiannya dari tumpukan uang yang selalu dihitung-hitungnya dan dari dunia yang ia jadikan tempat bersenang-senang, dan dari kehidupannya yang ia jadikan sebagai senda gurau dan main-main belaka. Kehidupan dunia telah menipunya. Dia tidak punya waktu sedikitpun untuk mendengar perkataan yang bermanfaat bagi kehidupannya di dunia dan di akhirat.

KITA LEBIH BERHAK TERHADAP PENGGUNAAN WAKTU

Ada beberapa orang bertanya pada Piccaso 1) : “Berapa jam anda tidur dalam sehari?” “Empat jam.” Jawabnya. “Apakah empat jam cukup bagi anda?” Tanya mereka. Piccaso menjawab, “Kalian ingin saya tidur delapan jam sehari hingga sepertiga kehidupan saya terbuang sia-sia untuk tidur? Kapan saya bisa memuaskan kesenangan saya dan menyalurkan hobby serta bakat saya? Saya hanya tidur empat jam sehari.”

1)      Piccaso adalah pelukis terkenal dari Spanyol


Siapa yang lebih berhak terhadap waktu? Kalian ataukah mereka?. Kalian yang berdiri shalat menghadap Rabbul Alamin atau mengikuti jejak Syahidul Mursalin saw dalam keadaan lapang dan sempit, di malam yang gelap gulita dan di siang yang terang oleh cahaya mentari, ataukah mereka yang berlaku sombong yang tidak mau tidur delapan jam sehari supaya kesenangan dan keinginan mereka dapat terpenuhi dan tersalurkan?

Kita diperintahkan untuk menghentikan persahabatan dengan kaum yang lalai itu. Kita diperintahkan untuk menghentikan pembicaraan dengan mereka. Kita boleh memberikan kepada mereka sedikit senyuman, sedikit akhlak dan mu’amalah/perhubungan baik kita. Tetapi kita tidak boleh membuang-buang waktu kita bersama mereka. Kita tidak boleh menyatukan suatu pendapat apapun dengan mereka.


                                               

“Dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengikuti Kami serta memperturutkan hawa nafsunya dan adalah urusannya itu melewati batas.” (QS. Al-Kahfi : 28)

Kata “Janganlah kamu mengikuti” dalam ayat ini adalah larangan, sedangkan larangan di situ menunjukkan keharaman.

Adalah urusannya kalau dia melampaui batas, oleh karena mengikuti hawa nafsu serta kelalaian hanya akan membawa cerai berainya urusan, lepasnya ikatan di antara manusia, hilangnya pemikiran yang sehat dan lenyapnya logika yang benar.

Ketiga: Hawa Nafsu


Hawa nafsu adalah kecenderungan manusia untuk memperturutkan syahwat/keinginannya. Hawa nafsu lawannya adalah kebenaran.  Allah adalah Dzat yang Maha Benar, Dia menciptakan langit dan bumi dengan alasan yang benar. Firman-Nya :


                                   

“Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya. Sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada mereka kebanggaan mereka tetapi mereka berpaling dari kebanggaan itu.” (QS. Al-Mukminun : 71)

Hawa nafsu akan membuat seseorang berlaku zhalim dan kezhaliman itu membuat seseorang tersesat dari jalan yang benar.

“Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.” (QS. Shaad : 26)


 “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatan. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.” (QS. An-Nisa’ : 135)

Hawa nafsu akan selalu menjauhi keadilan, sedangkan kebenaran akan selalu diikuti keadilan.

Karena itulah hawa nafsu –dalam bahasa Arabnya—“Hawa”(tulis arab!!) yang berarti jauh dari tempat ketinggian ke tempat yang rendah. Oleh karena itu ia menjatuhkan orang yang mengikuti hawa nafsunya dari ketinggian ke tempat yang rendah. Maka orang yang mengikuti hawa nafsu adalah orang yang merosot dan jatuh bersama hawa nafsu, kelalaian dan kebodohannya ke tempat serendah-rendahnya di dunia dan akhirat, di mana ruhnya jatuh ke neraka Sijjil.

Terkadang hawa nafsu bisa membesar dalam diri seseorang sehingga orang tersebut tidak menentang kemungkaran yang dilihatnya dan tidak mengikuti kebaikan yang telah diyakininya. Bahkan bisa menjadi lebih besar lagi sehingga ia melihat yang mungkar menjadi ma’ruf dan ma’ruf menjadi mungkar.

“Dan apabila mereka melihat kamu (Muhammad), mereka hanyalah menjadikan kamu sebagai ejekan (dengan mengatakan), ‘Inikah orangnya yang diutus Allah sebagai Rasul? Sesungguhnya hampirlah ia menyesatkan kita dari sembahan-sembahan kita, seandainya kita tidak sabar (menyembah)nya’. Dan mereka kelak akan mengetahui di saat mereka melihat azab, siapa yang paling sesat jalannya. Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai ilahnya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya? atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu).” (QS. Al-Furqan : 41-44).

Hawa nafsulah yang menjadikan seseorang cenderung kepada dunia dan kemewahannya. Dan hawa nafsu pula yang menurunkan kedudukan ulama’ dari tingkatan di bawah para nabi, yakni tingkatan para shiddiqin ke tingkat seekor anjing.

“Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi Al-Kitab), kemudian dia melepaskan diri dari pada ayat-ayat itu, lalu dia diikuti oleh syaitan (sampai dia tergoda), maka jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat. Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya (juga). Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir.” (QS. Al-A’raf : 175-176).

Seperti anjing yang tiada henti-hentinya menjulurkan lidahnya, sama saja di saat dia istirahat ataupun tengah kecapaian. Sungguh alangkah indah dan mengenanya penyerupaan dan penggambaran yang dilukiskan Allah melalui firman-Nya.

Di dalam kitab-kitab tafsir diterangkan bahwa ayat di atas mengisahkan tentang seorang laki-laki Bani Isra’il yang bernama Bal’am bin Ba’ura’. Dahulunya ia adalah seorang yang sangat alim dan sangat mustajab do’anya. Ketika tentara Musa a.s. datang untuk menggempur kaum lalim yang bermukim di Palestina, maka kaumnya datang dan menemui serta membujuknya, ’Berdo’alah kepada Allah untuk membinasakan Musa dan pengikutnya’. Maka lelaki ini menyanggupi permintaan kaumnya karena tamak terhadap dunia mereka. Lalu lidahnya menjulur ke dada dan ia meninggalkan ayat-ayat Allah. Maka jadilah ia seperti anjing, jika dihalau, lidahnya menjulur dan jika dibiarkan lidahnya tetap menjulur.

Keempat: Syahwat (Ambisi)

Sebab keempat yang menyebabkan diri manusia bertindak durhaka dan melampaui batas adalah syahwat. Syahwat menarik diri manusia untuk melakukan apa saja yang diinginkannya. Syahwat yang pertama adalah berlaku sombong di muka bumi. Yang menjadikan kebenaran seperti kebatilan dan menjadikan kebatilan seperti kebenaran. Orang-orang yang berlaku sombong di muka bumi tidak akan masuk surga.


                                   

“Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) bumi. Dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang-orang yang bertaqwa.” (QS. Al-Qashash : 83).

Pembahasan tentang masalah ini sangat panjang sekali. Saya mohon kepada Allah swt, mudah-mudahan Dia memberikan kepada kita barakah waktu dan kesempatan untuk berjumpa lagi sehingga saya dapat memperinci dan menerangkan masalah-masalah tersebut secara mendetail.

Saya cukupkan sampai di sini dahulu dan akhirnya saya mohon ampunan kepada Allah untuk diri saya dan diri kalian.

BAH KEDUA


                                    (Tulis arabnya saja!!)

Alhamdulillah, tsummal alhamdulillah, wash-shalaatu was salaamu ‘alaa rasuulillahi sayyidinaa Muhammadin ibni ‘Abdillah, wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa man waalaah, Segala puji bagi Allah, kemudian segala puji bagi Allah. Kesejahteraan dan keselamatan, mudah-mudahan dilimpahkan kepada Rasulullah, junjungankita Muhammad bin Abdullah, serta kepada keluarga, sahabat dan orang-orang yang mengikutinya.

Wahai saudara-saudaraku!

Kemarin saya menerima berita syahidnya salah seorang ikhwan kita, yang bernama Abu ‘Uqbah dari Tunisia. Saya mengenal dekat akhi Abu ‘Uqbah, karena saya pernah hidup bersamanya beberapa waktu lamanya, khususnya pada bulan Ramadhan yang lewat. Dia adalah syahid yang kelima belas dari ikhwan Arab, yang pergi melalui Maktab ini.

Saya telah memperhatikan dan kemudian saya merasa yakin bahwa sesungguhnya Allah akan mengambil sebagian di antara kami yang berjihad menjadi syuhada’. Ada tabi’at umum dan ciri khusus yang dimiliki orang-orang yang mati syahid semasa hidupnya. Yakni, selamat (bersih) dadanya dari perasaan negatif terhadap kaum muslimin (salamatus shadr), tidak mau bersenda gurau dan banyak berbuat dengan anggota badannya.

Dan pada bulan Ramadhan yang lewat, ikhwan kita Abdurrahman Albana dari Mesir juga telah mati syahid. Dan sebelum mereka berdua juga telah mati syahid ikhwan kita Abdul Wahhab, Su’ud Al-Bahri, Abu Hamzah dan Abu ‘Utsman. Semua dari mereka yang saya lihat memiliki sifat khusus yang sama. Yakni : bersih hatinya, keikhlasan membuat mereka menahan lisan, menggunakan anggota badan untuk beramal dan tidak banyak berbicara.

Seingat saya, saya tidak pernah mendengar perkataan yang keluar dari mulut Abu ‘Uqbah sepanjang bulan Ramadhan. Dia lebih banyak bekerja dengan anggota badannya bukan dengan mulutnya. Demikian pula dengan ikhwan kita Abdurrahman yang mati syahid sebelumnya. Dia seorang pendiam akan tetapi …

Diam, kalau sudah berbicara mengeluarkan api dan darah.

Katakan pada orang yang mencela diamnya,

orang bijak itu diciptakan tak banyak bicara.

Mereka yang telah diambil Allah 'Azza wa Jalla sebagai syuhada’ mengetahui bahwa surga bukanlah barang yang rendah/kecil nilainya, yang bisa ditaksir harganya oleh orang-orang yang tak berharta, dan bukan pula harta benda yang cepat lenyap lagi murah dan dapat dibeli manusia dengan cara kredit. Sesungguhnya surga itu mempunyai harga tersendiri. Harga yang pertama kali harus diberikan adalah membersihkan dada (hati) dan menjaga lisan, khususnya terhadap saudaranya sesama muslim.

Jika saya lupa tentang banyak hal, maka saya tidak akan lupa dengan ikhwan kita yang tercinta –Abu ‘Uqbah--. Yang berita kesyahidannya datang dari Pansyir. Dia seorang hafizh Al-Qur’an. Pada bulan Ramadhan tahun lalu, dia sering mengumandangkan tilawahnya di Kamp Shada.  Ketika dia membaca Al-Qur’an, maka tergeraklah hati orang-orang yang mendengarnya, seakan-akan mereka mendengar suara Al-Qur’an yang turun dari langit, lunak dan lembut. Suaranya merdu, wajahnya bersinar dan elok, lesannya pendek (tak banyak bicara) kecuali dalam pembicaraan yang baik dan bermanfaat, serta cepat kaki ringan tangan. Saya tak pernah mendengar salah seorang di antara mereka –semasa hidupnya— mengucapkan perkataan yang melukai perasaan atau mefitnah, atau mencela kehormatan, atau mencaci saudara-saudaranya muslim.

SIAPA YANG INGIN MASUK SURGA?

Siapa yang ingin masuk surga, maka hendaklah ia menyelamatkan/membersihkan isi dadanya dan menjaga lesannya. Pernah selama tiga hari Rasulullah saw mengulang-ulang perkataan: ((Seorang laki-laki ahli surga datang menghampiri kalian—Dalam satu riwayat dikatakan bahwa lelaki yang dimaksudkan Rasulullah saw itu adalah Sa’ad bin Abi Waqqash—Lalu salah seorang putra sahabat mengikutinya dan ikut tidur di rumahnya semalam atau dua malam. Dia menyaksikan ibadah lelaki tersebut. Kemudian setelah itu dia berkata, “Demi Allah sesungguhnya Rasulullah saw tidak akan berdusta. Selama tiga hari dia mengatakan, “Seorang laki-laki ahli surga datang menghampiri kalian.” Lalu aku menyelidikimu dan nyatanya aku tidak melihat kelebihan dalam ibadahmu, ataupun panjang (lama) shalat tahajudmu.” Lalu lelaki tersebut berkata, “Wahai saudaraku, memang aku tidak mempunyai kelebihan dalam ibadah. Hanya  aku berusaha untuk tidak bermalam, sementara ada sesuatu (yang mengganjal) di dalam dadaku terhadap salah seorang di antara kaum muslimin.”

Wahai saudara-saudaraku!

Luruskanlah hatimu; murnikanlah niatmu; dan berprasangka baiklah kamu terhadap manusia, niscaya kamu akan dimasukkan ke dalam surga yang tinggi.

Wahai saudara-saudaraku! ….

Surga harus dicapai dengan amalan. Dan amalan yang paling utama untuk mencapai surga adalah jihad. Akan tetapi jihad tanpa disertai tarbiyatun nafs (pembinaan diri), tanpa disertai tarwidhur ruuh (pendidikan ruhani) dan tanpa disertai dengan sillah billahi (penghubungan diri kepada Allah), maka natijah (hasil) akhirnya dipersangsikan –apakah berakhir dengan baik atau sebaliknya— seandainya Rabbul ‘Izzati tidak menolongnya dengan memberikan rahmat, ridha dan anugerah-Nya kepadanya.

Wahai saudara-saudaraku!

Mereka, saudara-saudaramu, yang telah gugur di medan jihad, menampakkan tanda sebagai orang-orang syahid semasa hidupnya sebelum mereka mati syahid.

Seperti apa yang terjadi pada saudara kita Abu ‘Ashim. Setiap orang yang melihat Abu ‘Ashim, maka ia akan mengetahui sinar kesyahidan pada wajahnya sebelum dia menemui kesyahidan sesungguhnya.

“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Kami) bagi orang-orang yang memperhatikan tanda-tanda.” (QS. Al-Hijr : 75)

Pancaran sinar tidak pernah lepas dari wajahnya. Senyum keikhlasan tiada pernah lepas dari kedua bibirnya. Wudhu dan cahaya tidak pernah berpisah dari kehidupannya. 1) Abu `Ashim seorang hafizh Al-Qur’an, lama tinggal di front pertempuran. Sejak dikenal oleh Ahmad Syah Mas’ud, maka ia dijadikan saudara kecintaannya dan sebagai penasehatnya dalam memecahkan persoalan, baik di waktu safar ataupun di waktu mukim (tidak bepergian). Utusan yang dikirim Ahmad Syah Mas’ud dari Pansyir menceritakan kepada kami bahwa pada malam menjelang kesyahidannya, Abu ‘Ashim telah bermimpi mati syahid. Lalu pada pagi harinya, ia mengumpulkan semua pakaiannya dan membagikannya kepada yang lain. Ia berkata kepada rekan-rekannya, ’Saya ucapkan selamat tinggal pada kalian semua, karena hari ini saya akan mati syahid’. Kemudian mujahidin mengadakan penyerangan ke salah satu markas musuh di daerah Andaroba. Dalam operasi penyerangan itu Abu `Ashim menemui kesyahidan. Dia syahid ke lima yang gugur menyusul ke empat saudaranya, ikhwan Afghan yang telah gugur mendahuluinya.

Adapun mengenai Abu ‘Uqbah, dia mati syahid oleh serangan pesawat tempur musuh yang membombardir daerah Chonari di Propinsi Kandahar. Memeng akhir-akhir  ini, pesawat musuh begitu gencar melakukan pengeboman. Mereka tidak merasa letih ataupun bosan membom warga sipil dan mujahidin serta menyusulkan para syuhada ‘ ke dalam kafilah orang-orang yang berjalan menuju ketinggian di jalan Iyyaka na’budu wa Iyyaka nasta’in.

Maka setiap datang kabar kesyahidan salah seorang ikhwan, saya memandang kecil diri saya sendiri, meremehkannya serta berkata,  “Andaikan diri saya telah mencapai tingkatan yang membuat diri saya berhak mencapai kedudukan seorang syahid, maka sesungguhnya Allah 'Azza wa Jalla pasti akan menganugerahkan kemuliaan tersebut pada saya, karena Dia memuliakan orang-orang yang mulia. Akan tetapi saya sendiri masih berada di bawah tingkatan itu.” Lalu sesudah itu saya memohon kepada Allah agar kiranya Dia tidak mencegah saya mencapai tingkatan tersebut selama waktu saya beramal di dunia dan menutup kehidupan saya dengan syahadah di jalan-Nya serta mengumpulkan saya beserta para nabi, shiddiqin, syuhada’ dan shalihin. Alangkah baiknya berteman dengan mereka!.

Adapun tentang akhi Abdurrahman Albana, dia adalah seorang insinyur Geologi. Semula dia pergi ke London untuk meneruskan studinya di sana. Kemudian dia memutuskan studinya dan kembali untuk bergabung dengan kafilah yang dipimpin oleh orang-orang shalih mengikuti jejak Sayyidul Mursalin, junjungan nabi kita Muhammad saw. Dia kembali untuk mengambil tempatnya dalam kafilah jihad.

Saya pernah bergaul lama bersamanya. Dia jarang sekali berbicara. Jika ditanya, jawaban yang keluar dari mulutnya menunjukkan dia adalah seorang yang betul-betul mengetahui ilmu syar’i, beriltizam kepada yang haq dan berjalan di atas petunjuknya.

JIHAD ALAMI

Wahai saudara-saudaraku!

Tetapilah olehmu jalan itu. Sebagaimana dalam suatu atsar disebutkan :

“Wahai Haritsah, engkau telah mengetahui(nya), maka tetaplah engkau di atasnya.”

Kalian telah mengetahui jalan itu, yakni jalan jihad, maka tetapilah ia. Kalian telah mengetahui jalan Allah, maka ikutilah jalan tersebut. Wahai saudaraku, wahai mujahid, wahai murabith, kamu telah mengetahui (jalan itu), maka tetapilah.

Akhi Abu ‘Uqbah datang dari Tunisia, akhi Abu ‘Ashim datang dari Iraq, akhi Abdurrahman Albana datang dari Mesir. Mereka semua merupakan bukti yang nyata bahwa jihad ini bukan perang satu kaum melawan satu kaum yang lain, akan tetapi jihad yang bersifat Islami dan `alami (internasional). Darah kaum muslimin yang datang dari segala arah dan dari segenap penjuru telah menorehkan sejarahnya,  menjadi saksi bagi sejarah kaum muslimin semua bahwa Dienullah bukanlah monopoli suatu kaum dan bukan pula terbatas lingkupnya pada sebidang tanah tertentu. Kebaikan ada di mana-mana, dan orang-orang yang baik bertebaran di setiap tempat di bumi. Mereka memerlukan seseorang yang bersedia menggerakkan dan meledakkan potensi kebaikan yang ada di dalam dada mereka (sebagai kekuatan dahsyat –pent.) serta mengeluarkan sumber kebaikan yang tersimpan di dasar hati mereka.

Wahai saudara-saudaraku!

Ini adalah kesaksian yang benar bahwa jihad ini Insya Allah jihad Islami. Dan ikhwan-ikhwan kita  Afghan mempunyai keutamaan dalam jihad ini karena mereka yang pertama kali memulainya. Mudah-mudahan Allah 'Azza wa Jalla membalas mereka dengan pahala yang setimpal atas budi dan jasa yang telah mereka berikan kepada kita.

Kami pernah lewat di suatu masjid yang sedang diadakan di sana majlis khusus untuk menghormati dan mendoakan delapan orang mujahid yang telah gugur sebagai syuhada’ di Propinsi Paghman. Di antara delapan orang yang mati syahid itu termasuk pula komandan  Faruq. Seorang komandan yang gagah berani, melalui dua tangannya Allah menghinakan tentara Rusia di pinggiran Propinsi Paghman dan Kabul. Dia bersama pasukannya sering menyerang tentara Rusia. Dia sendiri –menurut kata orang-orang yang dekat dengannya— telah membunuh 40 orang tentara Rusia. Pada saat menjelang kesyahidannya, komandan Faruq mengepung posisi markas tentara Rusia. Dia bertekad bulat untuk menyerang mereka dan menumpasnya. Lalu dia maju mendekati markas tentara Rusia, sejauh 5 km dari pinggiran kota Kabul. Orang-orang Rusia menjadi geram, mereka berkata, “Kita harus bisa membawa kepala Faruq, di manapun dia berada”. Maka kemudian kekuatan pasukan Rusia dikerahkan untuk mengepung pasukan Faruq.  Banyak anak buahnya yang mundur dari pos tersebut karena jumlah mereka terlalu kecil untuk mampu menghadapi pasukan Rusia yang berjumlah besar. Ketika komandan Faruq diberitahu agar mundur untuk bergabung dengan kelompok lain atau mengadakan manuver untuk menyusun siasat perang; maka dia menjawab, “Saya tidak akan mundur dari pos ini sampai tubuh saya digotong oleh orang”. Komandan Faruq terus mengadakan perlawanan sehingga berhasil memukul mundur tentara Rusia. Namun 10 menit sebelum semua tentara Rusia mundur, ada salah seorang tentara Rusia yang berada sepuluh meter dari posisinya. Dia melemparkan granat ke arahnya. Granat itu meledak dan menewaskan komandan Faruq. Akhirnya tentara Rusia maju lagi dan kembali ke markas tersebut. Mereka kembali untuk mengambil kepala komandan Faruq.

Dalam pada itu, Allah mengaburkan penglihatan tentara Rusia dan menyerupakan mayat komandan Faruq dengan mayat yang lain. Tentara Rusia memotong kepala mayat itu dengan persangkaan bahwa itu adalah kepala komandan Faruq. Lalu mereka membawa potongan kepala itu kepada komandan mereka dengan maksud menyenangkan hatinya. Padahal kepala yang mereka bawa itu bukanlah  kepala komandan Faruq. Kepala komandan Faruq sekarang –insya Allah—berada di dalam kuburnya mendapat kenikmatan yang abadi di sisi Rabbnya. Kita mohon kepada Allah mudah-mudahan Dia memperlihatkan kepada almarhum komandan Faruq, tempat duduknya di dalam surga. Sebagaiman khabar gembira yang disampaikan Rasulullah saw kepada kita semua perihal orang yang mati syahid. Kita mohon kepada Allah mudah-mudahan komandan Faruq, ketiga ikhwan kita dan ikhwan-ikhwan Afghan yang gugur dalam pertempuran, mati sebagai syuhada’.

Sekarang ini, pertempuran berkobar dengan sengit di mana-mana. Para syuhada’ berjatuhan di mana-mana. Darahnya melumuri bumi Afghanistan dengan wewangian yang harum semerbak baunya. Bau darahnya yang suci menyebarkan keharuman ke dalam hidung orang-orang yang baik, orang-orang yang tulus jiwanya dan orang-orang yang benar jalannya.

Mudah-mudahan Allah 'Azza wa Jalla berkenan mengikutkan kita dengan mereka semua di dalam surga yang penuh dengan kenikmatan bersama para nabi, para shiddiqin, para syuhada’ dan para shalihin. Alangkah baiknya berteman dengan mereka itu.

«
Next
Posting Lebih Baru
»
Previous
Posting Lama

Tidak ada komentar

Leave a Reply