Pelajaran Bersama Hati
Unknown
05.12
0
“Wahai orang-orang yang beriman bersabarlah kamu dan
kuatkanlah kesabaranmu serta tetaplah berribath (bersiap siaga di perbatasan
negerimu) dan bertaqwalah supaya kamu beruntung”. (Qs. Ali Imran : 200)
Unsur Penopang Ribath
Tentanglah nafsu dan syetan, serta jangan ta’ati keduanya//
Teladan Yang Perlu Ditiru
Munculnya Pemimpin Itu Melalui Amal Nyata.
Sabar dan Adab
Sabar
Terhadap Diri Sendiri, Manusia dan Ganggua Manusia.
Allah ‘Azza wa Jalla mengikat keberuntungan/kemenangan di dunia dan di
akherat dengan tiga faktor. Yakni: Sabar, Ribath dan Taqwa.
Unsur Penopang Ribath
Sabar dan taqwa adalah dua penopang fundamental dari penopang-penopang
Ribath, karena tiada ibadah yang melebihi Ribath dalam hal kesulitannya. Oleh
karena yang ada dalam Ribath adalah kekosongan, kejenuhan, kesiapsiagaan dan
penantian yang tidak pasti batas waktunya. Bisa jadi engkau tinggal sebulan di
atas puncak-puncak gunung atau di dasar lembah. Tak melihat orang lain di
sekitarmu kecuali empat atau lima orang yang berada satu kemah denganmu.
Padahal hati manusia memiliki tabi’at suka/ingin bercampur gaul dengan orang
ramai. Suka melihat orang, senang dan merasa terhibur melihat orang-orang yang
dikenalnya. Merasa kesepian apabila berada iauh dengan ibunya, bapaknya,
familinya, kota kelahirannya, orang-orang yang dicintainya, dan sebagainya. Ia
akan merasa kesepian kecuali jika Allah melapangkan dadanya untuk menyenangi
ibadah yang tengah dijalaninya.
Oleh karena itulah, maka Allah ‘Azza wa Jalla berkenan melapangkan dada
sebagian orang-orang shaleh untuk ber’uzlah. Mereka senang berada jauh dari
keramaian manusia untuk berribath, untuk mencari ilmu, untuk berdzikir agar
mereka selalu dekat dengan Rabb mereka. Lantas bagaimana jika dzikir, ibadah,
ribath, jihad dan khalwat bergabung menjadi satu, maka amalan apa yang
dapat menandinginya?.
Ribath atau jihad yang disertai khalwat adalah dua jalan paling
utama yang ditunjukkan oleh Rasulullah saw. Sebagaimana hal tersebut tertuang
dalam isi hadits berikut ini:
“Suatu ketika para sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah,
siapakah manusia yang paling utama itu?” Beliau menjawab: “Seorang mukmin yang
berjihad dengan harta dan jiwanya di jalan Allah”. Lalu mereka bertanya lagi:
“Kemudian siapa lagi?”, Beliau menjawab:
“Orang mukmin yang menyendiri dalam sebuah syi’ib (celah lembah),
beribadat kepada Allah dan menjauhkan diri dari kejahatan manusia”. (HR.
Bukhari Muslim)
Adapun kalian di sini telah menggabungkan dua hal yakni: jihad fii
sabilillah dan ibadah kepada Allah Azza wa Jalla di tempat yang terasing.
Kalian berada di syi’ib yang menjadi tempat kalian. Kalian beribadah kepada
Allah dan menjauhkan diri dari kejahatan manusia.
Ribath tegak di atas landasan sabar. Hati yang tidak memiliki kesabaran,
tidak akan dapat menjalankan ibadah secara konsisten. Hati yang tidak memiliki
kesabaran, tidak mempunyai iman yang sempurna. Kedudukan sabar dalam iman tak
ubahnya seperti kedudukan kepala bagi anggota tubuh. Sebagaimana tidak ada
jasad (anggota tubuh) tanpa kepala, maka demikian juga tidak ada iman tanpa ada
sabar.
Seluruh ibadah membutuhkan kesabaran. Mengerjakan shalat malam membutuhkan
kesabaran. Bangun di waktu fajar untuk mengerjakan shalat Subuh membutuhkan
kesabaran. Shiyam membutuhkan kesabaran. Haji membutuhkan kesabaran. I’dad
membutuhkan kesabaran... Semuanya membutuhkan kesabaran dan harus disertai
dengan kesabaran.
Sesuatu yang menjadi lawan sabar adalah melampiaskan syahwat/nafsu. Setiap
kali hati menginginkan sesuatu, maka si empunya hati memberikannya. Jika perut
lapar, maka ia akan makan. Jika hati menginginkan buah-buahan, maka ia akan
membeli dan kemudian memakannya. Jika nurani menginginkan tidur, maka iapun
tidur. Jika hati ingin berkumpul dengan orang, maka ia akan pergi ke Amerika,
ke Eropa,, ke Bangkok, ke stadion-stadion olahraga serta ke tempat-tempat lain
yang disukainya.
Oleh karena itu jika seseorang mampu memutuskan syahwatnya, maka ia akan
sabar. Apabila ia mampu meninggalkan syubhat (sesuatu yang masih diragukan),
maka ia akan yakin. Sebagian besar kesesatan yang menimpa manusia disebabkan
oleh syubhat dan syahwat.
Memenuhi syahwat, meskipun terhadap yang halal, akan menyebabkan hati
menjadi lembek (tidak tegar), dan membawa kepada sikap negatif seperti: royal,
bersenang-senang, bermewah-mewahan, dan senang menikmati kehidupan dunia. Sikap
inilah yang diperangi oleh Dienul Islam, karena sikap tadi bertentangan dengan
sikap zuhud dan bertentangan dengan sabar yang menjadi landasan jihad. Dan
jihad adalah tiang kehidupan ummat.
Maka dari itu:
Tentanglah nafsu dan syetan, serta jangan ta’ati keduanya//
Jika keduanya memberikan nasehat yang tulus padamu, maka curigailah//
Hati itu selalu ingin mengikuti syahwat dan syubhat. Oleh karena itu, jika
kamu mampu melawan hatimu dengan meninggalkan syahwat, maka sesungguhnya kamu
telah menjadi orang yang sabar. Dan jika kamu mampu melawan hatimu dengan
meninggalkan syubhat, maka sesungguhnya kamu telah menjadi orang yang yakin.
Jika sudah demikian halnya, maka kamu telah mulai melangkah di atas jalan para
pemimpin agama.
Allah Ta’ala berfirman:
“Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin
yang memberi petunjuk dengan perintah Kami tatkala mereka sabar. Dan adalah
mereka meyakini ayat-ayat Kami”. (Qs. As Sajdah : 24)
Sebagaimana ucapan Ibnu Qayyim:
“Imamah fiddien (kepemimpinan dalam agama) tidak akan diberikan kecuali
dengan sabar dan yakin”. Kemudian beliau membaca ayat di atas.
Demi Allah, wahai saudara-saudaraku!
Tiadalah manusia menjadi hina, bangsa-bangsa menjadi binasa, tempat-tempat
suci diinjak-injak, harta benda dijarah, dan kehormatan dirusak; jika bukan
karena ketidaksabaran mereka terhadap syahwat.
Adalah Rasulullah saw mempunyai perkebunan korma yang luas di daerah
‘Fadak’, yakni tanah perkebunan yang didapatnya dari harta rampasan dalam
peperangan Khaibar. Sebagaimana firman Allah Ta’ala dalam surat Al Anfal ayat
41:
“Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kalian peroleh sebagai
rampasan perang, maka sesungguhnya seperlimanya adalah untuk Allah, Rasul,
kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan Ibnus sabil”.
Kendati demikian ‘Aisyah pernah mengatakan:
“Belum pernah keluarga Muhammad merasakan kenyang dari
roti tepung sya’ir sampai dua hari berturut-turut”. (HR. Bukhari Muslim).
Pernah suatu ketika dihidangkan daging kambing bakar di hadapan sahabat
Anas. Melihat itu, dia menangis dan berkata, “Sungguh Rasulullah saw telah
meninggal dunia, sementara beliau tidak pernah (merasakan) daging kambing bakar
ataupun makan roti yang lunak”.
Mengapa harus berlaku zuhud? Mengapa harus berlapar-lapar? Yang demikian
itu maksudnya adalah untuk memerangi kemewahan pada diri manusia, memerangi
syahwat, dan menyabarkan hati agar tetap dalam keta’atan.
Dan inilah kisah tentang kezuhudan ‘Umar r.a. Pada suatu ketika kota Madinah
dilanda paceklik, sehingga banyak penduduk yang kelaparan. Maka ‘Umar sebagai
Khalifah merasa prihatin dengan keadaan tersebut. Lalu iapun bersumpah tidak
akan mengecap daging maupun mentega sampai ia melihat kehidupan kaum muslimin
menjadi baik dan tidak kelaparan lagi.
Lalu apa yang ia makan? Tidak ada makanan apa-apa selain roti kering.
Sehigga beberapa waktu kemudian ia diserang penyakit wasir. Ususnya kering dan
bernanah pada pangkalnya. Darah keluar bersama beraknya. Kulitnya menghitam.
Maka orang-orangpun berkata,: “Siapa yang berani bicara pada ‘Umar”. “Tidak ada
yang berani bicara pada ‘Umar selain Ummul Mukminin Hafshah, putrinya”. Jawab
sebagian yang lain. Lalu mereka mendatangi Hafshah dan memintanya berbicara
pada ‘Umar. Hafshah menyanggupi, dan kemudian ia mendatangi rumah bapaknya.
Sesampainya di sana, ia mengingatkan ‘Umar supaya mau menjaga kesehatan
tubuhnya. Ia berkata: “Sesungguhnya, wahai ayah, tubuhmu mempunyai hak yang
harus ayah penuhi. Dengan cara yang seperti ayah lakukan ini, justru membuat
payah diri ayah sendiri”, atau sebagaimana kata Hafshah. Maka ‘Umar menjawab:
“Wahai Hafshah, bukankah engkau telah memberitahuku bahwa Rasulullah saw hanya
mempunyai satu selimut, dimana pada musim dingin, beliau melipat separuh dari selimut
itu untuk alas tidurnya dan separuhnya lagi untuk menutupi bagian atas
tubuhnya. Dan pada musim panas beliau melipat kain selimut itu untuk alas
tidurnya? Wahai Hafshah, bukankah telah aku beritahukan bahwa Rasulullah saw
tidak pernah merasakan kenyang dari roti tepung sya’ir sampai dua hari
berturut-turut? Wahai Hafshah bukankah engkau telah mengerti bahwa Rasulullah
saw pernah mengganjal perutnya dengan dua buah batu karena lapar?” Demikianlah,
‘Umar mempertahankan sikapnya dengan mengemukakan alasan yang membuat Hafshah
tidak berkutik, dan akhirnya ia meninggalkan rumah ayahnya.
Memerangi syahwat pada waktu manusia dapat makan. Inilah yang perlu kita
lakukan, sebab nafsu selamanya tidak akan pernah merasa puas/kenyang.
Mengenyangkan nafsu ibarat seperti orang kehausan yang minum air laut untuk
menghilangkan dahaganya. Semakin banyak yang ia minum, maka semakin bertambah
kuat rasa hausnya oleh karena air laut asin rasanya.
Konon orang-orang Romawi dahulu biasa mengumbar nafsu perutnya dengan
memakan berbagai jenis masakan dan berbagai jenis buah-buahan sehingga akhirnya
mereka tidak dapat menikmati lezatnya makanan. Lalu mereka berpuasa agar dapat
mengecap kembali lezatnya makanan. Mereka tenggelam dalam kehidupan seksual,
sampai-sampai kaum lelakinya merasa bosan/tidak tertarik terhadap kaum wanita.
Lalu mereka menjauhkan diri dari kehidupan kota sampai mereka merasa rindu pada
wanita.
Orang-orang Eropa telah membuka pintu seks lebar-lebar dalam kehidupan
mereka, sehingga akhirnya masalah seks menjadi kebutuhan utama mereka
sebagaimana makanan, minuman dan udara. Kendati demikian berbagai kasus
pemerkosaan, sex affair, berbagai macam penyakit kelamin dan lain
sebagainya tidak pernah berakhir. Itu sudah pasti! Oleh karena syahwat tidak
akan pernah kenyang. Semakin diberi kepuasan, maka ia akan semakin bertambah
lahap dan rakus saja.
Pernah suatu ketika sahabat Jabir pergi ke pasar. Di tengah jalan ia
berpapasan dnegan ‘Umar r.a. lalu ia ditanya: “Kemana kamu akan pergi hei
Jabir?” Jabir menjawab: “Saya ingin sekali makan daging, maka saya hendak
membeli daging 1 dirham. “Mendengar jawaban Jabir, maka ‘Umar berkata menegur:
“Wahai Jabir, apakah setiap kali kamu menginginkan sesuatu, maka kamu
membelinya?”
Pernah pada suatu ketika, Khalifah ‘Umar diberi jamuan makan. Lalu ia
menangis dan lantas berdiri, para sahabatpun keheranan dan menanyakan padanya
“Apa gerangan yang terjadi denganmu wahai Amirul Mukminin?” Ia menjawab: “Saya
khawatir pada hari kiamat nanti akan dikatakan kepada kita:
“Dan (ingatlah) hari (ketika) orang-orang kafir
dihadapkan ke neraka (kepada mereka dikatakan): “Kalian telah menghabiskan
rezki kalian yang baik dalam kehidupan dunia kalian, dan kalian telah
bersenang-senang dengannya, maka pada hari ini kalian dibalas dengan siksa yang
menghinakan karena kalian dahulu menyombongkan diri di muka bumi tanpa hak dan
karena kalian telah fasik”. (Qs. Al Ahqaaf : 20)
Maka dari itulah, zuhud dan memerangi syahwat dalam diri merupakan hal yang
dituntut dari setiap orang beriman. Oleh karena jiwa seseorang tidak mungkin
akan naik ataupun tinggi kalau dia belum mampu mengatasi syahwatnya dan hawa
nafsunya. Jiwa seseorang yang dibelenggu oleh syahwatnya, tidak akan mungkin
berani turun menghadapi musuh dalam kancah peperangan.
Karena itu, jika kamu ingin tetap melangkah di atas jalan menuju
(keridha’an) Allah ‘Azza wa Jalla, maka kendalikanlah dirimu dan kekanglah
nafsumu. Sayang sekali ilmu ini tidak diajarkan di Universitas-universitas
ataupun di sekolah-sekolah, yakni ilmu suluk (budi pekerti/akhlaq), Ilmu Madarijus
Salikin (Jalan orang-orang yang menempuh perjalanan) pada maqam (firman
Allah) “Iyyaka na’budu wa iyyaaka nasta’iin”.
Ilmu ini hilang, karena tidak ada murabbinya. Tidak
diajarkan baik di Jami’ah Al Azhar maupun di Fakultas-Fakultas Syari’ah, ilmu
Suluk atau ilmu Akhlaq atau ilmu Tarbiyah.
Maka terkadang kamu temukan seorang pemuda yang hafal -Masya’allah-
banyak kitab dan banyak hadits. Kitab “Riyadhush Shalihin” telah
dibacanya dari dulu, kitab “Raudhatun Nazhir” telah dipelajarinya, kitab
“Nailul Authar” telah ditelaahnya, kitab “Subulus Salam”, kitab “Fat-hul
Baari”, dan lain-lain; bukan sesuatu yang asing baginya. Namun kamu
dapati dia tidak mengerjakan shiyam tathawwu’
(sunnah), tidak mengerjakan shalat malam, tidak mengerjakan shalat nawafil,
dan mengambil rukhsah (keringanan) di manapun dia mendapatkan
kesempatan. Mengapa demikian? Hatinya mati, jiwanya sakit, tidak terbina
ruhaninya. Dan syahwat -Masya’allah- telah menguasai dirinya.
Teladan Yang Perlu Ditiru
Demi Allah, Kamal as Sananiri –rhm-, yang telah ditunjuk oleh ikhwan-ikhwan
sebagai mas’ul mereka dalam penjara, menceritakan kepada saya bahwa
ikhwan-ikhwan yang berada dalam penjara mempraktekkan betul rasa sepenanggungan
sosial. Setiap ikhwan harus makan seperti yang lain. Mereka harus membelanjakan
uang seperti yang lain. Mereka harus minum seperti yang lain. Siapapun yang
mendapat kiriman uang dari luar, maka uang itu akan diserahkan kepada Kamal As
Sananiri. Dan ia akan mengeluarkan penggunaan uang itu untuk kepentingan mereka
bersama. Katanya: “Demi Allah, pernah suatu hari seorang ikhwan mendapatkan
kiriman sebiji coklat. Kamu tahu bahwa di dalam penjara permen coklat sungguh
sangat bernilai/berarti sekali. Permen coklat itu berpindah dari satu tangan ke
tangan yang lain, sampai tujuh orang banyaknya, dan kembali lagi kepada orang
yang pertama kali memberikannya”.
Dia berkata: “Saya membandingkan antara ikhwan-ikhwan dengan orang-orang
komunis yang ada dalam penjara. Yakni, para pimpinan Partai Komunis yang terbongkar
rencana mereka yang hendak melancarkan kudeta terhadap rezim Gamal ‘Abdul
Nasher. Mereka ditangkap dan dimasukkan ke dalam penjara. Andaikan kudeta
mereka berhasil, pasti merekalah yang memegang kekuasaan di negeri Mesir,
Kepala negara tentulah mereka pegang, Perdana Menteri pastilah dari mereka dan
para menteri-menteri, pastilah dari tokoh-tokoh penting mereka. Tetapi karena
gagal, mereka ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara bersama kami”.
Dia melanjutkan: “Ada seorang komunis yang dahulu menjadi dosen di
universitas besar dan ternama. Istrinya membezuk dia dan membawakannya daging
ayam. Lalu ia menaruh daging ayam itu di dalam pangkal lengan bajunya, atau
menyembunyikannya di bagian dalam lengan bajunya. Lantas ia datang ke ruang sel
ikhwan dan memakan daging ayam itu jauh dari kawan-kawannya. Dia baru kembali
menemui kawan-kawannya setelah melahap habis daging ayam kiriman istrinya”.
Kamal as Sananiri bercerita lebih lanjut: “Orang-orang komunis itu merasa
cemburu terhadap kesetiakawanan dan rasa sepenanggungan yang diperlihatkan oleh
ikhwan-ikhwan. Mereka bermaksud mempraktekkan rasa sepenanggungan sosial
diantara mereka. Ada diantara mereka yang merokok, dan yang tidak merokok.
Mereka berkata: “Apa yang harus kami lakukan, kami bermaksud menerapkan
persamaan sosial diantara kami”. Mereka berselisih pendapat bagaimana yang
harus mereka perbuat terhadap sebagian mereka yang merokok. Lalu mereka membawa
persoalan tersebut kepada saya. Mereka, orang-orang komunis itu, membawa
persoalan mereka kepada saya dan meminta saya untuk memberi keputusan atas
persoalan yang mereka perselisihkan!!. Lalu saya katakan pada mereka: “Saya
mengusulkan: “1 batang rokok, diganti 1
gelas teh. Bagi yang tidak merokok, maka dia harus diberi 1 gelas teh tambahan
sebagai ganti tiap batang rokok”. Akan tetapi mereka yang merokok menolak
keputusan tersebut. Maka saya tanya mereka, “Lalu bagaimana menurut kalian?”
Mereka menjawab: “Mereka yang tidak merokok, harus ikut merokok”... Inilah
kelemahan/kelumpuhan yang menguasai dunia Arab!!!
Sungguh amat ganjil sekali, mereka tidak mau merelakan saudaranya dalam
kekafiran meminum 1 gelas teh sebagai ganti rokok. Mereka itu, kalau suatu saat nanti memimpin rakyat,
sementara harta kekayaan negara berada di tangan mereka; adakah mereka akan
benar-benar menerapkan doktrin sosialisme atau malah akan mencuri harta rakyat
untuk memenuhi syahwat mereka dan melaksanakan keinginan mereka?!!
Inilah sebenarnya yang terjadi!!
Wahai saudara-saudara!!
Percayalah, setelah malapetaka yang menimpa sebagian negeri Arab pada tahun
1967 M. Maka negara-negara Barat mengirim bantuan gandum kepada negara-negara
yang terkena bencana-yakni Yordania, Syiria dan Mesir.
Salah seorang putri istana suatu negara di Arab ingin menghirup udara
(pesiar) di negeri Eropa. Ia membutuhkan biaya sekitar 100.000 $. Maka mereka
(yakni keluarga istana) minta kepada Perdana Menteri untuk menyediakan uang
sebesar yang ia butuhkan. Lalu Perdana Menteri memanggil Menteri Keuangan dan
mengatakan kepadanya, “Kami tidak mempunyai uang, maka segera uruslah”. “Tapi
persediaan uang tidak ada”. Jawab Menteri Keuangan. Mereka mendesak: “Putri itu
harus melancong ke Eropa, maka kamu harus mencarikan dana untuknya”.
Menteri Keuangan berpikir sejenak, dan akhirnya ia memberi pemecahan, “Kita
mendapat bantuan gandum dari negeri barat, dan sekarang masih ada di pelabuhan.
Juallah gandum itu, dan berikan uang hasil penjualan gandum itu kepadanya”.
Lantas mereka menjual bantuan gandum tersebut dan memberikan uangnya kepada si
putri raja, sehingga dapat berpesiar di negeri Eropa, sementara banyak penduduk
mati kelaparan. Gandum bantuan yang dikirim untuk menyambung hidup mereka telah
dijual hanya untuk memenuhi keinginan salah seorang putri istana yang hendak
berpesiar ke negeri Eropa”.
Munculnya Pemimpin Itu Melalui Amal Nyata.
Kepemimpinan ala diktatorisme dan monarkhisme seperti di atas menjadikan
rakyat tertindas dan terlantar. Para penguasa dalam pemerintahan monarkhi itu
tidak hidup di atas bumi, mereka hidup di dalam istana gading dan berbicara
kepada rakyat melalui khayalan. Mengapa demikian? Oleh karena mereka mencapai
tampuk kekuasaan bukan dengan cara yang wajar/alami. Cara yang wajar untuk
mencapai kekuasaan ialah apabila seseorang memulai karirnya dari tingkatan
pratama, lalu naik tingkat menjadi bintara, lalu naik menjadi perwira, lalu
naik menjadi Jenderal, kemudian menjadi Kepala Negara. Akan tetapi struktur
kemiliteran dan pangkat keprajuritan bukan merupakan syarat mutlak.
Kepemimpinan itu bisa lahir dengan jalan: seseorang berdakwah menyeru manusia
kepada Allah. Kemudian ia disakiti, dipenjara, diusir, berjihad, mengalami
kelaparan, kedinginan dan kepanasan, serta menghadapi bahaya yang mengancam
jiwanya. Kemudian sesudah itu, apabila umat bermaksud memilih pemimpinnya, maka
peperangan telah memilih pemimpin (bagi mereka) secara alami. Tidak memerlukan
sistem pemilihan suara, dan tidak memerlukan pula sistem pencalonan. Lahirnya
pemimpin itu mellaui proses perjalanan dakwah. Melalui kancah pengorbanan dan
perjuangan. Berapa kali ia turut dalam peperangan? Berapa lama ia berjihad fie
sabilillah? Orang-orang Islam tidak membutuhkan kampanye pemilihan, oleh karena
amal nyatalah yang akan memilih seorang pemimpin!.
Begitu Rasulullah saw wafat, maka umat Islam mengarahkan pandangannya
mencari figur pengganti beliau. Mereka tidak menemukan seseorang yang paling
cocok dan layak untuk menjadi pengganti
beliau selain Abu Bakar. Ia turut dalam seluruh peperangan yang diikuti
Nabi saw. Ia menginfaqkan seluruh hartanya di jalan Allah. Tidak pernah merasa
bimbang terhadap kebenaran Allah dan Rasul-Nya sejak ia masuk Islam. Menanggung
banyak siksaan dan penindasan selama ia berada di jalan Allah. Meninggalkan
keluarganya, meninggalkan istrinya, meninggalkan putra-putrinya di Mekkah dan
berhijrah bersama Rasulullah saw ke Madinah. Para sahabat banyak yang melarikan
diri dari peperangan Uhud, namun Abu Bakar tetap setia mendampingi Nabi saw.
Ketika kaum muslimin lari dari medan pertempuran pada perang Hunain, maka Abu
Bakar tetap setia membela Nabi saw di sampingnya. Tatkala para sahabat pergi ke
peperangan Badar, maka Abu Bakar turut bersama Nabi saw. Sewaktu pertempuran
berkobar dengan sengitnya maka ia berada di bagian depan pasukan Islam. Apakah
lelaki besar semacam ini memerlukan kampanye pemilihan? Memerlukan
slogan-slogan berisi kalimat “Pilihlah calon kalian secara bebas dan
demokratis?” Atau ia melancarkan intrik-intrik dan tipu muslihat untuk
menyudutkan posisi ‘Umar dengan menghasut umat: “Sikap dia sangat keras
terhadap kalian, maka kalian jangan memilihnya. Pilihlah saya!. Oleh karena
saya sangat lemah lembut terhadap kalian, oleh karena saya adalah sahabat
pertama Rasulullah saw…” Tidak!...sekali lagi tidak!!
Bahkan Abu Bakar ketika itu berkata kepada ‘Umar di hadapan kaum Anshar:
“Ulurkan tanganmu wahai ‘Umar, aku akan membai’atmu”. Sementara ‘Umar sendiri
menolak permintaan abu Bakar. Lalu ia menjabat tangan Abu Bakar dan
membai’atnya. Maka para sahabat Anshar tanpa dikomando lagi, mengikuti jejak
‘Umar membai’at Abu Bakar.
Kata ‘Umar: “Andai leherku terjulur ke bawah pedang, lantas pedang itu
menebasnya sampai putus di jalan Allah, adalah lebih baik daripada aku
memerintah umat Islam, yang di dalamnya ada Abu Bakar”.
Apa yang telah kamu sumbangkan untuk ruhmu, dirimu, masyarakatmu, dan
negerimu? Amal kebajikan apa dan jejak terpuji seperti apa yang telah kamu
torehkan dalam catatan (amal)mu? Sampai dimana kamu membina bangunan jiwamu?
Berapa buah batu bata yang telah kamu pasang untuk bangunan jiwamu? Ataukah
kamu masih berada di atas penopang satu buah batu bata, sementara orang-orang
mendahuluimu ke akherat, arwah mereka telah meninggi, dan hati mereka telah
terbebas (bersih) dari segala macam pamrih pribadi.
Setiap orang diantara mereka, yakni para sahabat, tidak menjanjikan sesuatu
apapun untuk dirinya –sebagaimana ucapan Abul Hasan an Nadawi, yang dinukil
oleh Ustadz Sayyid Quthb dalam bukunya: “Tatkala Allah menguji mereka, dan
mereka sabar serta terbebas hati mereka dari pamrih pribadi; sampai Allah
mengetahui bahwa mereka tidak menghendaki sesuatu (pahala) apapun atas amal
yang mereka kerjakan untuk membela Dien ini, maka tahulah Allah bahwasanya
mereka adalah orang-orang yang dapat dipercaya. Kemudian Allah memberikan
kekuasaan kepada mereka di atas bumi dan menjadikan mereka sebagai tirai bagi
kekuatan-Nya”. Kata Abul Hasan An Nadawi lebih lanjut: “Sampai-sampai mereka
tidak menunggu-nunggu kemenangan Dienul Islam, baik itu melalui tangan mereka,
atau melalui tangan putra-putri mereka atau melalui tangan generasi yang akan
datang, yang penting Dienul Islam harus menang”. Maka dari itu, tatkala Ali
r.a. berhasil menduduki dada seorang kafir, dan hampir saja ia membunuhnya,
mendadak orang kafir yang dibunuhnya itu meludahi wajahnya. Maka Ali r.a.
berdiri dan tidak jadi membunuhnya. Maka para sahabat yang melihat peristiwa
itu bertanya: “Wahai Abul Hasan, apa yang terjadi denganmu sehingga kamu
meninggalkannya?” Ali r.a. menjawab: “Tadi saya bermaksud membunuhnya
semata-mata karena Allah, tapi ketika ia meludahi wajah saya, maka saya jadi
urung membunuhnya, sebab saya khawatir, saya melakukan itu karena didorong oleh
rasa kemarahan saya”.
Muhammad Farghali, setelah mengalami penyiksaan yang berat di penjara
polisi Mesir, dibawa ke tiang gantungan.
Sebelum eksekusi dilaksanakan, maka ia sempat berdoa di bawah tiang gantungan:
“Ya Allah, ampunilah aku dan orang-orang yang berbuat jahat kepadaku”.
Jiwa-jiwa (mukmin) ini telah naik pada tingkatan yang tinggi!!.
Ada perbedaan antara sisi kejiwaan ‘Abdul Qadir ‘Audah dan sisi kejiwaan
Muhammad Farghali. Ketika akan digantung, ‘Abdul Qadir ‘Audah berdoa: “Ya
Allah, jadikan darahku sebagai laknat bagi tokoh-tokoh revolusi” (yakni,
tokoh-tokoh dewan revolusi yang dipimpin Gamal ‘Abdul Nasher). Akan tetapi
Muhammad Farghali mengesampingkan (perasaan hatinya) dan berdo’a, “Ya Allah
ampunilah aku dan orang-orang yang berbuat jahat kepadaku"”
Oleh karena Muhammad Farghali menganggap mereka orang-orang Islam. Jiwanya
telah naik tinggi sehingga tidak memberikan janji apapun bagi dirinya sendiri.
Karena itu, tatkala orang-orang mengatakan pada Ibnu Taimiyah, “Alangkah
banyak orang yang bertaubat melalui tanganmu dan kembali kepada Islam!”, maka
Ibnu Taimiyah menjawab: “Tidak ada sesuatupun yang datang dariku, tidak ada
sesuatupun yang ada padaku, dan tidak ada sesuatupun yang kupunya. Semuanya
dari Allah dan akan kembali kepadaNya”.
Kita mau mengetahui jiwa-jiwa yang sabar. Manusia tidak akan sampai pada
tingkatan ihsan selagi ia tidak membiasakan dirinya dengan sabar. Sabar dari
tidur di saat datang keinginan yang kuat untuk tidur. Sabar dari istirahat saat
badan terasa amat capek dan penat. Sabar dari makanan di saat perut lapar,
bahkan mengutamakan kepentingan saudara-saudaranya atas dirinya sewaktu dia
mempunyai makanan.
Pernah suatu ketika Rasulullah kedatangan tamu, namun beliau tidak
mempunyai makanan apapun untuk diberikan kepada mereka. Maka beliau berkata
kepada para sahabatnya:
“Siapa yang bersedia menjamu tamu Rasulullah?”, “Saya ya Rasulullah”. Jawab seorang sahabat
Anshar. Maka kemudian ia pergi membawa tamu itu ke rumahnya. Dia berkata kepada
istrinya: “Muliakanlah tamu Rasulullah saw”. Dalam riwayat lain dikatakan, “Dia
bertanya kepada istrinya: “Adakah kamu mempunyai makanan?”, “Tidak ada, kecuali
makanan untuk anak-anak kita”. Jawab istrinya. Lantas sahabat Anshar tadi
berkata: “Hiburlah anak-anak dan tidurkan mereka. Apabila tamu kita telah
masuk, padamkanlah lampu dan tunjukkan padanya seolah-olah kita juga ikut
makan. Maka mereka bertiga duduk dan tamu itu makan sampai kenyang, sedang ia
sekeluarga bermalam dengan perut keroncongan”.[1]
Ketika daerah Chouni berhasil direbut oleh Mujahidin Afghan dari tentara
komunis, maka kami pergi ke sana. Kami disambut oleh komandan Muhammad Na’im.
Komandan yang satu ini adalah anggota Jamaah Tabligh. Sebenarnya, jamaah
Tabligh membina para pengikutnya menjadi orang-orang berakhlaq tinggi. Dan
senyatanyalah bahwa saya merasa kagum dengan adab mereka. Mereka mempunyai
sifat-sifat terpuji yang jarang dimiliki oleh sebagian penuntut ilmu di masa
sekarang. Diantara sifat mereka yang terpuji itu ialah mencintai ulama dan
menunjukkan adab yang baik terhadap mereka. Sekarang ini sebagian besar
penuntut ilmu kehilangan sifat tersebut. Sekarang ini, dalil ilmu adalah
berlaku lancang pada para ulama dan berani terhadap mereka. Dan hampir-hampir
ia mencungkil mata anda dengan ujung jarinya. “Apa dalil anda?” Tanyanya seraya
menjulurkan ujung jarinya ke muka anda!
“Saya berpendapat tidak demikian!” Bantahnya.
Mereka bersikap lancang terhadap Abu Hanifah... terhadap An Nawawi... dan
imam-imam besar yang lain. Dengan telunjuk jarinya ia berkata, “Siapa Abu
Hanifah itu?!” , seakan-akan beliau itu orang biasa yang ada di jalanan.
Saya merasa kagum dengan kecintaan para pengikut Jama’ah Tabligh terhadap
para ulama, dengan ketawadhu’an mereka, dengan kezuhudan mereka, dengan
pengorbanan mereka. Memang benar mereka tidak berjihad (dalam makna qital) akan
tetapi pengorbanan waktu mereka, pengorbanan harta mereka dan kesiapan mereka
berkeliling bumi untuk berdakwah patut dipuji. Terkadang setahun penuh mereka
meniggalkan keluarganya, meninggalkan pekerjaannya, meninggalkan perniagaannya.
Muhammad Na’im, yang menaklukkan daerah Chouni berasal dari Jama’ah
Tabligh, dan cara kehidupan orang-orang Jama’ah Tabligh membekas kuat pada
dirinya. Dia adalah komandan Mujahidin yang bernaung di bawah tandzim
Hekmatiyar. Dia masih muda. Umurnya sekitar 27 tahun. Kakinya putus, dan dia
pincang. Dia datang untuk menyambut kami. Dia duduk di sebelah saya. Ketika
makanan dihidangkan, saya katakan padanya: “Ya akhie, silahkan makan”.
“Alhamdulillah, ya saya akan makan”. Katanya seraya menjulurkan tangannya
mengambil secuil atau dua cuil roti yang telah dicampur dalam kuah. Dia tidak
mengambil daging. Dilihatnya hanya sedikit daging yang ada di hadapan kami.
Lalu dia pergi sebentar dan kemudian membawa piring besar. Di dalamnya ada
sepotong daging besar dan kuah. Lalu saya persilahkan dia: “Ya akhie Muhammad
Na’im silahkan makan”, “Ya saya akan makan”. Jawabnya seraya menjulurkan
tangannya mengambil secuil roti yang telah dicampur dalam kuah. Apakah dia
menyentuh daging? Tidak, sama sekali dia tidak menyentuh daging. Sayapun malu
untuk mengambil daging, dan saya berkata dalam hati: “Akan saya tinggalkan
daging itu untuk dia karena dia belum makan daging”. Kebetulan di samping saya
duduk salah seorang ikhwan (Arab yang datang bersama saya). Adapun ikhwan yang
duduk di samping saya meskipun dia melihat komandan Muhammad Na’im tidak
menyentuh daging, tapi dia tetap saja memakan daging dan roti. Saya ingin
ikhwan tadi tergugah dengan adab Komandan Muhammad Na’im. Hampir saja saya
mengingatkannya: “Jangan sentuh lagi daging itu!” Supaya dia belajar menjadi
orang yang beradab.
Syahwat manusia itu tiada pernah berakhir. Pemuda bernama Muhammad Na’im
ini telah memberi pelajaran pada saya dalam hal itsar (mengutamakan
orang lain daripada diri sendiri), adab dan sabar. Dialah komandan yang merebut
kota Chouni. Kami berada di rumahnya, namun demikian dia hanya makan dua suap roti
yang telah dicampur di dalam kuah. Saya mencuil dua potongan daging kecil
untuknya dan meletakkan di hadapnnya. Saya tidak tahu, apakah dia memakannya
atau tidak?
Sabar.…..Pada saat kamu bersabar atas dirimu, maka
kesabaran itu akan mendorong dirimu untuk mengutamakan kepentingan
saudara-saudaramu atas kepentingan dirimu sendiri. Yang pertama wahai
saudaraku, pegang eratlah batas-batas yang mesti kamu jaga, bersabarlah atas
syahwatmu, dan jangan mendhalimi hak-hak orang lain. Apabila kamu mampu bersabar
pada tahapan ini, maka kamu akan berpindah pada tahapan yang kedua, yakni,
mengutamakan kepentingan saudaramu, dan mencintai bagi diri saudaramu sesuatu
yang kamu cintai bagi dirimu sendiri.
Apa beda antara orang yang paling kaya dengan orang yang paling miskin di
dunia ini? Orang yang paling miskin di dunia mungkin makan roti (nasi) saja
tanpa daging, sementara orang yang paling kaya makan roti (nasi) dan daging.
Tetapi justru terkadang orang miskin yang tidak makan daging itu bisa menikmati
setiap suap makanan yang ia masukkan ke dalam perutnya. Kemudian setelah makan
ia berdoa: “Alhamdulillahil ladzi ath’amanaa wa saqaana wa ja’alanaa minal
muslimin (Segala puji bagi Allah yang telah memberi makanan kami, dan telah
memberi minum kami, dan telah menjadikan kami termasuk golongan orang-orang
Islam).
Sementara orang yang kaya tadi tidak bisa menikmati lezatnya makanan. Oleh
dokter dia dilarang makan daging berlemak, mentega, manis-manisan dan berbagai
jenis makan yang lain, karena ia
terserang berbagai penyakit. Allah mencegahnya dari berbagai macam kenikmatan.
Pada bulan Ramadhan, mereka yang mengerjakan shalat malam adalah mereka
yang mendapat keberuntungan. Karena apa? Karena manusia pada umumnya suka
tidur. Setiap hari sesudah waktu berbuka, biasanya seorang menjadi malas dan
menghabiskan waktunya untuk bersantai-santai. Kepada dirinya ia akan berkata:
“Nanti pada malam yang akhir aku akan shalat malam”. Tetapi malam yang akhir
telah berlalu, sementara ia malas untuk bangun. Atau jika ia ikut Shalat Taraweh
berjama’ah, dan Imam sedikit memanjangkan bacaannya, maka ia akan menjadi kesal
dan menggerutu: “Ya akhie, jangan panjangkan bacaan shalatnya”. Atau “Ya akhie,
kami capek”. Protesnya.
Sabar atas yang sedikit, itulah yang akan mengangkat derajatmu secara
berangsur-angsur di sisi Yang Maha agung.
Sampai-sampai ahli dunia sekalipun, sangat menekankan diri mereka untuk
bersabar dalam segala urusan. Ahmad Amin pernah menulis surat untuk putranya.
Dalam surat tersebut ia memberi nasehat: “Wahai anakku, saya ingin kamu menahan
rasa lapar supaya kamu dapat merasakan lezatnya makanan. Saya ingin kamu tidak
tidur semalaman supaya kamu dapat merasakan nikmatnya tidur. Saya ingin kamu
menahan rasa haus supaya kamu dapat merasakan nikmatnya air”. Ahmad Amin mengajarkan
kesabaran pada putranya.
Dalam halaqah ta’lim, Abu Hanifah melazimi cara duduknya penuntut ilmu
(santri) terhadap muallim (kyai/ustadz). Yakni duduk di atas lutut seperti
duduk tasyahud. Suatu ketika Abu Hanifah pegal kakinya tapi ia malu menjulurkan
kakinya karena dihadapannya banyak orang, meski ia adalah syeikh (kyai) mereka.
Ketika murid-murid yang mengelilinginya melontarkan berbagai macam pertanyaan
ringan, sementara dia sudah sangat capek, maka Abu Hanifah berkata: “Telah tiba
waktunya bagi Abu Hanifah untuk menjulurkan kakinya”.
Al Jahizh menceritakan tentang seorang Qadhi di kota Basrah. Qadhi ini
punya rutinitas harian sebagai berikut: Fajar ia datang ke masjid untuk
menunaikan shalat Shubuh. Selesai shalat Shubuh ia duduk dan mengadili perkara
orang-orang. Selama ia duduk mengadili orang, maka sama sekali ia tidak
menoleh-noleh, mengejap-ngejapkan mata atau minta makan dan minum. Ia terus
mengadili perkara orang dan tidak bangkit dari duduknya sampai adzan Dhuhur
dikumandangkan. Kemudian ia berdiri untuk mengimami shalat tanpa berwudhu lagi.
Yakni masih dengan wudhu’ shalat Shubuhnya. Selesai shalat Dhuhur, ia duduk
kembali untuk mengadili perkara. Demikian itu terus berlangsung sampai shalat
‘Isya, sedangkan ia masih tetap dengan wudhu shalat Shubuhnya, dan tidak
berdiri diantara dua waktu shalat.
Pada suatu hari, seekor lalat hinggap di wajahnya dan menggerumuti sudut
dalam matanya. Tapi ia sabar sehingga lalat itupun bertambah leluasa
menggerumuti wajahnya. Ia tidak hendak mengangkat wajahnya untuk mengusir lalat
tersebut. Hati dan konsentrasinya terpusat pada perkara dan manusia yang duduk
dihadapannya. Kemudian sewaktu lalat tersebut menggerayang dan berpindah ke
mata yang satunya, ia tetap bersabar dan tetap konsentrasi dengan tugasnya. Dan
akhirnya ia mengangkat wajahnya dan mengusir lalat yang mengganggunya itu. Ia
berujar: “Maha benar Allah yang Maha agung (dengan firmanNya):
“Hai manusia, telah dibuat perumpamaan, maka dengarkanlah
olehmu perumpamaan itu. Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah
sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor lalatpun. Walaupun mereka bersatu
(bahu-membahu) untuk menciptakannya. Dan jika lalat itu merampas sesuatu dari
mereka, tiadalah mereka dapat merebutnya kembali dari lalat itu. Amat lemahlah yang
meminta (menyembah) dan amat lemah (pulalah) yang dimintai (disembah)”. (Qs. Al
Hajj: 73).
Lalu Sang Qadhi itu meminta maaf pada orang-orang karena dia telah
mengangkat kepalanya.
Kalian lihat orang-orang yang menuntut ilmu dalam halaqah ta’lim mengitari
Syeikhnya. Semuanya melazimi cara duduk seperti duduknya Jibril a.s. ketika
berhadapan muka dengan Nabi saw. Yakni duduk di atas lutut, seperti duduk
tasyahud dalam shalat. Tak seorangpun diantara mereka bermain-main, atau
bersenda gurau atau memasukkan telunjuk jarinya ke dalam lubang hidungnya
(baca: mengupil) atau menggerak-gerakkan telinganya, atau memain-mainkan
jenggotnya. Demikianlah sampai ta’lim selesai. Sekarang, tengoklah ikhwal
orang-orang yang menuntut ilmu dalam halaqah ta’lim. Kalian dapati yang satu
menjulurkan kedua kakinya, yang satu lagi tidur bersandar pada punggungnya,
yang lain mengupil hidungnya mengeluarkan kotoran hidungnya di hadapan
ustadznya. Yang seperti ini tidak kalian dapati pada orang-orang yang menuntut
ilmu di zaman dahulu.
Rasulullah saw pada malam pernikahannya dengan Zainab duduk bersama para
sahabat di ruang depan rumahnya. Hari sudah larut malam sehingga kepala Zainab
r.a. terantuk-antuk saking kantuknya menunggu masuknya Rasulullah saw.
Sementara beliau saw di ruang depan juga sudah mengantuk, namun para sahabat
tidak tanggap dengan keadaan beliau, mereka merasa senang bisa duduk-duduk
bersama Rasulullah saw. Sampai akhirnya Allah ‘Azza wa Jalla menurunkan ayat:
“Wahai orang-orang beriman, janganlah kamu memasuki
rumah-rumah Nabi kecuali bila kamu diidzinkan untuk makan tanpa menunggu-nunggu
waktu masak (makanannya), tetapi jika kamu diundang maka masuklah dan bila kamu
selesai makan, keluarlah kamu tanpa asyik memperpanjang percakapan.
Sesungguhnya yang demikian itu akan mengganggu Nabi lalu nabi malu kepadamu
(untuk menyuruh kamu keluar). Dan Allah tidak malu (menerangkan) yang benar”.
(Qs. Al Ahzab: 53).
Sabar…...Seorang juru dakwah harus mampu bersabar terhadap dirinya dan
orang lain. Seorang yang bergaul dengan manusia dan bersabar atas gangguan
mereka lebih baik daripada seorang yang tidak bergaul dengan manusia dan tidak
bersabar atas gangguan mereka.
Maka dari itu, kesabaran merupakan sesuatu yang sangat vital bagi seorang
mukmin. Oleh karena Ribath tegak di atas kesabaran, tidak ada jihad tanpa
sabar, tidak ada ribath tanpa sabar, tidak ada ibadah tanpa sabar, khususnya
ibadah jihad.
Karena pentingnya sabar itulah, maka Allah Ta’ala berfirman:
“Wahai orang-orang beriman, jadikanlah sabar dan shalat
sebagai penolongmu*), sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar”. (QS
Al Baqarah: 153).
*) Adapula yang mengartikan: Mintalah pertolongan (Allah) dengan sabar dan
shalat.
Demi Allah, sebagian ikhwan di Qahirah membuat diri saya
kagum. Mereka tidak mau minum teh supaya tidak menjadi pecandu atas sesuatu
apapun. Sekarang bagaimana hukumnya dengan teh?...Bagaimana hukumnya dengan
rokok?...Banyak manusia yang tidak dapat melepaskan diri dari belenggu
nafsunya. Mereka mencandu hal-hal yang remeh dalam kehidupannya. Umpamanya:
kopi, teh, rokok dan lain-lain. Mereka yang sudah kecanduan kopi, akan menjadi
kurang bergairah dan kacau fikirannya, apalagi kebetulan tidak meminumnya.
Kita mau menundukkan seluruh dunia di bawah telapak kaki kita. Apabila kita
mampu mengatasi syahwat kita, maka dunia seluruhnya dapat kita injak dengan
kaki kita. Demi Allah, wahai saudara-saudara!! Seorang mukmin yang teguh
bersandar pada kesabaran, akan membuat dunia tunduk di bawah kakinya. Para
penguasa thaghut nampak kecil dalam pandangan matanya. Mengapa demikian? Karena
ia sabar terhadap kemewahan dunia.
Kesabaran inilah yang membuat ‘Abdul Nasher gentar pada Sayyid Quthb.
Ketika Sayyid Qutb meringkuk dalam penjara, ia ditawari dunia –yakni, jabatan
menteri- oleh penguasa thaghut, namun ia bersabar atas syahwat dunia. Lalu ia
menulis surat balasan pada Gamal Abdul Nasher, isi surat itu mengatakan: “Sesungguhnya
telunjuk jari yang bersaksi akan keesaan Allah di dalam shalat, menolak menulis
satu huruf pun untuk mengakui pemerintahan thaghut”.
Inilah tauhid. Adalah kalian menyangka bahwa tauhid itu dengan surat
pembelaan dan eksepsi? Tiap hari menyampaikan kartu ucapan terima kasih pada
kepala polisi, kepala dinas intelegent, dan lain-lain?
Sayyid Quthb divonis hukuman mati, lalu mereka membujuknya, “Mintalah
keringanan hukuman”. Namun ia menolak dengan tegas, “Mengapa saya mesti minta
keringanan hukuman? Jika saya dihukum dengan alasan yang hak, maka saya rela
dengan keputusan yang hak. Dan jika saya dihukum dengan alasan yang batil, maka
diri saya terlalu besar untuk minta keringanan pada yang batil”.
Jika demikian siapa sebenarnya yang terpidana? Dan siapa yang pemegang
keputusan? Adakah Sayyid quthb terpidana? Tidak...’Abdul Nasherlah yang
sebenarnya terpidana. Dan pemegang keputusan yang sebenarnya adalah Sayyid
Quthb...
“Keputusan (hukum) itu hanyalah kepunyaan Allah”. (Qs.
Yusuf: 40).
Pada tanggal 27 Agustus 1966 M. ‘Abdul Nasher menandatangani surat
keputusan eksekusi hukuman mati bagi Sayyid Quthb. Lalu ia mengirim Hamzah
Baisuni untuk membujuk Sayyid Quthb. “Katakan kepada Sayyid Quthb, apabila dia
bersedia minta maaf, maka kami akan meringankan hukumannya”. Katanya memerintah
Hamzah Baisuni. Hamzah Baisuni tidak berani mendatangi sendiri Sayyid Quthb, ia
menemui adik perempuan Sayyid Quthb, yakni Hamidah Quthb, dan meminta dia agar
mau membujuk abangnya.
Hamidah menuturkan kisah tersebut: “Hamzah Baisuni memanggil saya dan
mengatakan: ‘Bacalah surat keputusan ini!’ Lalu surat itu saya baca: “Telah
diputuskan hukuman mati bagi Sayyid Quthb, Muhammad Yusuf Hawwasy dan ‘Abdul
Fatah Isma’il”. Lalu ia mengatakan kepada saya: “Kita masih punya kesempatan
terakhir untuk menyelamatkan Ustadz, oleh karena malam hari nanti, hukuman mati
itu akan dilaksanakan padanya. Jika ia mau minta maaf, maka kami akan
meringankan hukuman matinya. Setelah enam bulan, kami akan mengeluarkannya dari
penjara dengan alasan kesehatan. Maka cepatlah menemuinya, dan bujuklah dia”.
Lalu saya bersegera mendatangi Sayyid Quthb dan mengatakan: “Mereka mengatakan
pada saya, jika kamu bersedia minta maaf, maka hukuman matimu akan dibatalkan.
Setelah enam bulan kamu akan dikeluarkan dengan alasan kesehatan”. -Kisah ini
diceritakan oleh saudara perempuan Sayyid Quthb sendiri pada saya-. Lalu Sayyid
Quthb berkata: “Atas dasar kesalahan apa saya harus minta maaf? Demi Allah!,
seandainya saya beramal untuk seseorang selain Allah, pasti aku bersedia
meminta maaf. Akan tetapi saya tidak akan minta maaf karena beramal untuk
Allah. Tenanglah wahai Hamidah, jika umur telah habis, maka hukuman itu akan
tetap terlaksana. Jika umur saya belum masanya habis maka hukuman mati itu
tidak akan terlaksana. Permintaan maaf sama sekali tidak mempercepat maupun
mengulurkan ajal”.
Sabar dengan tauhid. Tauhid Uluhiyah yang ia wujudkan dan ia terjemahkan
dalam sikap dan perbuatannya.
Wahai saudara-saudaraku!!
Sadarilah pahala yang amat besar ini,
jagalah (perintah) Allah, jagalah hak-hak-Nya dengan menjaga rasa
persaudaraan di antara kalian, dengan jalan mentaati amir kalian, dengan jalan
mengekang lidah kalian. Jagalah ibadah kalian kepada-Nya dengan menyingkirkan
rasa bangga diri, mengenyahkan sifat ujub, dan berusaha agar ibadah tersebut
tetap menjadi rahasia antara diri kalian dengan Pencipta kalian. Kecuali
menampakkan ibadah untuk tujuan memompa semangat bagi yang lain, maka yang
demikian itu tidak mengapa asal diri kalian bisa selamat dari perasaan bangga
dan niat kalian tetap ikhlas mencari keridhaan Allah bukan sanjungan manusia.
Kita ingin menggembleng diri kita di atas kesabaran. Sebab ribath tanpa
disertai kesabaran, tidak akan mungkin. Dan jihad tanpa disertai sabar serta
ribath, tidak akan mungkin. Oleh karena serangan hanya dilakukan sekali dalam 3
bulan atau 4 bulan. maka sebelum waktu penyerangan itu datang, kamu harus
bersabar dan tetap bersiaga.
Dalam sebuah sya’ir dikatakan:
Jangan kau kira kemuliaan adalah biji korma yang mudah kau telan.
Kemuliaan itu tiada mungkin dapat kau raih, sampai engkau menelan
pahitnya kesabaran.
Tidak ada komentar