Nafsu Selalu Menyuruh Berbuat Jahat
Unknown
04.17
0
Wahai kalian yang telah ridha Allah sebagai Rabb kalian,
Islam sebagai Dien kalian dan Muhammad sebagai Nabi dan Rasul kalian,
ketahuilah bahwa Allah 'Azza wa Jalla telah menurunkan di dalam Al-Qur’an :
“Dan berjihadlah
kamu di jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu
dan tiadalah sekali-kali Allah menjadikan suatu kesempitan atas kamu dalam
(urusan) agama. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim”. (QS. Al-Hajj. 78)
Kata Jihad menurut bahasa berarti mengerahkan segenap
daya dan kemampuan untuk meraih apa yang disukai Al-Haq dan menolak apa yang
dibenci Al-Haq. Sedangkan menurut istilah syar’i, kata Jihad mempunyai
pengertian : berperang serta memberi
bantuan orang yang berperang.
JIHAD ADALAH QITAL (PERANG)
Para Imam dari golongan madzhab yang empat telah bersepakat
bahwa kata jihad berarti qital (perang). Hanyasanya golongan
Hanafiyah sedikit memperluas pengertiannya. Mereka mengatakan : Jihad adalah
berdakwah kepada (Dien) Allah dan memerangi mereka yang menolak dakwah
tersebut.
Dengan demikian kata jihad menurut istilah syar’inya
adalah perang. Adapun menurut makna bahasa, kata tersebut mengandung makna yang
lebih luas. Mencakup juga pengertian bermujahadah melawan hawa nafsu,
bermujahadah melawan hasrat diri, bergulat melawan syetan, berjuang melawan
kelalaian untuk membangkitkan hati dari tidurnya dan sebagaiya.
Ada sementara orang yang selalu mendengung-dengungkan hadits
maudhu’ (palsu) yang berbunyi :
“Kita telah kembali dari jihad yang lebih kecil kepada
jihad yang lebih besar”.
Sesungguhnya perkataan ini tidak pernah diucapkan sama
sekali oleh Rasulullah saw. Perkataan ini dinukil oleh sebagian ulama salaf
dari salah seorang tabi’in yang bernama Ibrahim bin ‘Ablah. Mereka yang menukil
perkataan ini, meriwayatkan perkataan tersebut dari Isa bin Ibrahim dari Yahya
bin Ya’la dari Laits bin Aslam. Ketiga perawi ini adalah dha’if (lemah).
Dan hadits yang mereka riwayatkan dha’if menurut kesepakatan para ulama,
bahkan lemah dan mungkar (tidak dikenal).
Oleh karena itu, pengertian yang sebenarnya adalah bahwa
jihad yang terbesar adalah memerangi musuh di medan pertempuran. Adapun mereka
yang mengatakan jihad melawan musuh adalah jihad kecil, maka sebenarnya mereka
tidak mengenal medan pertempuran dan tidak mengetahui dahsyatnya peperangan.
Mereka yang hidup di bawah desingan peluru, dentuman meriam dan raungan pesawat
tempur mengetahui, itulah yang dinamakan jihad besar.
Oleh karenanya, sewaktu Rasulullah saw ditanya :
“Apakah orang yang mati syahid masih akan difitnah di
dalam kuburnya?” maka beliau menjawab, “Cukuplah kelebatan pedang di atas
kepalanya sebagai fitnah.” (HR. An-Nasa’i, lihat Shahih
Al-Jami’ Ash-Shaghir no. 4483).
Artinya : Cukuplah baginya kecemasan dan ketakutan yang
dialaminya serta musibah yang dideritanya selama berperang di medan pertempuran
itu sebagai fitnahnya. Sampai-sampai karena kebijaksanaan Allah dan
keadilan-Nya, maka Dia tidak mengulang fitnah atas orang yang mati syahid untuk
yang kedua kali. Yakni fitnah selama berperang dan fitnah pertanyaan dari
malaikat Mungkar dan Nakir.
Akan tetapi untuk mendapatkan ketinggian puncak ini, maka
seseorang harus melaksanakan faridhah jihad, harus menjinakkan dirinya dan
harus selalu mengikatkan diri dan jiwanya kpada Al-Khaliq swt.
Allah 'Azza wa Jalla berfirman :
“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang
mu'min, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka
berperang pada jalan Allah, lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah
menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan al-Qur'an. Dan
siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka
bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah
kemenangan yang besar. Mereka itu adalah orang-orang yang bertaubat, yang
beribadat, memuji (Allah), yang melawat, yang ruku', yang sujud, yang menyuruh
berbuat ma'ruf dan mencegah berbuat munkar dan yang memelihara hukum-hukum
Allah. Dan gembirakanlah orang-orang mu'min itu.” (QS. At-Taubah : 111-112)
Dimulai dengan taubat, lalu beribadah, lalu dzikir, lalu
shiyam, kemudan setelah itu akan sampai ke puncak tertinggi Islam, yakni Jihad
fie sabilillah atau perang di jalan Allah. Kemudian Allah 'Azza wa Jalla
mengambil sebagian dari orang-orang yang beriman itu sebagai syuhada’. Dan
sesungguhnya Ia hanya mengambil orang-orang yang bersih dan baik di antara
mereka. Oleh karena itu Allah 'Azza wa Jalla berfirman :
“Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu
bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya),
jika kamu orang-orang yang beriman. Jika kamu (pada perang Uhud) mendapat luka,
maka sesungguhnya kaum (kafir) itupun (pada perang Badar) mendapat luka yang
serupa. Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu, Kami pergilirkan di antara
manusia (agar mereka mendapat pelajaran); dan supaya Allah membedakan
orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) dan supaya sebagian kamu
dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada. Dan Allah tidak menyukai orang-orang
yang zalim.” (QS. Ali Imran : 139-140)
Syahadah (mati syahid) itu merupakan pilihan dan saringan.
Pilihan dari Pencipta makhluk, Rabb pemilik bumi dan langit, yang mengetahui
rahasia yang nampak dan yang tersembunyi. Dia tidak memilih kecuali orang-orang
yang memang berhak mendapatkan kedudukan ini. Dan tiada yang dapat mendaki ke
sana kecuali orang-orang yang berhak mencapai puncak ketinggian itu. Dan
seseorang dapat mencapai kedudukan itu hanya berkat anugerah dan karunia dari
Allah.
Sekali lagi, untuk mencapai kedudukan sebagai mujahid dan
untuk merengkuh syahadah, maka seseorang harus menjinakkan dirinya, mendidiknya
serta melatihnya, sehingga ia mampu bertahan di atas jalan yang panjang dan
terang ini, jalan yang sulit penuh dengan onak dan duri dan bersimbah darah di
sana sini. Maka dari itu, siapa saja yang berkeinginan mengaruni jalan yang
penuh bara api dan duri ini, maka hendaklah ia melatih dirinya untuk sabar
menanggung segala macam musibah dan menahan segala kesulitan yang dialaminya.
HALANGAN DAN RINTANGAN
Diri seseorang merupakan perintangan pertama bagi mereka
yang hendak melangkah di jalan yang mendaki ini. Sebagaimana ucapan Ibnul
Qoyyim rhm. “Ketahuilah bahwa diri itu merupakan gunung besar yang merintangi
jalan mereka yang melangkah menuju keridloan Allah. Tidak mungkin seseorang
bisa menempuh jalan tersebut sebelum ia melewati gunung yang besar itu”.
Jalan yang mendaki dan sulit ini… gunung yang besar ini,
disertai pula dengan lembah-lembah, bukit-bukit dan jurang-jurang yang dalam. Syetan
berdiri di atas puncaknya dan memperingatkan dengan maksud menakut-nakuti orang
yang berusaha untuk mendaki puncak ketinggian tersebut. Perintang yang
datangnya dari diri sendiri ini harus kamu lewati sehingga kamu sampai ke jalan
Allah yang aman. Jalan keselamatan yang diterangi oleh wajah Allah swt.
Maka dari itu kamu harus mendaki gunung ini. Setiap mana
seorang muslim mencoba untuk menaikinya, maka syetan meneriakinya, hawa nafsu
menariknya, syahwat melemahkan kemauannya. Semua bermaksud untuk melengketkan
ke bumi, meski orang tersebut adalah ulama besar. Maka dari itu harus
melepaskan dirinya dari segala macam keterikatan, dari segala macam ikatan dan
belenggu sehingga tubuhnya menjadi enteng dan dapat mendaki puncak yang tinggi
itu. Apabila ia berhasil mendaki puncak itu, maka ia akan menemukan jalan yang
aman, seperti yang difirmankan Allah Azza Wa Jalla:
(kht)
“Allah menyeru (manusia) ke negeri keselamatan (surga),
dan menunjuki orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus”. (QS. Yunus:
25)
Dan ia adalah jalan yang diterangi dengan cahaya,lurus,
aman, lagi menjamin keselamatan. Yaitu sesudah mana seseorang berhasil melewati
rintangan besar yang menghadangnya. Rintangan itu adalah hawa nafsu yang selalu
mendorong berbuat jahat.
SEBAB YANG MENARIK MANUSIA KEPADA KEHIDUPAN DUNIA
Pertama: Kebodohan
Sebenarnya banyak sekali faktor yang membantu nafsu (yang
selalu mendorong berbuat jahat) untuk mengikat pemiliknya kepada kehidupan
dunia. Diantara yang utama adalah “kebodohan”. Kebodohan adalah kubangan yang
busuk baunya, mengikat setiap yang mempunyai hawa nafsu dengan kebusukannya
sehingga iapun tenggelam dan menyelam dalam lumpurnya yang berbau busuk.
Kebodohan merupakan faktor terbesar yang merintangi
perjalanan seseorang kepada Allah Azza Wa Jalla. Merintangi kaki dari belenggu
yang mengikatnya. Merintangi ruh yang akan melepaskan diri dari belenggunya.
Kebodohan, apabila telah menimpa diri seseorang, maka terkadang akan membuatnya
mengingkari adanya matahari meskipun ia melihat di siang hari bolong.
“Kalau sekiranya Kami turunkan malaikat kepada mereka dan
orang-orang yang telah mati berbicara dengan mereka dan kami kumpulkan (pula)
segala sesuatu ke hadapan mereka (1) niscaya mereka juga tidak beriman, kecuali
jika Allah menghendaki. Tetapi kebanyakan mereka tidak mengerti (bodoh)”. (QS.
Al An-aam : 111)
(1) Maksudnya : untuk menjadi saksi bahwa Muhammad adalah
Rasulullah.
Andaikata orang-orang yang telah mati berbicara dengan
mereka, para malaikat datang, dan seluruh binatang liar datang serta berbicara
kepada mereka; tetap saja mereka tidak beriman. Penyebabnya adalah kebodohan (akan
tetapi kebanyakan mereka tidak mengerti).
Bodoh disini bukan berarti kurang pengetahuan, akan tetapi
“tidak mengerti”. Orang yang mengetahui tentang Allah adalah yang takut dan
bertaqwa kepada Nya. Sebagaimana firman Allah :
“Apakah kamu hai orang-orang musyrik yang lebih beruntung
ataukah orang yang beribadah di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri,
sedangkan ia takut kepada (adzab) akherat dan mengharap rahmat Rabbnya?
Katakanlah, “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang
tidak mengetahui ? “Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima
pelajaran (QS. Az Zumar : 9)
Orang yang beribadah, berdiri sholat sepanjang malam,
mengharap surga yang dijanjikan Rabbnya, takut terhadap adzab Nya; adalah
orang-orang yang dikatakan `alim (berilmu/mengetahui).
Ibnu Mas`ud r.a.
berkata,
” Bukanlah yang dinamakan ilmu itu dengan banyaknya
riwayat (yang dihafalkan), tetapi ilmu adalah sesuatu yang mendatangkan rasa
takut”.
Mari kita simak bersama perkataan nabi Yusuf As,
“ Dan jika engkau tidak dihindarkan dari padaku tipu daya
mereka, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah
aku akan menjadi diantara orang-orang yang bodoh”. (QS. Yusuf : 33)
Yusuf mengetahui bahwa zina adalah perbuatan keji dan suatu
kemaksiatan yang besar. Namun demikian, pengetahuan nabi Yusuf akan kekejian
perbuatan tersebut tidak menafikan predikat bodoh andaikan ia terjerumus ke
dalamnya. Jadi kebodohan adalah rintangan yang paling besar yang menghadang di
depan jalan mendaki dari gunung yang dinamakan’Hawa nafsu yang selalu mendorong
berbuat jahat’.
Oleh karenanya, Nabi Musa As menjawab perkataan kaumnya
ketika ia menyuruh kepada mereka menyembelih sapi betina dan mereka mengatakan,
“Adakah engkau akan menjadikan kami bahan olok-olokan?”.
“Aku berlindung kepada Allah menjadi diantara golongan
orang-orang yang bodoh
(QS. Al Baqarah : 62)
Beliau tidak menjawab dengan ucapan, “Aku berlindung kepada
Allah menjadi diantara golongan orang-orang yang mencemooh”.
Oleh karena kebodohan lebih besar bala`nya daripada mencemooh. Bodoh terhadap Allah sebab yang
menjadikan seseorang mencemooh dan memperolok-olok yang lain.
“Dan mereka tidak menghormati Allah dengan penghormatan
yang semestinya dikala mereka berkata, “Allah tidak menaruhkan sesuatu kepada
manusia”. (QS. Al An `aam : 91)
Sikap tidak menghormati Allah serta tidak mengagungkan Nya
adalah yang dinamakan jahil/bodoh terhadap Allah `Azza Wa Jalla. Ma`rifat atau
pengetahuan tidak menafikan kebodohan. Kadang ma`rifat dan kebodohan bertemu
dalam diri seseorang, ilmu adalah lawan dari kebodohan. Dan ilmu itu sendiri
adalah rasa takut. Boleh jadi seseorang banyak mengetahui sesuatu dan banyak
mengerti sesuatu, akan tetapi sebenarnya ia tidak mengetahui kecuali sedikit
saja.
“Aliif lam miim. Telah dikalahkan bangsa Romawi. Di negeri yang terdekat (1) dan sesudah mereka dikalahkan itu akan menang, dalam beberapa tahun (lagi). Bagi Allah-lah urusan sebelum dan sesudah (mereka menang). Dan di hari (kemenangan bangsa Rumawi) itu bergembiralah orang-orang yang beriman, karena pertolongan Allah.Dia menolong siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Dialah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. (sebagai) janji yang sebenar-benarnya dari Allah. Allah tidak akan menyalahi janji-Nya, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia; sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai.” (QS. Ar-Ruum : 1-7)
“Aliif lam miim. Telah dikalahkan bangsa Romawi. Di negeri yang terdekat (1) dan sesudah mereka dikalahkan itu akan menang, dalam beberapa tahun (lagi). Bagi Allah-lah urusan sebelum dan sesudah (mereka menang). Dan di hari (kemenangan bangsa Rumawi) itu bergembiralah orang-orang yang beriman, karena pertolongan Allah.Dia menolong siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Dialah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. (sebagai) janji yang sebenar-benarnya dari Allah. Allah tidak akan menyalahi janji-Nya, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia; sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai.” (QS. Ar-Ruum : 1-7)
Mereka mengetahui seluk beluk dan rahasia atom, putaran elektron, kapal
terbang, kapal perang, jet-jet tempur serta teknologi tinggi yang lain. Mereka
mengetahui itu, akan tetapi mereka lalai terhadap kehidupan akhirat. Maka dari
itu mereka dikatakan kaum yang tidak mengetahui.
Oleh karena itu para ulama berkata, “Orang yang berolok-olok atau bersenda
gurau dengan ayat Al-Qur’an adalah fasik”. Dan sebagian dari mereka berpedapat
kufur.
Misalnya ada sekumpulan orang yang sedang menghadapi jamuan makanan. Lalu
salah seorang dari mereka maju untuk mengambil makanan seraya berkata, “Wa
nasafnal jibaala nasfaa, artinya : “Dan kami hancurkan gunung-gunung itu
sehancur-hancurnya.” Maka perbuatan seperti itu tergolong perbuatan fasik menurut
jumhur ulama, dan kufur menurut sebagian di antara mereka. Sebab ayat Al-Qur’an
adalah firman Allah, bukan untuk bahan olok-olokan ataupun senda gurau.
“Katakanlah,“Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan
Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok? Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu
kafir sesudah beriman.” (QS. At-Taubah : 65-66)
Maka dari itu, waspadalah dari persoalan ini. Kalian
jangan menjadikan hadits-hadtis Nabi dan ayat-ayat Al-Qur’an sebagai bahan
untuk melucu dan menghibur agar orang-orang tertawa dan senang. Kalian harus
berhati-hati dan tetap mengagungkan Allah, karena Dia adalah Dzat yang Maha
Perkasa, Maha Agung, Maha Suci dan Maha Luhur.
Maka dari itu, ketika Rasulullah saw merasa bersedih hati atas berpalingnya
kaum beliau dan berduka melihat jalan yang mereka tempuh, maka Allah menegurnya
:
“Dan jika berpalingnya mereka (darimu) terasa amat berat bagimu, maka
jika kamu dapat melihat lobang di bumi atau tangga ke langit lalu kamu dapat
mendatangkan mu'jizat kepada mereka, (maka buatlah). Kalau Allah menghendaki
tentu saja Allah menjadikan mereka semua dalam petunjuk, sebab itu janganlah
kamu sekali-kali termasuk orang-orang yang jahil.” (QS. Al-An’am : 35)
Kalau mau membicarakan soal kebodohan, maka pembahasannya akan sangat panjang.
Adapun cara terbaik untuk menghadapi orang-orang bodoh adalah berpaling dari
mereka. Sebab jika kamu berdebat dengan mereka, maka mereka akan mengalahkanmu
–dengan kengototan mereka--. Dan jika kamu dapat mengalahkan mereka, maka
mereka akan membencimu. Dan mereka tidak akan mau mengakui kebenaranmu. Maka
jalan yang terbaik adalah berpaling dari mereka.
“Maka berpalinglah engkau (wahai Muhammad) dari orang
yang berpaling dari peringatan Kami.” (QS. An-Najm : 29)
Dan….
“Maka maafkanlah (mereka) dengan cara yang baik.” (QS.
Al-Hijr : 85)
Berpalinglah kamu dari mereka dan jangan berdebat dengan mereka. Oleh
karena perdebatan itu hanya akan menambah kecongkaan mereka. Imam Asy-Syafi’i
pernah mengatakan, “Tiadalah aku berdebat dengan orang-orang yang bodoh melainkan
ia akan mengalahkanku. Dan tiadalah aku berdebat dengan orang yang pandai
melalinkan aku akan dapat mengalahkannya.”
Tentu saja karena orang bodoh terkadang mengingkari –seperti pernah saya
katakan—cahaya matahari yang bersinar di siang hari bolong dan cahaya rembulan
pada saat purnama.
Maka biarkanlah orang-orang bodoh itu. Mereka akan mati jika kalian
tinggalkan. Dan akan hidup jika kalian
ajak mereka berdebat. Mudah-mudahan dengan jalan meninggalkan mereka, maka
mereka akan tercegah berlaku sombong dan congkak. Dengan menjauhkan diri dan
meninggalkan berdebat dengan mereka, maka mereka akan mengerti kedudukan mereka
sendiri. Ini jika kamu merasa pasti bahwa dia adalah seorang yang bodoh,
mengikuti hawa nafsunya sendiri, tidak mau mengakui kebenaran dan tidak mau
mengikuti sesuatu yang telah pasti kebenarannya.
Kedua: Lalai
Sifat lalai menyebabkan orang terjerumus ke dalam neraka.
Allah Ta’ala berfirman :
“Sesungguhnya orang yang tidak mengharapkan (tidak percaya akan)
pertemuan dengan Kami, dan merasa puas dengan kehidupan di dunia serta merasa
tenteram dengan kehidupan itu dan orang-orang yang melalaikan ayat-ayat kami,
mereka itu tempatnya ialah neraka, disebabkan apa yang selalu mereka
kerjakan.” (QS. Yunus : 7-8)
Lalai menyebabkan seseorang berpaling, menyebabkan seseorang menyikapi
peringatan ayat-ayat Allah dengan senda gurau :
“Telah dekat kepada manusia hari menghisab segala amalan mereka, sedang
mereka berada dalam kelalaian lagi berpaling (daripadanya). Tidak datang kepada
mereka suatu ayat al-Qur'an pun yang baru (diturunkan) dari Rabb mereka,
melainkan mereka mendengarnya, sedang mereka bermain-main, (lagi)hati mereka
dalam keadaan lalai. Dan mereka yang zalim itu merahasiakan pembicaraan mereka,
‘Orang ini tidak lain hanyalah seorang manusia (jua) seperti kamu, maka apakah
kamu menerima sihir itu, padahal kamu menyaksikannya." (QS. Al-Anbiya’ :
1-3)
Kamu mendatanginya dengan membawa berita yang sangat penting dan dengan
perkataan yang serius. Kamu ceritakan kepadanya tentang berbagai pertempuran
yang membuat agama Islam menghadapi dua pilihan : lenyap atau terus bertahan.
Kamu ceritakan kepadanya tentang pertempuran yang sangat dahsyat dan
membinasakan. Membinasakan anak manusia sebagaimana halnya batu penggiling
menumbuk halus bulir padi. Namun demikian dia lalai dan tidak begitu
mengacuhkan. Sambutan yang diberikannya padamu hanyalah senyum hampa atau
mengatakan padamu, ‘Saya telah mendengar cerita mereka, bahwasanya mereka telah
melakukan begini dan begitu. Saya tidak punya waktu untuk mendengar pembicaraan
mengenal kaum itu.’
Dia sibuk mengumpulkan uang dan menghitung-hitungnya, dia sibuk dengan
berbagai macam buah-buahan yang hendak dimakannya dan berbagai macam jenis
minuman yang hendak ditenggaknya. Kamu datang kepadanya untuk mengekang hawa
nafsunya, untuk menyadarkannya sedikit dari kelalaian yang menghinggapi dirinya
dari ujung kaki sampai puncak kepala. Kamu hendak mengalihkan sedikit
perhatiannya dari tumpukan uang yang selalu dihitung-hitungnya dan dari dunia
yang ia jadikan tempat bersenang-senang, dan dari kehidupannya yang ia jadikan
sebagai senda gurau dan main-main belaka. Kehidupan dunia telah menipunya. Dia
tidak punya waktu sedikitpun untuk mendengar perkataan yang bermanfaat bagi
kehidupannya di dunia dan di akhirat.
KITA LEBIH BERHAK TERHADAP PENGGUNAAN WAKTU
Ada beberapa orang bertanya pada Piccaso 1) : “Berapa jam anda tidur dalam
sehari?” “Empat jam.” Jawabnya. “Apakah empat jam cukup bagi anda?” Tanya
mereka. Piccaso menjawab, “Kalian ingin saya tidur delapan jam sehari hingga
sepertiga kehidupan saya terbuang sia-sia untuk tidur? Kapan saya bisa
memuaskan kesenangan saya dan menyalurkan hobby serta bakat saya? Saya hanya
tidur empat jam sehari.”
1) Piccaso
adalah pelukis terkenal dari Spanyol
Siapa yang lebih berhak terhadap waktu? Kalian ataukah mereka?. Kalian yang
berdiri shalat menghadap Rabbul Alamin atau mengikuti jejak Syahidul
Mursalin saw dalam keadaan lapang dan sempit, di malam yang gelap gulita
dan di siang yang terang oleh cahaya mentari, ataukah mereka yang berlaku
sombong yang tidak mau tidur delapan jam sehari supaya kesenangan dan keinginan
mereka dapat terpenuhi dan tersalurkan?
Kita diperintahkan untuk menghentikan persahabatan dengan kaum yang lalai
itu. Kita diperintahkan untuk menghentikan pembicaraan dengan mereka. Kita
boleh memberikan kepada mereka sedikit senyuman, sedikit akhlak dan
mu’amalah/perhubungan baik kita. Tetapi kita tidak boleh membuang-buang waktu
kita bersama mereka. Kita tidak boleh menyatukan suatu pendapat apapun dengan
mereka.
“Dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah
Kami lalaikan dari mengikuti Kami serta memperturutkan hawa nafsunya dan adalah
urusannya itu melewati batas.” (QS. Al-Kahfi : 28)
Kata “Janganlah kamu mengikuti” dalam ayat ini adalah larangan, sedangkan
larangan di situ menunjukkan keharaman.
Adalah urusannya kalau dia melampaui batas, oleh karena mengikuti hawa
nafsu serta kelalaian hanya akan membawa cerai berainya urusan, lepasnya ikatan
di antara manusia, hilangnya pemikiran yang sehat dan lenyapnya logika yang
benar.
Ketiga: Hawa Nafsu
Hawa nafsu adalah kecenderungan manusia untuk memperturutkan
syahwat/keinginannya. Hawa nafsu lawannya adalah kebenaran. Allah adalah Dzat yang Maha Benar, Dia
menciptakan langit dan bumi dengan alasan yang benar. Firman-Nya :
“Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah
langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya. Sebenarnya Kami telah
mendatangkan kepada mereka kebanggaan mereka tetapi mereka berpaling dari
kebanggaan itu.” (QS. Al-Mukminun : 71)
Hawa nafsu akan membuat seseorang berlaku zhalim dan kezhaliman itu membuat
seseorang tersesat dari jalan yang benar.
“Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka
bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan
Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab
yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.” (QS. Shaad : 26)
“Wahai orang-orang yang beriman,
jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena
Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika
ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatan. Maka janganlah kamu
mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu
memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah
adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.” (QS. An-Nisa’ : 135)
Hawa nafsu akan selalu menjauhi keadilan, sedangkan kebenaran akan selalu
diikuti keadilan.
Karena itulah hawa nafsu –dalam bahasa Arabnya—“Hawa”(tulis arab!!)
yang berarti jauh dari tempat ketinggian ke tempat yang rendah. Oleh karena itu
ia menjatuhkan orang yang mengikuti hawa nafsunya dari ketinggian ke tempat
yang rendah. Maka orang yang mengikuti hawa nafsu adalah orang yang merosot dan
jatuh bersama hawa nafsu, kelalaian dan kebodohannya ke tempat
serendah-rendahnya di dunia dan akhirat, di mana ruhnya jatuh ke neraka Sijjil.
Terkadang hawa nafsu bisa membesar dalam diri seseorang sehingga orang
tersebut tidak menentang kemungkaran yang dilihatnya dan tidak mengikuti
kebaikan yang telah diyakininya. Bahkan bisa menjadi lebih besar lagi sehingga
ia melihat yang mungkar menjadi ma’ruf dan ma’ruf menjadi mungkar.
“Dan apabila mereka melihat kamu (Muhammad), mereka hanyalah menjadikan
kamu sebagai ejekan (dengan mengatakan), ‘Inikah orangnya yang diutus Allah
sebagai Rasul? Sesungguhnya hampirlah ia menyesatkan kita dari
sembahan-sembahan kita, seandainya kita tidak sabar (menyembah)nya’. Dan mereka
kelak akan mengetahui di saat mereka melihat azab, siapa yang paling sesat
jalannya. Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya
sebagai ilahnya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya? atau apakah
kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. Mereka itu
tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat
jalannya (dari binatang ternak itu).” (QS. Al-Furqan : 41-44).
Hawa nafsulah yang menjadikan seseorang cenderung kepada dunia dan
kemewahannya. Dan hawa nafsu pula yang menurunkan kedudukan ulama’ dari
tingkatan di bawah para nabi, yakni tingkatan para shiddiqin ke tingkat seekor
anjing.
“Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan
kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi Al-Kitab), kemudian dia
melepaskan diri dari pada ayat-ayat itu, lalu dia diikuti oleh syaitan (sampai
dia tergoda), maka jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat. Dan kalau Kami
menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu,
tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah,
maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya
dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya (juga). Demikian itulah
perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah
(kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir.” (QS. Al-A’raf :
175-176).
Seperti anjing yang tiada henti-hentinya menjulurkan lidahnya, sama saja di
saat dia istirahat ataupun tengah kecapaian. Sungguh alangkah indah dan
mengenanya penyerupaan dan penggambaran yang dilukiskan Allah melalui
firman-Nya.
Di dalam kitab-kitab tafsir diterangkan bahwa ayat di atas mengisahkan
tentang seorang laki-laki Bani Isra’il yang bernama Bal’am bin Ba’ura’.
Dahulunya ia adalah seorang yang sangat alim dan sangat mustajab do’anya.
Ketika tentara Musa a.s. datang untuk menggempur kaum lalim yang bermukim di
Palestina, maka kaumnya datang dan menemui serta membujuknya, ’Berdo’alah
kepada Allah untuk membinasakan Musa dan pengikutnya’. Maka lelaki ini
menyanggupi permintaan kaumnya karena tamak terhadap dunia mereka. Lalu
lidahnya menjulur ke dada dan ia meninggalkan ayat-ayat Allah. Maka jadilah ia
seperti anjing, jika dihalau, lidahnya menjulur dan jika dibiarkan lidahnya
tetap menjulur.
Keempat: Syahwat (Ambisi)
Sebab keempat yang menyebabkan diri manusia bertindak durhaka dan melampaui
batas adalah syahwat. Syahwat menarik diri manusia untuk melakukan apa saja
yang diinginkannya. Syahwat yang pertama adalah berlaku sombong di muka bumi.
Yang menjadikan kebenaran seperti kebatilan dan menjadikan kebatilan seperti
kebenaran. Orang-orang yang berlaku sombong di muka bumi tidak akan masuk
surga.
“Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin
menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) bumi. Dan kesudahan (yang
baik) itu adalah bagi orang-orang yang bertaqwa.” (QS. Al-Qashash : 83).
Pembahasan tentang masalah ini sangat panjang sekali. Saya mohon kepada
Allah swt, mudah-mudahan Dia memberikan kepada kita barakah waktu dan
kesempatan untuk berjumpa lagi sehingga saya dapat memperinci dan menerangkan
masalah-masalah tersebut secara mendetail.
Saya cukupkan sampai di sini dahulu dan akhirnya saya mohon ampunan kepada
Allah untuk diri saya dan diri kalian.
BAH KEDUA
(Tulis
arabnya saja!!)
Alhamdulillah, tsummal alhamdulillah, wash-shalaatu was salaamu ‘alaa
rasuulillahi sayyidinaa Muhammadin ibni ‘Abdillah, wa ‘alaa aalihi wa shahbihi
wa man waalaah, Segala puji bagi Allah, kemudian segala puji bagi Allah.
Kesejahteraan dan keselamatan, mudah-mudahan dilimpahkan kepada Rasulullah,
junjungankita Muhammad bin Abdullah, serta kepada keluarga, sahabat dan
orang-orang yang mengikutinya.
Wahai saudara-saudaraku!
Kemarin saya menerima berita syahidnya salah seorang ikhwan kita, yang
bernama Abu ‘Uqbah dari Tunisia. Saya mengenal dekat akhi Abu ‘Uqbah, karena saya
pernah hidup bersamanya beberapa waktu lamanya, khususnya pada bulan Ramadhan
yang lewat. Dia adalah syahid yang kelima belas dari ikhwan Arab, yang pergi
melalui Maktab ini.
Saya telah memperhatikan dan kemudian saya merasa yakin bahwa sesungguhnya
Allah akan mengambil sebagian di antara kami yang berjihad menjadi syuhada’.
Ada tabi’at umum dan ciri khusus yang dimiliki orang-orang yang mati syahid
semasa hidupnya. Yakni, selamat (bersih) dadanya dari perasaan negatif terhadap
kaum muslimin (salamatus shadr), tidak mau bersenda gurau dan banyak
berbuat dengan anggota badannya.
Dan pada bulan Ramadhan yang lewat, ikhwan kita
Abdurrahman Albana dari Mesir juga telah mati syahid. Dan sebelum mereka berdua
juga telah mati syahid ikhwan kita Abdul Wahhab, Su’ud Al-Bahri, Abu Hamzah dan
Abu ‘Utsman. Semua dari mereka yang saya lihat memiliki sifat khusus yang sama.
Yakni : bersih hatinya, keikhlasan membuat mereka menahan lisan, menggunakan
anggota badan untuk beramal dan tidak banyak berbicara.
Seingat saya, saya tidak pernah mendengar perkataan yang keluar dari mulut
Abu ‘Uqbah sepanjang bulan Ramadhan. Dia lebih banyak bekerja dengan anggota
badannya bukan dengan mulutnya. Demikian pula dengan ikhwan kita Abdurrahman
yang mati syahid sebelumnya. Dia seorang pendiam akan tetapi …
Diam, kalau sudah berbicara mengeluarkan api dan darah.
Katakan pada orang yang mencela diamnya,
orang bijak itu diciptakan tak banyak bicara.
Mereka yang telah diambil Allah 'Azza wa Jalla sebagai syuhada’ mengetahui
bahwa surga bukanlah barang yang rendah/kecil nilainya, yang bisa ditaksir
harganya oleh orang-orang yang tak berharta, dan bukan pula harta benda yang
cepat lenyap lagi murah dan dapat dibeli manusia dengan cara kredit.
Sesungguhnya surga itu mempunyai harga tersendiri. Harga yang pertama kali
harus diberikan adalah membersihkan dada (hati) dan menjaga lisan, khususnya
terhadap saudaranya sesama muslim.
Jika saya lupa tentang banyak hal, maka saya tidak akan lupa dengan ikhwan
kita yang tercinta –Abu ‘Uqbah--. Yang berita kesyahidannya datang dari
Pansyir. Dia seorang hafizh Al-Qur’an. Pada bulan Ramadhan tahun lalu, dia
sering mengumandangkan tilawahnya di Kamp Shada. Ketika dia membaca Al-Qur’an, maka
tergeraklah hati orang-orang yang mendengarnya, seakan-akan mereka mendengar
suara Al-Qur’an yang turun dari langit, lunak dan lembut. Suaranya merdu,
wajahnya bersinar dan elok, lesannya pendek (tak banyak bicara) kecuali dalam
pembicaraan yang baik dan bermanfaat, serta cepat kaki ringan tangan. Saya tak
pernah mendengar salah seorang di antara mereka –semasa hidupnya— mengucapkan
perkataan yang melukai perasaan atau mefitnah, atau mencela kehormatan, atau
mencaci saudara-saudaranya muslim.
SIAPA YANG INGIN MASUK SURGA?
Siapa yang ingin masuk surga, maka hendaklah ia menyelamatkan/membersihkan
isi dadanya dan menjaga lesannya. Pernah selama tiga hari Rasulullah saw
mengulang-ulang perkataan: ((Seorang laki-laki ahli surga datang menghampiri
kalian—Dalam satu riwayat dikatakan bahwa lelaki yang dimaksudkan Rasulullah
saw itu adalah Sa’ad bin Abi Waqqash—Lalu salah seorang putra sahabat
mengikutinya dan ikut tidur di rumahnya semalam atau dua malam. Dia menyaksikan
ibadah lelaki tersebut. Kemudian setelah itu dia berkata, “Demi Allah
sesungguhnya Rasulullah saw tidak akan berdusta. Selama tiga hari dia
mengatakan, “Seorang laki-laki ahli surga datang menghampiri kalian.” Lalu aku
menyelidikimu dan nyatanya aku tidak melihat kelebihan dalam ibadahmu, ataupun
panjang (lama) shalat tahajudmu.” Lalu lelaki tersebut berkata, “Wahai
saudaraku, memang aku tidak mempunyai kelebihan dalam ibadah. Hanya aku berusaha untuk tidak bermalam, sementara
ada sesuatu (yang mengganjal) di dalam dadaku terhadap salah seorang di antara
kaum muslimin.”
Wahai saudara-saudaraku!
Luruskanlah hatimu; murnikanlah niatmu; dan berprasangka baiklah kamu
terhadap manusia, niscaya kamu akan dimasukkan ke dalam surga yang tinggi.
Wahai saudara-saudaraku! ….
Surga harus dicapai dengan amalan. Dan amalan yang paling utama untuk
mencapai surga adalah jihad. Akan tetapi jihad tanpa disertai tarbiyatun
nafs (pembinaan diri), tanpa disertai tarwidhur ruuh (pendidikan
ruhani) dan tanpa disertai dengan sillah billahi (penghubungan diri
kepada Allah), maka natijah (hasil) akhirnya dipersangsikan –apakah
berakhir dengan baik atau sebaliknya— seandainya Rabbul ‘Izzati tidak
menolongnya dengan memberikan rahmat, ridha dan anugerah-Nya kepadanya.
Wahai saudara-saudaraku!
Mereka, saudara-saudaramu, yang telah gugur di medan jihad, menampakkan
tanda sebagai orang-orang syahid semasa hidupnya sebelum mereka mati syahid.
Seperti apa yang terjadi pada saudara kita Abu ‘Ashim. Setiap orang yang
melihat Abu ‘Ashim, maka ia akan mengetahui sinar kesyahidan pada wajahnya
sebelum dia menemui kesyahidan sesungguhnya.
“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda
(kekuasaan Kami) bagi orang-orang yang memperhatikan tanda-tanda.” (QS. Al-Hijr
: 75)
Pancaran sinar tidak pernah lepas dari wajahnya. Senyum keikhlasan tiada
pernah lepas dari kedua bibirnya. Wudhu dan cahaya tidak pernah berpisah dari
kehidupannya. 1) Abu `Ashim seorang hafizh Al-Qur’an, lama tinggal di front
pertempuran. Sejak dikenal oleh Ahmad Syah Mas’ud, maka ia dijadikan saudara
kecintaannya dan sebagai penasehatnya dalam memecahkan persoalan, baik di waktu
safar ataupun di waktu mukim (tidak bepergian). Utusan yang dikirim Ahmad Syah
Mas’ud dari Pansyir menceritakan kepada kami bahwa pada malam menjelang
kesyahidannya, Abu ‘Ashim telah bermimpi mati syahid. Lalu pada pagi harinya,
ia mengumpulkan semua pakaiannya dan membagikannya kepada yang lain. Ia berkata
kepada rekan-rekannya, ’Saya ucapkan selamat tinggal pada kalian semua, karena
hari ini saya akan mati syahid’. Kemudian mujahidin mengadakan penyerangan ke
salah satu markas musuh di daerah Andaroba. Dalam operasi penyerangan itu Abu
`Ashim menemui kesyahidan. Dia syahid ke lima yang gugur menyusul ke empat
saudaranya, ikhwan Afghan yang telah gugur mendahuluinya.
Adapun mengenai Abu ‘Uqbah, dia mati syahid oleh serangan pesawat tempur
musuh yang membombardir daerah Chonari di Propinsi Kandahar. Memeng
akhir-akhir ini, pesawat musuh begitu
gencar melakukan pengeboman. Mereka tidak merasa letih ataupun bosan membom
warga sipil dan mujahidin serta menyusulkan para syuhada ‘ ke dalam kafilah orang-orang
yang berjalan menuju ketinggian di jalan Iyyaka na’budu wa Iyyaka nasta’in.
Maka setiap datang kabar kesyahidan salah seorang ikhwan,
saya memandang kecil diri saya sendiri, meremehkannya serta berkata, “Andaikan diri saya telah mencapai tingkatan
yang membuat diri saya berhak mencapai kedudukan seorang syahid, maka
sesungguhnya Allah 'Azza wa Jalla pasti akan menganugerahkan kemuliaan tersebut
pada saya, karena Dia memuliakan orang-orang yang mulia. Akan tetapi saya
sendiri masih berada di bawah tingkatan itu.” Lalu sesudah itu saya memohon
kepada Allah agar kiranya Dia tidak mencegah saya mencapai tingkatan tersebut
selama waktu saya beramal di dunia dan menutup kehidupan saya dengan syahadah
di jalan-Nya serta mengumpulkan saya beserta para nabi, shiddiqin, syuhada’ dan
shalihin. Alangkah baiknya berteman dengan mereka!.
Adapun tentang akhi Abdurrahman Albana, dia adalah seorang insinyur
Geologi. Semula dia pergi ke London untuk meneruskan studinya di sana. Kemudian
dia memutuskan studinya dan kembali untuk bergabung dengan kafilah yang
dipimpin oleh orang-orang shalih mengikuti jejak Sayyidul Mursalin, junjungan
nabi kita Muhammad saw. Dia kembali untuk mengambil tempatnya dalam kafilah
jihad.
Saya pernah bergaul lama bersamanya. Dia jarang sekali berbicara. Jika
ditanya, jawaban yang keluar dari mulutnya menunjukkan dia adalah seorang yang
betul-betul mengetahui ilmu syar’i, beriltizam kepada yang haq dan berjalan di
atas petunjuknya.
JIHAD ALAMI
Wahai saudara-saudaraku!
Tetapilah olehmu jalan itu. Sebagaimana dalam suatu atsar disebutkan :
“Wahai Haritsah, engkau telah mengetahui(nya), maka
tetaplah engkau di atasnya.”
Kalian telah mengetahui jalan itu, yakni jalan jihad, maka tetapilah ia.
Kalian telah mengetahui jalan Allah, maka ikutilah jalan tersebut. Wahai
saudaraku, wahai mujahid, wahai murabith, kamu telah mengetahui (jalan itu),
maka tetapilah.
Akhi Abu ‘Uqbah datang dari Tunisia, akhi Abu ‘Ashim datang dari Iraq, akhi
Abdurrahman Albana datang dari Mesir. Mereka semua merupakan bukti yang nyata
bahwa jihad ini bukan perang satu kaum melawan satu kaum yang lain, akan tetapi
jihad yang bersifat Islami dan `alami (internasional). Darah kaum muslimin yang
datang dari segala arah dan dari segenap penjuru telah menorehkan sejarahnya, menjadi saksi bagi sejarah kaum muslimin
semua bahwa Dienullah bukanlah monopoli suatu kaum dan bukan pula terbatas
lingkupnya pada sebidang tanah tertentu. Kebaikan ada di mana-mana, dan
orang-orang yang baik bertebaran di setiap tempat di bumi. Mereka memerlukan
seseorang yang bersedia menggerakkan dan meledakkan potensi kebaikan yang ada
di dalam dada mereka (sebagai kekuatan dahsyat –pent.) serta mengeluarkan
sumber kebaikan yang tersimpan di dasar hati mereka.
Wahai saudara-saudaraku!
Ini adalah kesaksian yang benar bahwa jihad ini Insya Allah jihad
Islami. Dan ikhwan-ikhwan kita Afghan
mempunyai keutamaan dalam jihad ini karena mereka yang pertama kali memulainya.
Mudah-mudahan Allah 'Azza wa Jalla membalas mereka dengan pahala yang setimpal
atas budi dan jasa yang telah mereka berikan kepada kita.
Kami pernah lewat di suatu masjid yang sedang diadakan di sana majlis
khusus untuk menghormati dan mendoakan delapan orang mujahid yang telah gugur
sebagai syuhada’ di Propinsi Paghman. Di antara delapan orang yang mati syahid
itu termasuk pula komandan Faruq.
Seorang komandan yang gagah berani, melalui dua tangannya Allah menghinakan
tentara Rusia di pinggiran Propinsi Paghman dan Kabul. Dia bersama pasukannya
sering menyerang tentara Rusia. Dia sendiri –menurut kata orang-orang yang
dekat dengannya— telah membunuh 40 orang tentara Rusia. Pada saat menjelang
kesyahidannya, komandan Faruq mengepung posisi markas tentara Rusia. Dia
bertekad bulat untuk menyerang mereka dan menumpasnya. Lalu dia maju mendekati
markas tentara Rusia, sejauh 5 km dari pinggiran kota Kabul. Orang-orang Rusia
menjadi geram, mereka berkata, “Kita harus bisa membawa kepala Faruq, di
manapun dia berada”. Maka kemudian kekuatan pasukan Rusia dikerahkan untuk
mengepung pasukan Faruq. Banyak anak
buahnya yang mundur dari pos tersebut karena jumlah mereka terlalu kecil untuk
mampu menghadapi pasukan Rusia yang berjumlah besar. Ketika komandan Faruq
diberitahu agar mundur untuk bergabung dengan kelompok lain atau mengadakan
manuver untuk menyusun siasat perang; maka dia menjawab, “Saya tidak akan
mundur dari pos ini sampai tubuh saya digotong oleh orang”. Komandan Faruq
terus mengadakan perlawanan sehingga berhasil memukul mundur tentara Rusia.
Namun 10 menit sebelum semua tentara Rusia mundur, ada salah seorang tentara
Rusia yang berada sepuluh meter dari posisinya. Dia melemparkan granat ke
arahnya. Granat itu meledak dan menewaskan komandan Faruq. Akhirnya tentara
Rusia maju lagi dan kembali ke markas tersebut. Mereka kembali untuk mengambil
kepala komandan Faruq.
Dalam pada itu, Allah mengaburkan penglihatan tentara Rusia dan
menyerupakan mayat komandan Faruq dengan mayat yang lain. Tentara Rusia
memotong kepala mayat itu dengan persangkaan bahwa itu adalah kepala komandan
Faruq. Lalu mereka membawa potongan kepala itu kepada komandan mereka dengan
maksud menyenangkan hatinya. Padahal kepala yang mereka bawa itu bukanlah kepala komandan Faruq. Kepala komandan Faruq
sekarang –insya Allah—berada di dalam kuburnya mendapat kenikmatan yang
abadi di sisi Rabbnya. Kita mohon kepada Allah mudah-mudahan Dia memperlihatkan
kepada almarhum komandan Faruq, tempat duduknya di dalam surga. Sebagaiman
khabar gembira yang disampaikan Rasulullah saw kepada kita semua perihal orang
yang mati syahid. Kita mohon kepada Allah mudah-mudahan komandan Faruq, ketiga
ikhwan kita dan ikhwan-ikhwan Afghan yang gugur dalam pertempuran, mati sebagai
syuhada’.
Sekarang ini, pertempuran berkobar dengan sengit di mana-mana. Para
syuhada’ berjatuhan di mana-mana. Darahnya melumuri bumi Afghanistan dengan
wewangian yang harum semerbak baunya. Bau darahnya yang suci menyebarkan
keharuman ke dalam hidung orang-orang yang baik, orang-orang yang tulus jiwanya
dan orang-orang yang benar jalannya.
Mudah-mudahan Allah 'Azza wa Jalla berkenan mengikutkan kita dengan mereka
semua di dalam surga yang penuh dengan kenikmatan bersama para nabi, para
shiddiqin, para syuhada’ dan para shalihin. Alangkah baiknya berteman dengan
mereka itu.
Tidak ada komentar