Mizan Rabbani
Unknown
04.12
0
Wahai kalian yang telah ridha Allah sebagai Rabb kalian. Islam sebagai Dien
kalian dan Muhammad saw sebagai nabi dan rasul kalian. Ketahuilah, bahwasanya
Allah 'Azza wa Jalla telah menurunkan di dalam Al-Qur’anul Karim
“Dan bersabarlah kamu bersama dengan orang-orang yang menyeru Rabbnya di
pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu
berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini; dan
janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat
Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.”
(QS. Al-Kahfi : 28)
“Dan janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru Rabbnya di pagi
hari dan petang hari, sedang mereka menghendaki keridhaan-Nya. Kamu tidak
memikul tanggung jawab sedikitpun terhadap perbuatan mereka dan merekapun tidak
memikul tanggung jawab sedikitpun terhadap perbuatanmu, yang menyebabkan kamu
(berhak) mengusir mereka, sehingga kamu termasuk orang-orang yang zalim. Dan
demikianlah telah Kami uji sebahagian mereka (orang-orang yang kaya) dengan
sebahagian yang lain (orang-orang yang miskin), supaya (orang-orang yang kaya)
berkata, ‘Orang-orang semacam inikah di antara kita yang diberi anugerah oleh
Allah kepada mereka?’ (Allah berfirman), ‘Tidakkah Allah lebih mengetahui
tentang orang-orang yang bersyukur (kepada-Nya)?’. Apabila orang-orang yang
beriman kepada ayat-ayat Kami itu datang kepadamu, maka katakanlah, ‘Salaamun-alaikum’.
Rabbmu telah menetapkan atas diri-Nya kasih sayang, (yaitu) bahwasanya barang
siapa yang berbuat kejahatan di antara kamu lantaran kejahilan, kemudian ia
bertaubat setelah mengerjakannya dan mengadakan perbaikan, maka sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-An’am : 52-54)
Di dalam kitab-kitab tafsir diterangkan bahwa sababun nuzul ayat ini
ialah : suatu ketika golongan elite dari kaum Quraisy dan para pemuka
kabilahnya –antara lain : Al-Akhnas bin Syariq, pemuka Bani Zuhrah; Amru bin
Hisyam dan Abu Sufyan— datang menemui Rasulullah saw yang sedang duduk
bermajlis dengan beberapa orang sahabatnya, yang berasal dari kalangan budak.
Mereka berkata kepada beliau, “Hai Muhammad, kami mau duduk bermajlis denganmu,
asal engkau sendiri saja yang turut dalam majlis itu. Sebab kami merasa malu
kalau sampai dilihat bangsa Arab sedang duduk denganmu bersama para budak itu.
Karena yang demikian itu akan mencoreng kehormatan kami di mata mereka. Akan
tetapi, sebelum hal itu terlaksana, Jibril a.s. turun dari langit menyampaikan
ayat tersebut kepada beliau. 1)
Allah 'Azza wa Jalla mempunyai tolok ukur dan mizan (timbangan). Demikian
juga manusia, mereka mempunyai tolok ukur dan mizan. Allah berkehendak
menerapkan tolok ukur dan mizan itu di muka bumi sebagai aturan hidup manusia
dalam kehidupannya. Timbangan yang semula dianggap sebagai khayalan yang
terlintas di dalam benak manusia dan lamunan, berubah menjadi kenyataan lewat
perilaku, kata-kata, kehidupan dan aktivitas.
Mizan Rabbani mengatakan :
“Dan sekali-kali bukanlah harta dan bukan (pula) anak-anak kamu yang
mendekatkan kamu kepada Kami sedikitpun; tetapi orang-orang yang beriman dan
mengerjakan amal-amal saleh, merekalah itu yang memperoleh balasan yang
berlipat ganda.” (QS. Saba’ : 37)
Mizan Rabbani mengatakan :
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di
sisi Allah adalah yang paling taqwa di antara kalian.” (QS. Al-Hujurat : 13)
Mizan manusia mengukur dan menimbang sesuatu dengan dirham (rupiah) dan
pangkat. Sehingga tidak aneh jika Bani Israil memprotes pengangkatan Thalut
sebagai pemimpin mereka, karena mereka merasa lebih berhak mendapatkan tongkat
kepemimpinan itu daripada Thalut. Mereka berkata :
“Bagaimana Thalut memperoleh kekuasaan atas kami, padahal
kami lebih berhak memperoleh kekuasan itu dari padanya.” (QS. Al-Baqarah : 247)
Keutamaan manusia sesama mereka menurut tatanan jahiliyah diukur dari
kedudukannya atau keluarganya atau hartanya atau pekerjaannya. Itulah yang
menjadi tolok ukur mereka dalam menentukan tingkat keutamaan seseorang. Maka
dari itu, tidak mengherankan jika mizan jahiliyah meninggikan kedudukan orang
semacam Abu Jahal. Orang-orang jahiliyah menggelariya Abul Hakam (Bapak
kebijaksanaan). Akan tetapi Rasulullah saw menjulukinya Abu Jahal (Bapak
kebodohan). Mizan jahiliyah menempatkan orang semacam Bilal r.a. dalam barisan
binatang ternak. Maka orang semisal Abu Sufyan bin Harb merasa malu jika harus
duduk bersama dengannya. Namun dalam mizan Rabbani orang-orang semacam Bilal
sangat tinggi kedudukannya. Dalam hadits riwayat Muslim disebutkan bahwa Bilal,
‘Ammar dan Shuhaib setelah Futuh Makah melemparkan perkataan pedas kepada Abu
Sufyan. Mereka berkata, “Demi Allah, pedang-pedang Allah belum sedikitpun
memperoleh korban dari musuh-musuh-Nya.” Abu Sufyan marah mendengar perkataan
itu, maka ia datang menemui Abu Bakar mengadukan perkataan mereka kepadaya.
Lalu Abu Bakar mendatangi mereka dan menegur mereka dengan keras, “Adakah
kalian mengatakan demikian kepada pemuka Quraisy?”. Lalu sesudah itu Abu Bakar pergi menemui Rasulullah saw dan
mengkhabarkan kepada beliau bahwa Bilal, Ammar dan Shuhaib telah melemparkan
penghinaan kepada pemuka Quraisy, Abu Sufyan. Dengan pengaduan itu Abu Bakar
bermaksud untuk melegakan hati Abu Sufyan atau ingin supaya wajah Rasulullah
saw menjadi merah padam karena marah terhadap mereka yang membuat marah pemuka
Quraisy. Namun kenyataannya tidak seperti yang Abu Bakar bayangkan. Rasulullah
saw memberikan jawaban padanya sebagai berikut :
“Wahai Abu Bakar! Barangkali engkau telah membuat mereka
marah. Sungguh jika engkau membuat mereka marah, maka engkau telah membuat
Allah murka.” (HR. Muslim Shahihnya, lihat Mukhtashar Shahih Muslim hal : 446
no. 1683)
Ketinggian, keagungan dan barakah macam apakah yang telah mengangkat
kedudukan budak, yang dalam mizan jahiliyah masuk kategori barisan binatang,
sampai kepada tingkat di mana Allah akan murka kepada seseorang yang membuat
mereka marah.
Dalam sebuah hadits dinyatakan :
“Dan adakalanya seseorang yang rambutnya kusut dan
berdebu, lagi miskin dan hina tapi kalau ia bersumpah (minta kepada Allah),
pasti Allah akan mengabulkannya.” (HR. Muslim, lihat Mukhtashar Muslim hal :
523 no. 1972)
Ketika Abu Bakar mendengar jawaban Rasulullah saw yang demikian itu, maka
ia pun menggigil ketakutan. Barangkali ia telah membuat murka Allah karena
telah membuat marah Bilal, pikirnya. Lalu ia kembali mendatangi Bilal dan Ammar
memohon maaf kepada mereka dan meminta supaya tidak memasukkan kata-katanya
dalam hati mereka. Ia berkata, “Wahai saudara-saudaraku, barangkali aku telah
membuat kalian marah.” Mereka menjawab, “Semoga Allah memaafkanmu.” Mendengar
jawaban mereka, maka menjadi tenang dan tentramlah hati Abu Bakar. Pada hari
itu juga –sebagaimana diriwayatkan Ibnu Hisyam dalam Sirahnya, pada hari
penaklukan kota Makkah-- Rasulullah saw
memerintahkan Bilal supaya naik ke atas Ka’bah untuk mengumandangkan adzan ke
segenap penjuru kota Makkah. Lalu Bilal pun mengumandangkan adzan, maka
bergemalah suara Allahu Akbar di mana-mana.
Pada saat itu ada tiga orang pemuka Quraisy yang sedang duduk bersama,
menyaksikan kejadian tersebut. Mereka adalah ‘Attab bin Usaid, Abu Sufyan bin
Harb dan Harits bin Hisyam. Harits berkata –dia adalah salah seorang yang
dibebaskan Rasulullah saw pada hari itu--, “Segala puji bagi Allah yang telah
mematikan Hisyam sehingga tidak melihat kejadian yang hanya akan membuat sesak
dadanya.” Lalu yang lain menimpali, “Dia tidak akan menyaksikan gagak hitam
naik di atas atap Ka’bah.” Sementara Abu
Sufyan hanya berkata, “Saya tidak akan
mengatakan apapun. Seandainya saya berkata, pasti kerikil yang ada di sekitar
ini akan memberitahukan perkataan saya.”
Mizan manusia mengucapkan Alhamdulillah karena ayahnya mati sebelum
melihat gagak hitam (Bilal ra.) naik di atas atap Ka’bah. Mereka adalah kaum
yang terombang-ambing dalam kesesatan dan kedunguan. Mereka menyangka bahwa
mizan mereka akan tetap wujud di muka bumi, sehingga mereka bisa terus
menggunakannya. Akan tetapi Allah 'Azza wa Jalla tidak menghendaki selain
menyempurnakan cahaya-Nya.
Namun pada hari itu juga mizan
Rabbani mengatakan, “Jika engkau membuat marah Bilal, maka sungguh engkau telah
membuat murka Tuhanmu”. Bumi dan langit akan bergoncang apabila hamba yang
disebut orang ‘budak hitam’ tak berarti ini marah. Sesungguhnya menegakkan
mizan Allah di bumi merupakan suatu pekerjaan yang sangat sulit. Hanya mampu
diperbuat oleh manusia yang berjiwa besar dan manusia-manusia pilihan tertentu
saja. Menggunakan mizan Rabbani sebagai necara berarti engkau mendahulukan
siapa yang didahulukan Allah, mengakhirkan siapa yang diakhirkan Allah, berwali
kepada siapa saja yang berwali kepada Allah, memusuhi siapa saja yang menentang
Allah, memberi karena Allah, menahan sesuatu karena Allah, mencintai seseorang
karena Allah, membenci seseorang karena Allah. Bahkan senyumanmu engkau berikan
kepada seseorang menurut apa yang diridhai Allah.
Ini merupakan perkara yang tidak
mampu dikerjakan selain oleh manusia-manusia yang berjiwa besar. Oleh jiwa-jiwa
yang terbina dalam masa yang cukup lama melalui berbagai macam gemblengan dan
ujian, sehingga mereka siap menempuh jalan dan patuh menerima pengarahan.
Wahai saudara-saudaraku!
Sejauh mana mizan Allah dipakai –dan tidak akan dipakai melainkan oleh
tangan-tangan manusia yang hidup dalam masa ujian dan cobaan yang lama--, maka
sejauh itu pula keadilan akan memimpin di penjuru bumi. Apabila mizan Allah ini
telah melemah (penerapannya), maka masyarakat pun akan menjadi lemah. Dan
apabila mizan itu berubah, maka masyarakatpun akan terbalik pandangannya.
((Bagaimana dengan kalian apabila melihat yang mungkar nampak ma’ruf dan
yang ma’ruf nampak mungkar?)). Dan terkadang akan tercampur baur antara
mungkar dan ma’ruf bagi manusia yang menjauhi pemakaian mizan Ilahi.
Kehidupan selamanya tidak akan menjadi lurus jika mizan Ilahi tidak dipakai
sebagai neracanya. Dan lurusnya manusia itu tergantung kepada sejauh mana
menerapkan mizan Ilahi. Terkadang
manusia mempermainkan mizan dan terkadang mizan tersebut rusak di tangan
manusia sehingga masyarakatpun menjadi rusak. Terkadang mizan tersebut terbalik
sehingga seluruh masyarakatpun terbalik nilai-nilai kehidupannya, seperti
dinyatakan dalam sebuah hadits (Yakni : Bagaimana dengan kalian apabila
melihat yang mungkar nampak ma’ruf dan yang ma’ruf nampak mungkar?)
Yang demikian ini akan terjadi dalam sebuah masyarakat apabila mizan dan
nilai-nilai kebenaran yang berlaku telah kacau dan rusak.
Sesungguhnya Allah mempunyai mizan. Mizan itu Dia turunkan, agar keadilan
bisa ditegakkan di muka bumi. Dan tiadalah diturunkan syari’at-syari’at kepada
para Rasul melainkan agar supaya keadilan bisa ditegakkan di muka bumi.
Allah Ta’ala berfirman :
“Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa
bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al-Kitab dan
Mizan (neraca keadilan) supaya manusia menegakkan (perkara mereka) dengan
adil.”
Keadilan tidak akan mungkin dapat ditegakkan di muka bumi dan mizan yang
diturunkan Allah itu tidak akan dipergunakan jika tidak disertai dengan
penjagaan yang memadai dan kekuatan yang melidunginya. Tiap tangan bermaksud
mempermainkannya. Dan setiap orang bermaksud menyia-nyiakannya. Maka dari itu,
harus ada yang melindungi mizan tersebut dari tangan-tangan kotor yang
bermaksud mengacaukannya, mempermainkannya dan menyia-nyiakannya. Karena itu
ayat di atas disambung dengan :
“Dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan
berbagai manfaat bagi manusia, (supaya mereka mempergunakan besi itu) dan
supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)-Nya dan
rasul-rasul-Nya.” (QS. Al-Hadid : 25)
Besi diciptakan untuk melindungi mizan agar tetap
tegak dan dipergunakan di muka bumi. Allah 'Azza wa Jalla menurunkan besi agar
dipakai untuk berjihad, untuk melindungi Dien-Nya; dan agar supaya
prinsip-prinsip dan nilai-nilai kebenaran tidak dibuat mainan; agar supaya
orang-orang bodoh tidak mempermainkan nilai-nilai kebenaran dan mizan,
sehingga masyarakat menjadi rusak. Jika nilai-nilai kebenaran hilang, maka
kegelapan akan melingkupi manusia dan mereka akan tenggelam ke dalam comberan,
ke dalam lumpur hawa nafsu yang rendah; yang tidak melahirkan keturunan kecuali
di dalam comberan. Seperti halnya kehidupan lalat dan nyamuk.
COBAAN ADALAH PEMBERIAN ALLAH
Perzinaan tidak akan meluas, kezhaliman tidak akan
tersebar, kekacauan tidak akan timbul dan suap menyuap tidak akan menjadi-jadi
jika saja mizan Ilahi tidak dikacaukan oleh tangan-tangan manusia yang
mempermainkannya.
Siapakah yang mampu menjadikan mizan itu sebagai pegangan hidupnya?
Apakah orang yang mengenal Islam secara teoritis atau yang duduk bersila
menghadapi lembaran-lembaran kitab atau yang hafal berbagai Hasyiyah dan
matan dapat memikul mizan itu dan memakainya sepanjang
hidupnya??! Sesungguhnya orang-orang semacam itu tidak dapat menegakkan mizan.
Di tangan mereka mizan itu akan melemah sehingga seluruh masyarakatpun
akan menjadi lemah. Andai kata mereka yang hafal Hasyiyah dan matan
itu mampu menggunakan mizan, tentulah kita akan dapati ma’had-ma’had
Diniyah. Fakultas-fakultas Syari’ah, Universitas Al-Azhar dan yang lain-lain
memberikan teladan bagi dunia bahwa mereka berani menentang kezhaliman yyang
mereka lihat, meskipun resikonya kepala mereka harus digergaji menjadi dua atau
tubuhnya disisir dengan sisir besi sampai tembus ke dalam tulangnya.
Sesungguhnya kitab matan dan hasyiyah tidak mendidik menjadi
manusia pilihan yang akan mampu memikul mizan di pundak mereka.
Sesungguhnya orang-orang yang menegakkan mizan bukanlah mereka-mereka
yang hafal kitab besar, hafal kitab Alfiyah dan syarahnya, kitab As-Sulam dan
yang lainnya, hafal kitab-kitab aqidah atau Hasyiyah Dasuqi atau Hasyiyah Ibnu
‘Abidin ataupun Syarah Mughanni dan sebagainya. Sesungguhnya mereka yang mampu
menegakkan mizan adalah mereka yang mendapatkan tarbiyah dari Rasulullah
saw dan hidup di atas bara ujian serta panasnya cobaan. Sesungguhnya mereka
yang mampu menegakkan mizan adalah orang-orang semacam Hudzaifah, yang
pada waktu perang Ahzab Rasulullah saw memerintahkan padanya :
“Bangkitlah kamu wahai Hudzaifah, carilah informasi
tentang keadaan musuh untuk kami.” Hudzaifah menceritakan : Saat itu, saya
memakai kain wol milik istri saya, kain itu hampir tidak dapat menutup kedua
lutut saya. Saya harus menghimpun tekad mengingat malam itu sangat dingin
sekali. Orang-orang hampir tidak dapat membuang hajat di luar rumah mereka.”
(HR. Muslim, lihat Mukhtashar Muslim hal. 315 no. 1172)
Inilah Hudzaifah, yang di kemudian hari menjadi Amir di wilayah Masyriq.
Ketika menjadi amir, Hudzaifah mengirim surat kepada Umar. Dalam risalahnya itu
dia minta agar Umar membebastugaskannya dari jabatan Amir. Dia beralasan dengan
kalimat sebagai berikut, ’Sesungguhnya saya melihat timbunan harta yang ada di
hadapan saya seolah seperti gadis cantik yang selalu merayu dan menggodaku.
Maka takutlah Allah perihal diri saya wahai Umar. Bebaskan saya dari jabatan
Amir yang engkau mandatkan pada diri saya’.
Mereka adalah kaum yang telah berkorban, telah membayar harga (dalam
perjuangan untuk mendapatkan syurga Allah) dan telah terbina sekian lama di
tangan Rasulullah saw. Ketika kemewahan dunia datang menghampir’; mereka justru
berlari dan bersembunyi di balik dinding. Mereka menghadapi seluruh umat
manusia melalui kewara’an mereka, melalui shillah (perhubungan) mereka
dengan Allah; melalui shalat malam mereka, melalui perilaku nyata mereka yang
telah berhasil membuat jutaan manusia masuk ke dalam agama Allah dengan
berondong-bondong.
Sesungguhnya, yang mampu menegakkan mizan Ilahi adalah orang-orang
semacam Salman Al-Farisi, Seorang pencari kebenaran. Masuk negeri satu ke
negeri yang lain mencari nabi yang mursal (diutus). Ia mendengar berita
kedatangannya dari para sisa rahib Ahli kitab yang tetap berpegang teguh kepada
kebenaran. Sampai akhirnya takdir Allah menuntunnya ke Madinah, menanti
datangnya Nabi saw.
Salman yang dulunya dijual dengan status budak, padahal ia
adalah putra seorang kepala negeri di negara Persia, tetap menjadi budak yang
berkhidmat pada salah seorang Yahudi di Madinah sampai kaum muslimin
memerdekakannya. Namun waktu berputar, peristiwa demi peristiwa terjadi …
Salman si pencari kebenaran, kini duduk di atas singgasana Kisra bin Hormuz.
Kisra yang oleh sejarah Daulah Sasaniyah (sejarah raja-raja Persia) dikisahkan
menangis siang dan malam setelah mengalami kekalahan. Maka para pembantu
dekatnya bertanya, “Wahai paduka, apa gerangan yang terjadi pada diri Tuan?”
Kisra menjawab, “Bagaimana saya bisa hidup, jika tidak tersisa lagi yang saya
miliki selain seribu tukang masak dan seribu pelatih elang”.
Kisra menangis siang dan malam karena hanya memiliki seribu tukang masak.
Sementara Salman yang duduk di singgasananya dan mengulang-ulang membaca firman Allah :
“Alangkah banyaknya taman dan mata air yang mereka tinggalkan, dan
kebun-kebun serta tempat-tempat yang indah-indah, dan kesenangan-kesenangan
yang mereka menikmatinya, demikianlah.Dan Kami wariskan semua itu kepada kaum
yang lain.” (QS. Ad-Dukhan : 25-28)
Kehidupannya sangat sederhana sekali, sangat berbeda jauh dengan pola
kehidupan Kisra, seperti bumi dan langit. Dalam riwayat yang mengisahkan
tentang Salman Al-Farisi dikatakan bahwa Salman hanya membutuhkan uang 1 Dirham
untuk belanja sehari-harinya. Ia mendapatkan penghasilan 3 Dirham sehari dari
anyam-anyaman yang dibuatnya pada malam hari dan dijualnya pada esok hari. 1
Dirham untuk sedekah, 1 Dirham lagi untuk membeli bahan anyaman dan 1 Dirham
yang lain untuk nafkahnya.
Yang satu Salman, yang satu Kisra, keduanya berasal dari negeri yang sama.
Akan tetapi mizan yang mereka gunakan adalah berbeda. Yang satu memakai mizan
Rabbani dan satu memakai mizan jahiliyah. Yang satu cukup dengan
belanja 1 Dirham sehari, sementara yang satunya menangis karena tukang masak
dan pelatih elang yang dimilikinya tinggal seribu saja.
Saya katakan kepadamu wahai saudara-saudaraku!
Sesungguhnya tarbiyah untuk membentuk pribadi muslim yang sejati tidak akan
tercapai melalui ma’had-ma’had pendidikan Islam, meskipun ada sedikit di antara
mereka yang muncul dari ma’had-ma’had, namun itu bukan dari hasil pengetahuan
yang diterimanya –meski tarbiyah itu sendiri mempunyai pengaruh--, tetapi dari
pengaruh yang membekas dalam dirinya terhadap salah seorang ustadz yang ada di
ma’had tersebut. Ia menimba keimanannya sebelum menimba ilmunya dan merunuti sifat wara’nya sebelum mengangsu
pengetahuannya.
Ia meneladani sebelum menyerap kita-kitab yang diajarkannya. Jadi tidaklah
mengherankan jika Abdullah bin Al-Mubarak r.a. pernah mengatakan. “Aku tinggal
selama dua puluh tahun untuk menimba ilmu dan tinggal selama tiga puluh tahun
untuk menimba adab.” Yaitu adab Rabbani. Hidup dengan jasadnya bersama insan,
namun ruhnya senantiasa bergantung kepada Ilahi.
Dengan ke-maujud-an manusia-manusia yang memakai mizan Rabbani
sebagai neraca kehidupannya ini, maka Allah menjaga masyarakat dari kebinasaan.
Dengan ke-maujud-an mereka, musibah yang akan menimpa bumi terelakkan. Dengan
ke-maujud-an mereka kehidupan akan menjadi lurus. Dengan ke-maujud-an
mereka pertolongan akan segera turun dan manusia diberi rizki.
Sungguh keberadaan orang-orang seperti di atas telah lama diharapkan oleh
generasi pendahulu kita dan sisa-sisa generasi pendahulu kita yang masih hidup
di zaman kita ini. Mereka ini senantiasa dijaga oleh generasi pendahulu kita
sebagaimana suatu pemerintahan menjaga alat tukar uang standart yang berlaku di
dunia internasional. Apalah artinya nilai mata uang kertas jika tidak ada di
belakangnya penjaga standart berupa emas … jika di belakangnya tidak ada
penjaga alat tukar standart yang menjadikan kertas-kertas itu menjadi bernilai
sebagai alat tukar dalam pergaulan sehari-hari di antara individu yang hidup di
masyarakat.
Adalah generasi para pendahulu kita sangat memperhitungkan ke-maujud-an
mereka dalam peperangan yang mereka terjuni –mereka akan berkata satu sama lain
– Berapa ahli Badar yang masih hidup di antara kita? Berapa ahli Uhud yang
masih tersisa? Berapa ahli Khandaq yang masih tersisa? … Kemudian setelah
generasi sahabat seluruhnya pulang ke rahmatullah, mereka berkata, ‘Siapa yang
tersisa dari tabi`in, orang-orang yang melihat para sahabat Rasulullah
saw?’, generasi unik yang mendapat binaan secara langsung dari Nabi saw.
Tentara tidak akan mendapat kemenangan … masyarakat tidak akan menjadi
kokoh … kehidupan tidak akan menjadi lurus bila tidak dibanyaki orang-orang
seperti mereka. Jika jumlah mereka semakin banyak di dalam masyarakat, maka itu
merupakan tanda bahwa Rabbul ‘Alamin memberi taufik serta keridhaan kepada
masyarakat tersebut. Sejauh mana Shahibul Sulthah (para pejabat dan penguasa) mendekati mereka,
meminta nasehat mereka, menerima dan rela atas hukum mereka, beriltizam kepada
keterangan mereka, maka sejauh itu pula kebaikan, ketenangan, ketentraman dan
stabilitas akan menyebar dalam kehidupan masyarakat.
Oleh karena itu Umar bin Khatthab r.a. selalu berpesan kepada para panglima
perangnya, agar mereka memilih para Qurra’ (penghafal Al-Qur’an) dan
para ‘Ubbad (mereka yang tekun beribadah) sebagai penasehat mereka. Maka
tidaklah aneh jika engkau dapati, orang-orang yang hidup di sekitar para
panglima perang Umar adalah sekelompok dari para penghafal Al-Qur’an. Yang
tidak penat-penat dalam berdzikir, tidak pernah berhenti beristighfar, tidak
tetap lambungnya pada malam hari dalam posisi duduk dan berdiri berdzikir
kepada Rabb mereka. Demikianlah dahulu kehidupan para panglima yang shalih,
mereka dikelilingi oleh para penasehat, para ulama, orang-orang pilihan dan
orang-orang terbaik di antara mereka. Seperti kehidupan para murid dengan
gurunya. Mereka lupa kedudukan mereka adalah Sultan atau panglima, yang
memegang kendali kekuasaan.
Perihal mereka sebagaimana dikatakan Ibnul Qayyim, “Jika para raja itu
adalah raja-raja bagi rakyat kebanyakan. Maka para ulama adalah rajanya para
raja.”
Mereka adalah rajanya para raja, guru mereka dan panglima mereka. Jika
seorang pemuda atau komandan itu memimpin ribuan mujahid, maka ia masih
mempunyai komandan di atasnya. Komandan itu adalah orang ‘alim yang mengekang
nafsu ingin berkuasanya dan nafsu kejahatannya;
agar supaya tidak menjalar kepada orang banyak. Menahan nafsu
kezhalimannya, agar supaya tidak menimpa orang-orang yang tidak bersalah dan
mencegah kedua tangannya dari berlaku salah serta mengarahkannya kepada apa
yang dikehendaki oleh Tuhan langit dan bumi.
Wahai saudara-saudaraku!
Saya ingat akan berkah dan kemudahan yang dilimpahkan Allah kepada kita di
medan ini berkat ke-maujud-an mereka. Di tengah samudra yang penuh
dengan berbagai kesulitan yang menerpa dan menghadang sekelompok manusia yang
hendak berkhidmat kepada jihad Afghan ini, saya teringat kepada mereka yang
telah mati syahid mendahului kita. Saya merasakan berkah Allah yang turun,
karena keberadaan mereka di antara kita, karena do’a mereka untuk kita, karena
kebenaran dan keikhlasan mereka, karena iltizam mereka dalam menegakkan mizan
Rabbani. Saya teringat Abu ‘Ashim, saya teringat Su’ud Al-Bahri, saya
teringat Abdul Wahhab Al-Ghamidi, saya teringat Yahya San-yur. Saya merasakan
rahmat Allah turun kepada kita, berkah Allah menyertai langkah dan amal kita,
kemudahan dan taufik Allah mengikuti perjalanan kita karena keberadaan mereka,
orang-orang mukhlis yang telah dipilih dan diambil Allah. Kita berharap kepada
Allah 'Azza wa Jalla, mudah-mudahan mereka menjadi syuhada’ di sisi Allah
sebagaimana kita saksikan kesyahidan mereka di dunia ini.
Saya ingat Su’ud, pada hari ketika saya dudk bersamanya –umurnya berada
jauh di bawah saya—Saya memandang kecil diri saya di hadapan pemuda ini. Pemuda
yang keikhlasannya, ketulusan pamrihnya, keteguhannya, ketidakpeduliannya
terhadap dunia telah mencapai puncaknya. Ia mencari kematian di tempat yang
menjadi persangkaannya. Sebagaimana sabda Nabi saw :
“Sebaik-baik penghidupan seorang yaitu orang memegang
kendali kudanya fie sabilillah. Tiap mendengar suara yang menakutkan (dari
musuh) atau kegemparan, segera terbang di atas punggung kudanya mencari maut di
tempat yang menjadi persangkaannya.” (HR. Muslim : 4889))
KARAMAH-KARAMAH
Maka, tidaklah mengherankan kalau kita melihat cahaya yang semula memenuhi
hatinya, keluar dari kuburnya, naik ke atas langit dan kemudian kembali lagi
–sebagaimana kesaksian beberapa orang yang menyaksikan di antara kalian dan
kesaksian orang Afghan pada saya mengenai hal itu—.Tidaklah mengherankan kalau
kita melihat jasad Sa’ad Ar-Rusyud, setelah berlalu delapan belas jam dari saat
kesyahidannya, bergetar ketika mendengar bacaan Al-Qur’an. Tidaklah
mengherankan kalau kita mencium bau wangi (jasad) Yahya dari jarak sejauh 550
meter. Sedangkan Rumah Sakit yang menampung jasad yang suci menyemerbakkan bau
wangi minyak kesturi selama seminggu penuh. Dan itu disaksikan sendiri oleh
sejumlah besar dari orang-orang yang mendengarkan bah saya ini. Tidaklah
mengherankan kalau kita mendengar suara takbir terus menerus keluar dari kubur
Abdullah Al-Ghamidi, sebagaimana pengakuan Nashar Muhammad –komandan front—pada
saya dan mujahid-mujahid lain dari frontnya. Ketika saya minta penjelasan yang
lebih detail lagi, mereka mengatakan, “Jika anda ingin mendengar suara takbir,
maka tinggallah bersama kami di front jihad kami.” Tidaklah mengherankan jika
kamu mencium bau wangi pakaian Abdurrahman Albana –Hamdi Albana--. Pakaian itu
masih ada pada kami, dan kami simpan di Maktab ini. Empat bulan setelah
kesyahidannya tutup kepala dan sebagian barang peninggalannya masih tetap
menyebarkan bau wangi. Bau wangi itu dicium oleh ikhwan-ikhwan Afghan,kemudian
mereka berkomentar, “Ini adalah bau wangi syahid.”
Karamah-karamah ini bukan hanya sekedar cerita orang atau khabar angin
belaka, tapi memang diriwayatkan dengan kesaksian mata dan kesaksian hidung
banyak orang yang kini duduk di majlis ini mendengar bah saya. Ada pemuda di
antara kalian, sepatunya tertembus peluru kalasenkov, akan tetapi peluru
tersebut tidak melukainya. Sepatu itu ada di antara sepatu-sepatu yang kini
diletakkan di luar masjid, sedangkan pemiliknya duduk di antara kalian.
Tidaklah mengherankan kalau pernah terjadi lima buah mortir menghantam satu
lubang pertahanan yang ditempati dua
orang mujahid; yang satu selamat dan yang lain meninggal. Yang selamat ikhwan
dari Arab dan yang meninggal adalah ikhwan Afghan. Kemudian ikhwan Arab tadi bersaksi
atas nama Allah, setelah kesyahidan temannya ia melihat asap keluar dari
jasadnya seperti asap kayu gaharu yang terbakar, menyemerbakkan bau harum
kesturi ke segenap arah. Dan orang yang menceritakan tadi ada di antara kalian
mendengar perkataan saya.
Tidaklah mengherankan jika kalian mengetahui, waktu keluarnya ruh syahid,
menyebar bau minyak kesturi yang harum seperti yang terjadi pada ikhwan kita
Abdush Shamad. Ikhwan-ikhwan yang turut mengantarkannya ke rumah sakit di kala
ia terluka parah, menceritakan, “Kami tidak mengetahui ruhnya telah keluar dari
jasadnya melainkan sesudah merebak bau minyak kesturi yang harum di sekitar
kami.” Ruhnya keluar bersamaam dengan bau harum yang keluar dari jasadnya yang
baik.
Kita berharap kepada Allah, mudah-mudahan malaikat menyambutnya seraya mengatakan,
“Keluarlah wahai ruh yang baik, dari jasad yang baik. Engkau menghuni jasad
tersebut di dunia. Kini keluarlah untuk mendapatkan ketentraman dan rezki serta
menghadap Tuhan yang tiada murka padamu.”
KARENA KEBERADAAN MEREKA, PERTOLONGAN TURUN DAN MUSIBAH TERELAKKAN
Manusia-manusia shalih yang terBina dalam lingkup kehidupan seperti ini,
sangat besar berpengaruh dalam masyarakat di mana mereka hidup. Lantaran
mereka, Allah menjaga masyarakat dari kehancuran. Lantaran keberadaan mereka,
masyarakat merasakan ketenangan hidup. Lantaran mereka pertolongan turun
seperti cucuran air, manusia diberi rezki dan musibah yang akan turun dari
langit tertolak dari bumi.
Dalam satu atsar diriwayatkan, bahwasanya Allah berfirman :
“Demi ‘Izzah-Ku dan demi Keagungan-Ku, sesungguhnya Aku
benar-benar akan menimpakan adzab kepada penduduk bumi. Lalu Aku melihat
(mereka semua), maka Kulihat orang-orang yang memakmurkan rumah-rumah-Ku,
orang-orang yang beristighfar pada-Ku di waktu sahur dan orang-orang yang
saling cinta mencintai karena-Ku. Akhirnya Aku angkat dari mereka adzab yang
hampir saja Aku timpakan kepada mereka.”
Wahai saudara-saudaraku!
Janganlah kalian menduga bahwa banyaknya persenjataan akan mendatangkan
kemenangan. Dan jangan pula kalian menyangka bahwa harta benda bisa
mengantarkan pada kemenangan yang gilang gemilang. Sesungguhnya yang membuat
turun pertolongan Allah adalah do’a orang-orang yang shalih.
Qutaibah bin Muslim Al-Bahali; dalam peristiwa penaklukan kawasan negeri
Turki yang berada di belakang sungai –kawasan ini sekarang masuk wilayah eks.
Uni Soviet—melihat jari dan tangan yang menengadah ke langit. Lalu ia bertanya,
“Tangan siapa yang mengacung ke langit sehingga mengacaukan musuh itu?”. “Itu
tangan Muhammad bin Wasi’.” Jawab mereka yang ada di dekatnya. Lalu Qutaibah
bin Muslim berkta, “Keberadaan tangan itu lebih aku sukai daripada tigaratus
ribu pedang yang menghantam orang-orang Turki yang kafir”.
Orang-orang seperti itulah yang menjadi teladan, akan tetapi untuk menjadi
seperti mereka tidaklah mudah. Mereka terbina di atas dasar kebenaran, oleh
gemblengan tangan-tangan yang bersih. Telah terbebas ruh mereka dari jerat
dunia dan daya pikatnya. Maka jadilah mereka orang-orang yang berjalan di atas
bumi dengan jasad-jasadnya saja, sedangkan ruh-ruh mereka hidup di atas langit,
bersekutu dengan Mala’ul A’la (malaikat) memintakan ampunan kepada
penghuni bumi …
Di dalam hadits qudsi diriwayatkan Allah 'Azza wa Jalla berfirman :
“Tiadalah aku ragu dalam sesuatu perkara seperti keraguan-Ku ketika
hendak mencabut nyawa seorang hamba mukmin yang benci kematian. Aku benci
perbuatan buruknya.” (HR. Al-Bukhari dalam Shahihnya no. 6502).
Rabbul ‘Izzati ragu ketika hendak mencabut ruhnya, karena
Dia tidak suka menyakiti hamba-Nya yang beriman.
Manusia-manusia pilihan semacam itu yang harus kalian cari. Hiduplah
bersamanya dan tapakilah jalan kalian bersamanya di bawah kepemimpinannya.
Beribadahlah kepada Allah 'Azza wa Jalla mengikuti jcahaya (petunjuk) yang
kalian dengar dari mereka. Dan taujih Rabbani (pengarahan dari Allah)
ini mengatakan pada kalian.
“Dan bersabarlah kamu bersama dengan orang-orang yang menyeru Rabbnya di
pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu
berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini; dan
janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat
Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.”
(QS. Al-Kahfi : 28)
Saya cukupkan sampai sekian dan saya
mohon ampunan kepada Allah untuk diri saya dan kalian.
Alhamdulillah, tsumma alhamdulillah, wash-shalaatu wassalaamu ‘alaa
sayyidinaa muhammadin ibnil Abdillah wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa man
waalaah,
Segala puji bagi Allah, kemudian segala puji bagi Allah . mudah-mudahan
keselamatan dan kesejahteraan senantiasa dilimpahkan kepada junjungan kita
Muhammad bin ‘Abdillah, serta kepada keluarga, para sahabat dan orang-orang
yang mengikutinya.
“Dan bersabarlah kamu bersama dengan orang-orang yang menyeru Rabbnya di
pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya.” (QS. Al-Kahfi : 28)
Fi’ah mukminah, sekelompok kaum yang shaleh dan ikhlas. Namun
demikian tak seorangpun yang selamat dari kekeliruan, tak seorangpun yang bebas
dari kesalahan. Tapi Allah adalah Maha Agung lagi Maha Mulia, Maha Murah Hati
lagi Penyantun, melihat hamba-hambanya yang mukmin melakukan kesalahan, maka
diulurkan tangan-Nya pada malam hari agar bertaubat orang yang berdosa di siang
hari, diulurkan tangan-Nya pada siang hari agar bertaubat orang yang berbuat
dosa di malam hari. Dia Maha Pemurah, Maha Mulia, Maha menerima taubat
hamba-Nya. Maka pintu taubat itu selalu terbuka.
Mungkin saja di antara personil fi`ah mukminah ada yang melakukan
kesalahan, tetapi kesalahan tersebut tidak sampai membawa kepada neraka dunia
ataupun neraka akhirat, sehingga akan turun pisau-pisau yang akan menyembelih
dan taring-taring yang siap menggigit … orang-orang yang baik itu akan
dimaafkan kesalahan mereka dan mendapat pengampunan dari kesalahan yang jika
orang lain melakukannya niscaya tidak mendapat pengampunan.
Dalam hadits shahih dinyatakan :
“Maafkanlah orang-orang yang punya amal besar dari
kesalahan mereka. Demi Dzat yang nyawaku ada di tangan-Nya, sesungguhnya seseorang
di antara mereka tegelincir dalam kesalahan, namun tangannya tergantung pada
tangan Ar-Rahman.” 1)
1) Shahih
Al-Jami’ Ash-Shaghir no. 1165, tanpa ada tambahan, “Sesungguhnya
seseorang di antara mereka tergelincir dalam kesalahan, namun tangannya tergantung
pada tangan Ar-Rahman.” Tambahan ini diriwayatkan Abu Dawud dan ia dha’if.
Maka saya katakan : ‘Usbah (sekelompok manusia) ini --menurut
persangkaan saya—jika tidak ada dalam jihad, maka tidak akan engkau temui ‘Usbah
Allah.
“Senantiasa ada segolongan dari umatku yang membela kebenaran, tidak
membahayakan mereka orang-orang yang memusuhi mereka, sampai tiba ketentuan
Allah dan mereka tetap dalam keadaan demikian.” (HR. Muslim: 4950)
Jika dalam jihad ini tidak ada ‘Usbah ini, maka Alah tidak mempunyai
‘usbah. Jika di antara para mujahidin tidak ada para wali, maka di bumi
tidak ada wali. Jika di antara mereka yang hidup di bawah desingan peluru,
mereka yang meneguk pahitnya perjalanan jihad, mereka yang hidup di bawah
bayang-bayang kematian tidak ada sosok yang kusut masai rambutnya dan berdebu,
yang apabila bersumpah kepada Allah niscaya Allah mengabulkan sumpahnya, maka
tidak ada di bumi ini orang yang kusut masai rambutnya dan berdebu, yang
apabila bersumpah kepada Allah niscaya Allah mengabulkan sumpahnya.
Maka takutlah Allah perihal mereka –yakni Mujahidin Afghan--. Takutlah
Allah dari menggigit daging mereka. Takutlah Allah dari menjilat darah mereka.
Takutlah Allah dari memfitnah kehormatan mereka. Takutlah Allah dari
mengkoyak-koyak daging mereka. Jagalah gigi-gigi kalian agar jangan sampai
tersisipi oleh serat daging mereka. Ketahuilah bahwa daging mereka beracun. Dan
kebiasaan Allah, atau aturan Allah dalam membuka aib orang-orang yang
mencari-cari aurat mereka sudah dimaklumi. Sebagaimana perkatan Ibnu ‘Asakir
yang juga dinukil oleh Imam Nawawi dari padanya. Biasanya, mereka yang
menggunjing dan mencerca orang-orang yang beriman, tidak mati sampai mereka
tertimpa kematian hati terlebih dahulu.
Saya katakan pada kalian :
Di antara mereka itu ada wali-wali Allah. Padahal memusuhi wali-wali Allah
itu besar sekali konsekuensinya. Allah telah berfirman dalam hadits qudsi yang
diriwayatkan oleh Al-Bukhari :
“Barangsiapa yang memusuhi wali-Ku, maka sesungguhnya aku
telah memaklumatkan perang padanya.”(HR. Bukhari: 6502)
Takutlah kalian perihal mereka. Janganlah kalian bertindak keterlaluan
dalam melemparkan fitnah dan kebohongan terhadap mereka. Sebab Rasulullah saw
pernah bersabda :
“Sesungguhnya manusia yang paling besar kebohongannya
adalah seseorang yang memfitnah orang lain sehingga terfitnahlah anggota
kabilah secara keseluruhannya.” (HR.Ibnu Majah: 3761)
Lalu bagaimana halnya dengan orang-orang yang memfitnah beratus-ratus
kabilah? Mereka mengatakan, ‘Orang Afghan semuanya begini … orang Afghan
semuanya ahli bid’ah … orang Afghan semuanya perokok’. Dan sebagainya.”
Kemudian takutlah kalian kepada Allah perihal kelompok kecil yang
meninggalkan negeri dan harta bendanya, yang berhijrah fi sabilillah untuk
mencari keridhaan Allah, yang keluar membawa agamanya dan berjihad meninggikan
kalimatullah. Jangan kalian cabik-cabik agama mereka dengan lidah kalian atau
kalian gunjing mereka atau kalian cari-cari aib mereka. ((Wahai segenap
manusia yang telah beriman dengan segenap lesannya, namun iman belum meresap ke
dalam kalbunya. Jangan kalian menggunjing kaum muslim dan jangan pula
mencari-cari aurat mereka. Karena barangsiapa mencari-cari aurat saudaranya
muslim, maka Allah akan mencari auratnya. Dan barangsiapa yang Allah
mencari-cari auratnya, maka akan ditelanjangi auratnya meskipun di dalam
rumahnya sendiri))
Sering terjadi, seorang jahil (bodoh) menikam Islam dengan
tusukan lebar di jantungnya, namun dia tidak menyadari bahwa dia telah
menyakiti agamanya dan menyangka dirinya termasuk orang-orang yang mukhlis. Dan
alangkah banyak orang yang berlaku sia-sia terhadap agama ini dan bermain-main
dengan kehormatan kaum muslimin seperti anak-anak kecil yang bermain dengan
permata yang mahal harganya atau mutiara yang bernilai tinggi. Mereka
melemparkan ke dalam debu dan tidak menaruh perhatian lagi.
Takutlah Allah dan gemblenglah diri kalian sebagaimana kaum shadiqun
mendapat gemblengan. Hiduplah kalian sebagaimana kehidupan kaum shalihin.
Pergunakanlah mizan rabbani dalam naungan agama ini, peliharalah
kehormatan kaum muslimin, dan patuhilah manhaj Rabbul ‘alamin dengan penuh
keikhlasan, keyakinan dan kesabaran yang tinggi hingga kalian menjadi A’immah
fid dien (para pemimpin agama). Dan sekali-kali Imamah fid dien
(kepemimpinan di dalam dien) tidak akan bisa dicapai kecuali dengan sabar dan
yakin ….
“Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi
petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini
ayat-ayat Kami.” (QS. As-Sajdah : 24)
Jihad itu jalannya panjang membutuhkan kesabaran dan ibadah yang dapat
mendorongmu agar menempuh jalan jihad, yang penuh kepahitan dan kepayahan.
Penuh dengan duri dan rintangan, penuh dengan darah dan tumpukan mayat dan
bertebaran di sekelilingnya arwah orang-orang yang shaleh.
Wahai saudara-saudaraku!
Beramallah kalian bersam dengan kaum shadiqin itu. Bersabarlah, kuatkanlah
kesabaran, berribathlah dan bertaqwalah kepada Allah, supaya kalian mendapat
kemenangan. Peliharalah kesabaran kalian dan peliharalah keyakinan kalian
dengan shillah billah dan peliharalah keikhlasan kalian dengan
memurnikan ketawakkalan hanya kepada Allah Ta’ala.
Tidak ada komentar