Select Menu
Select Menu

Favorit

Buku Referensi

Buku

Pergerakan Islam

Tokoh

Rumah Adat

Syamina

Pantai

Seni Budaya

Kuliner

» » » Pelajaran Bersama Hati


Unknown 05.12 0

“Wahai orang-orang yang beriman bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu serta tetaplah berribath (bersiap siaga di perbatasan negerimu) dan bertaqwalah supaya kamu beruntung”. (Qs. Ali Imran : 200)

Allah ‘Azza wa Jalla mengikat keberuntungan/kemenangan di dunia dan di akherat dengan tiga faktor. Yakni: Sabar, Ribath dan Taqwa.



Unsur Penopang Ribath

Sabar dan taqwa adalah dua penopang fundamental dari penopang-penopang Ribath, karena tiada ibadah yang melebihi Ribath dalam hal kesulitannya. Oleh karena yang ada dalam Ribath adalah kekosongan, kejenuhan, kesiapsiagaan dan penantian yang tidak pasti batas waktunya. Bisa jadi engkau tinggal sebulan di atas puncak-puncak gunung atau di dasar lembah. Tak melihat orang lain di sekitarmu kecuali empat atau lima orang yang berada satu kemah denganmu. Padahal hati manusia memiliki tabi’at suka/ingin bercampur gaul dengan orang ramai. Suka melihat orang, senang dan merasa terhibur melihat orang-orang yang dikenalnya. Merasa kesepian apabila berada iauh dengan ibunya, bapaknya, familinya, kota kelahirannya, orang-orang yang dicintainya, dan sebagainya. Ia akan merasa kesepian kecuali jika Allah melapangkan dadanya untuk menyenangi ibadah yang tengah dijalaninya.


Oleh karena itulah, maka Allah ‘Azza wa Jalla berkenan melapangkan dada sebagian orang-orang shaleh untuk ber’uzlah. Mereka senang berada jauh dari keramaian manusia untuk berribath, untuk mencari ilmu, untuk berdzikir agar mereka selalu dekat dengan Rabb mereka. Lantas bagaimana jika dzikir, ibadah, ribath, jihad dan khalwat bergabung menjadi satu, maka amalan apa yang dapat menandinginya?.

Ribath atau jihad yang disertai khalwat adalah dua jalan paling utama yang ditunjukkan oleh Rasulullah saw. Sebagaimana hal tersebut tertuang dalam isi hadits berikut ini:


“Suatu ketika para sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, siapakah manusia yang paling utama itu?” Beliau menjawab: “Seorang mukmin yang berjihad dengan harta dan jiwanya di jalan Allah”. Lalu mereka bertanya lagi: “Kemudian siapa lagi?”, Beliau menjawab:  “Orang mukmin yang menyendiri dalam sebuah syi’ib (celah lembah), beribadat kepada Allah dan menjauhkan diri dari kejahatan manusia”. (HR. Bukhari Muslim)


Adapun kalian di sini telah menggabungkan dua hal yakni: jihad fii sabilillah dan ibadah kepada Allah Azza wa Jalla di tempat yang terasing.


Kalian berada di syi’ib yang menjadi tempat kalian. Kalian beribadah kepada Allah dan menjauhkan diri dari kejahatan manusia.


Ribath tegak di atas landasan sabar. Hati yang tidak memiliki kesabaran, tidak akan dapat menjalankan ibadah secara konsisten. Hati yang tidak memiliki kesabaran, tidak mempunyai iman yang sempurna. Kedudukan sabar dalam iman tak ubahnya seperti kedudukan kepala bagi anggota tubuh. Sebagaimana tidak ada jasad (anggota tubuh) tanpa kepala, maka demikian juga tidak ada iman tanpa ada sabar.


Seluruh ibadah membutuhkan kesabaran. Mengerjakan shalat malam membutuhkan kesabaran. Bangun di waktu fajar untuk mengerjakan shalat Subuh membutuhkan kesabaran. Shiyam membutuhkan kesabaran. Haji membutuhkan kesabaran. I’dad membutuhkan kesabaran... Semuanya membutuhkan kesabaran dan harus disertai dengan kesabaran.


Sesuatu yang menjadi lawan sabar adalah melampiaskan syahwat/nafsu. Setiap kali hati menginginkan sesuatu, maka si empunya hati memberikannya. Jika perut lapar, maka ia akan makan. Jika hati menginginkan buah-buahan, maka ia akan membeli dan kemudian memakannya. Jika nurani menginginkan tidur, maka iapun tidur. Jika hati ingin berkumpul dengan orang, maka ia akan pergi ke Amerika, ke Eropa,, ke Bangkok, ke stadion-stadion olahraga serta ke tempat-tempat lain yang disukainya.


Oleh karena itu jika seseorang mampu memutuskan syahwatnya, maka ia akan sabar. Apabila ia mampu meninggalkan syubhat (sesuatu yang masih diragukan), maka ia akan yakin. Sebagian besar kesesatan yang menimpa manusia disebabkan oleh syubhat dan syahwat.


Memenuhi syahwat, meskipun terhadap yang halal, akan menyebabkan hati menjadi lembek (tidak tegar), dan membawa kepada sikap negatif seperti: royal, bersenang-senang, bermewah-mewahan, dan senang menikmati kehidupan dunia. Sikap inilah yang diperangi oleh Dienul Islam, karena sikap tadi bertentangan dengan sikap zuhud dan bertentangan dengan sabar yang menjadi landasan jihad. Dan jihad adalah tiang kehidupan ummat.


Maka dari itu:


Tentanglah nafsu dan syetan, serta jangan ta’ati keduanya//


Jika keduanya memberikan nasehat yang tulus padamu, maka curigailah//


Hati itu selalu ingin mengikuti syahwat dan syubhat. Oleh karena itu, jika kamu mampu melawan hatimu dengan meninggalkan syahwat, maka sesungguhnya kamu telah menjadi orang yang sabar. Dan jika kamu mampu melawan hatimu dengan meninggalkan syubhat, maka sesungguhnya kamu telah menjadi orang yang yakin. Jika sudah demikian halnya, maka kamu telah mulai melangkah di atas jalan para pemimpin agama.

Allah Ta’ala berfirman:


“Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami tatkala mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami”. (Qs. As Sajdah : 24)


Sebagaimana ucapan Ibnu Qayyim:

“Imamah fiddien (kepemimpinan dalam agama) tidak akan diberikan kecuali dengan sabar dan yakin”. Kemudian beliau membaca ayat di atas.


Demi Allah, wahai saudara-saudaraku!

Tiadalah manusia menjadi hina, bangsa-bangsa menjadi binasa, tempat-tempat suci diinjak-injak, harta benda dijarah, dan kehormatan dirusak; jika bukan karena ketidaksabaran mereka terhadap syahwat.


Adalah Rasulullah saw mempunyai perkebunan korma yang luas di daerah ‘Fadak’, yakni tanah perkebunan yang didapatnya dari harta rampasan dalam peperangan Khaibar. Sebagaimana firman Allah Ta’ala dalam surat Al Anfal ayat 41:


“Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kalian peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlimanya adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan Ibnus sabil”.


Kendati demikian ‘Aisyah pernah mengatakan:


“Belum pernah keluarga Muhammad merasakan kenyang dari roti tepung sya’ir sampai dua hari berturut-turut”. (HR. Bukhari Muslim).


Pernah suatu ketika dihidangkan daging kambing bakar di hadapan sahabat Anas. Melihat itu, dia menangis dan berkata, “Sungguh Rasulullah saw telah meninggal dunia, sementara beliau tidak pernah (merasakan) daging kambing bakar ataupun makan roti yang lunak”.


Mengapa harus berlaku zuhud? Mengapa harus berlapar-lapar? Yang demikian itu maksudnya adalah untuk memerangi kemewahan pada diri manusia, memerangi syahwat, dan menyabarkan hati agar tetap dalam keta’atan.


Dan inilah kisah tentang kezuhudan ‘Umar r.a. Pada suatu ketika kota Madinah dilanda paceklik, sehingga banyak penduduk yang kelaparan. Maka ‘Umar sebagai Khalifah merasa prihatin dengan keadaan tersebut. Lalu iapun bersumpah tidak akan mengecap daging maupun mentega sampai ia melihat kehidupan kaum muslimin menjadi baik dan tidak kelaparan lagi.


Lalu apa yang ia makan? Tidak ada makanan apa-apa selain roti kering. Sehigga beberapa waktu kemudian ia diserang penyakit wasir. Ususnya kering dan bernanah pada pangkalnya. Darah keluar bersama beraknya. Kulitnya menghitam. Maka orang-orangpun berkata,: “Siapa yang berani bicara pada ‘Umar”. “Tidak ada yang berani bicara pada ‘Umar selain Ummul Mukminin Hafshah, putrinya”. Jawab sebagian yang lain. Lalu mereka mendatangi Hafshah dan memintanya berbicara pada ‘Umar. Hafshah menyanggupi, dan kemudian ia mendatangi rumah bapaknya. Sesampainya di sana, ia mengingatkan ‘Umar supaya mau menjaga kesehatan tubuhnya. Ia berkata: “Sesungguhnya, wahai ayah, tubuhmu mempunyai hak yang harus ayah penuhi. Dengan cara yang seperti ayah lakukan ini, justru membuat payah diri ayah sendiri”, atau sebagaimana kata Hafshah. Maka ‘Umar menjawab: “Wahai Hafshah, bukankah engkau telah memberitahuku bahwa Rasulullah saw hanya mempunyai satu selimut, dimana pada musim dingin, beliau melipat separuh dari selimut itu untuk alas tidurnya dan separuhnya lagi untuk menutupi bagian atas tubuhnya. Dan pada musim panas beliau melipat kain selimut itu untuk alas tidurnya? Wahai Hafshah, bukankah telah aku beritahukan bahwa Rasulullah saw tidak pernah merasakan kenyang dari roti tepung sya’ir sampai dua hari berturut-turut? Wahai Hafshah bukankah engkau telah mengerti bahwa Rasulullah saw pernah mengganjal perutnya dengan dua buah batu karena lapar?” Demikianlah, ‘Umar mempertahankan sikapnya dengan mengemukakan alasan yang membuat Hafshah tidak berkutik, dan akhirnya ia meninggalkan rumah ayahnya.


Memerangi syahwat pada waktu manusia dapat makan. Inilah yang perlu kita lakukan, sebab nafsu selamanya tidak akan pernah merasa puas/kenyang. Mengenyangkan nafsu ibarat seperti orang kehausan yang minum air laut untuk menghilangkan dahaganya. Semakin banyak yang ia minum, maka semakin bertambah kuat rasa hausnya oleh karena air laut asin rasanya.


Konon orang-orang Romawi dahulu biasa mengumbar nafsu perutnya dengan memakan berbagai jenis masakan dan berbagai jenis buah-buahan sehingga akhirnya mereka tidak dapat menikmati lezatnya makanan. Lalu mereka berpuasa agar dapat mengecap kembali lezatnya makanan. Mereka tenggelam dalam kehidupan seksual, sampai-sampai kaum lelakinya merasa bosan/tidak tertarik terhadap kaum wanita. Lalu mereka menjauhkan diri dari kehidupan kota sampai mereka merasa rindu pada wanita.


Orang-orang Eropa telah membuka pintu seks lebar-lebar dalam kehidupan mereka, sehingga akhirnya masalah seks menjadi kebutuhan utama mereka sebagaimana makanan, minuman dan udara. Kendati demikian berbagai kasus pemerkosaan, sex affair, berbagai macam penyakit kelamin dan lain sebagainya tidak pernah berakhir. Itu sudah pasti! Oleh karena syahwat tidak akan pernah kenyang. Semakin diberi kepuasan, maka ia akan semakin bertambah lahap dan rakus saja.


Pernah suatu ketika sahabat Jabir pergi ke pasar. Di tengah jalan ia berpapasan dnegan ‘Umar r.a. lalu ia ditanya: “Kemana kamu akan pergi hei Jabir?” Jabir menjawab: “Saya ingin sekali makan daging, maka saya hendak membeli daging 1 dirham. “Mendengar jawaban Jabir, maka ‘Umar berkata menegur: “Wahai Jabir, apakah setiap kali kamu menginginkan sesuatu, maka kamu membelinya?”


Pernah pada suatu ketika, Khalifah ‘Umar diberi jamuan makan. Lalu ia menangis dan lantas berdiri, para sahabatpun keheranan dan menanyakan padanya “Apa gerangan yang terjadi denganmu wahai Amirul Mukminin?” Ia menjawab: “Saya khawatir pada hari kiamat nanti akan dikatakan kepada kita:


“Dan (ingatlah) hari (ketika) orang-orang kafir dihadapkan ke neraka (kepada mereka dikatakan): “Kalian telah menghabiskan rezki kalian yang baik dalam kehidupan dunia kalian, dan kalian telah bersenang-senang dengannya, maka pada hari ini kalian dibalas dengan siksa yang menghinakan karena kalian dahulu menyombongkan diri di muka bumi tanpa hak dan karena kalian telah fasik”. (Qs. Al Ahqaaf : 20)


Maka dari itulah, zuhud dan memerangi syahwat dalam diri merupakan hal yang dituntut dari setiap orang beriman. Oleh karena jiwa seseorang tidak mungkin akan naik ataupun tinggi kalau dia belum mampu mengatasi syahwatnya dan hawa nafsunya. Jiwa seseorang yang dibelenggu oleh syahwatnya, tidak akan mungkin berani turun menghadapi musuh dalam kancah peperangan.


Karena itu, jika kamu ingin tetap melangkah di atas jalan menuju (keridha’an) Allah ‘Azza wa Jalla, maka kendalikanlah dirimu dan kekanglah nafsumu. Sayang sekali ilmu ini tidak diajarkan di Universitas-universitas ataupun di sekolah-sekolah, yakni ilmu suluk (budi pekerti/akhlaq), Ilmu Madarijus Salikin (Jalan orang-orang yang menempuh perjalanan) pada maqam (firman Allah) “Iyyaka na’budu wa iyyaaka nasta’iin”.


Ilmu ini hilang, karena tidak ada murabbinya. Tidak diajarkan baik di Jami’ah Al Azhar maupun di Fakultas-Fakultas Syari’ah, ilmu Suluk atau ilmu Akhlaq atau ilmu Tarbiyah.

Maka terkadang kamu temukan seorang pemuda yang hafal -Masya’allah- banyak kitab dan banyak hadits. Kitab “Riyadhush Shalihin” telah dibacanya dari dulu, kitab “Raudhatun Nazhir” telah dipelajarinya, kitab “Nailul Authar” telah ditelaahnya, kitab “Subulus Salam”, kitab “Fat-hul Baari”, dan lain-lain; bukan sesuatu yang asing baginya. Namun kamu dapati dia tidak mengerjakan shiyam  tathawwu’ (sunnah), tidak mengerjakan shalat malam, tidak mengerjakan shalat nawafil, dan mengambil rukhsah (keringanan) di manapun dia mendapatkan kesempatan. Mengapa demikian? Hatinya mati, jiwanya sakit, tidak terbina ruhaninya. Dan syahwat  -Masya’allah-  telah menguasai dirinya.


Teladan Yang  Perlu  Ditiru


Demi Allah, Kamal as Sananiri –rhm-, yang telah ditunjuk oleh ikhwan-ikhwan sebagai mas’ul mereka dalam penjara, menceritakan kepada saya bahwa ikhwan-ikhwan yang berada dalam penjara mempraktekkan betul rasa sepenanggungan sosial. Setiap ikhwan harus makan seperti yang lain. Mereka harus membelanjakan uang seperti yang lain. Mereka harus minum seperti yang lain. Siapapun yang mendapat kiriman uang dari luar, maka uang itu akan diserahkan kepada Kamal As Sananiri. Dan ia akan mengeluarkan penggunaan uang itu untuk kepentingan mereka bersama. Katanya: “Demi Allah, pernah suatu hari seorang ikhwan mendapatkan kiriman sebiji coklat. Kamu tahu bahwa di dalam penjara permen coklat sungguh sangat bernilai/berarti sekali. Permen coklat itu berpindah dari satu tangan ke tangan yang lain, sampai tujuh orang banyaknya, dan kembali lagi kepada orang yang pertama kali memberikannya”.


Dia berkata: “Saya membandingkan antara ikhwan-ikhwan dengan orang-orang komunis yang ada dalam penjara. Yakni, para pimpinan Partai Komunis yang terbongkar rencana mereka yang hendak melancarkan kudeta terhadap rezim Gamal ‘Abdul Nasher. Mereka ditangkap dan dimasukkan ke dalam penjara. Andaikan kudeta mereka berhasil, pasti merekalah yang memegang kekuasaan di negeri Mesir, Kepala negara tentulah mereka pegang, Perdana Menteri pastilah dari mereka dan para menteri-menteri, pastilah dari tokoh-tokoh penting mereka. Tetapi karena gagal, mereka ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara bersama kami”.


Dia melanjutkan: “Ada seorang komunis yang dahulu menjadi dosen di universitas besar dan ternama. Istrinya membezuk dia dan membawakannya daging ayam. Lalu ia menaruh daging ayam itu di dalam pangkal lengan bajunya, atau menyembunyikannya di bagian dalam lengan bajunya. Lantas ia datang ke ruang sel ikhwan dan memakan daging ayam itu jauh dari kawan-kawannya. Dia baru kembali menemui kawan-kawannya setelah melahap habis daging ayam kiriman istrinya”.


Kamal as Sananiri bercerita lebih lanjut: “Orang-orang komunis itu merasa cemburu terhadap kesetiakawanan dan rasa sepenanggungan yang diperlihatkan oleh ikhwan-ikhwan. Mereka bermaksud mempraktekkan rasa sepenanggungan sosial diantara mereka. Ada diantara mereka yang merokok, dan yang tidak merokok. Mereka berkata: “Apa yang harus kami lakukan, kami bermaksud menerapkan persamaan sosial diantara kami”. Mereka berselisih pendapat bagaimana yang harus mereka perbuat terhadap sebagian mereka yang merokok. Lalu mereka membawa persoalan tersebut kepada saya. Mereka, orang-orang komunis itu, membawa persoalan mereka kepada saya dan meminta saya untuk memberi keputusan atas persoalan yang mereka perselisihkan!!. Lalu saya katakan pada mereka: “Saya mengusulkan:  “1 batang rokok, diganti 1 gelas teh. Bagi yang tidak merokok, maka dia harus diberi 1 gelas teh tambahan sebagai ganti tiap batang rokok”. Akan tetapi mereka yang merokok menolak keputusan tersebut. Maka saya tanya mereka, “Lalu bagaimana menurut kalian?” Mereka menjawab: “Mereka yang tidak merokok, harus ikut merokok”... Inilah kelemahan/kelumpuhan yang menguasai dunia Arab!!!


Sungguh amat ganjil sekali, mereka tidak mau merelakan saudaranya dalam kekafiran meminum 1 gelas teh sebagai ganti rokok. Mereka itu,  kalau suatu saat nanti memimpin rakyat, sementara harta kekayaan negara berada di tangan mereka; adakah mereka akan benar-benar menerapkan doktrin sosialisme atau malah akan mencuri harta rakyat untuk memenuhi syahwat mereka dan melaksanakan keinginan mereka?!!

Inilah sebenarnya yang terjadi!!


Wahai saudara-saudara!!

Percayalah, setelah malapetaka yang menimpa sebagian negeri Arab pada tahun 1967 M. Maka negara-negara Barat mengirim bantuan gandum kepada negara-negara yang terkena bencana-yakni Yordania, Syiria dan Mesir.

Salah seorang putri istana suatu negara di Arab ingin menghirup udara (pesiar) di negeri Eropa. Ia membutuhkan biaya sekitar 100.000 $. Maka mereka (yakni keluarga istana) minta kepada Perdana Menteri untuk menyediakan uang sebesar yang ia butuhkan. Lalu Perdana Menteri memanggil Menteri Keuangan dan mengatakan kepadanya, “Kami tidak mempunyai uang, maka segera uruslah”. “Tapi persediaan uang tidak ada”. Jawab Menteri Keuangan. Mereka mendesak: “Putri itu harus melancong ke Eropa, maka kamu harus mencarikan dana untuknya”.


Menteri Keuangan berpikir sejenak, dan akhirnya ia memberi pemecahan, “Kita mendapat bantuan gandum dari negeri barat, dan sekarang masih ada di pelabuhan. Juallah gandum itu, dan berikan uang hasil penjualan gandum itu kepadanya”. Lantas mereka menjual bantuan gandum tersebut dan memberikan uangnya kepada si putri raja, sehingga dapat berpesiar di negeri Eropa, sementara banyak penduduk mati kelaparan. Gandum bantuan yang dikirim untuk menyambung hidup mereka telah dijual hanya untuk memenuhi keinginan salah seorang putri istana yang hendak berpesiar ke negeri Eropa”.



 Munculnya Pemimpin Itu Melalui Amal Nyata.


Kepemimpinan ala diktatorisme dan monarkhisme seperti di atas menjadikan rakyat tertindas dan terlantar. Para penguasa dalam pemerintahan monarkhi itu tidak hidup di atas bumi, mereka hidup di dalam istana gading dan berbicara kepada rakyat melalui khayalan. Mengapa demikian? Oleh karena mereka mencapai tampuk kekuasaan bukan dengan cara yang wajar/alami. Cara yang wajar untuk mencapai kekuasaan ialah apabila seseorang memulai karirnya dari tingkatan pratama, lalu naik tingkat menjadi bintara, lalu naik menjadi perwira, lalu naik menjadi Jenderal, kemudian menjadi Kepala Negara. Akan tetapi struktur kemiliteran dan pangkat keprajuritan bukan merupakan syarat mutlak. Kepemimpinan itu bisa lahir dengan jalan: seseorang berdakwah menyeru manusia kepada Allah. Kemudian ia disakiti, dipenjara, diusir, berjihad, mengalami kelaparan, kedinginan dan kepanasan, serta menghadapi bahaya yang mengancam jiwanya. Kemudian sesudah itu, apabila umat bermaksud memilih pemimpinnya, maka peperangan telah memilih pemimpin (bagi mereka) secara alami. Tidak memerlukan sistem pemilihan suara, dan tidak memerlukan pula sistem pencalonan. Lahirnya pemimpin itu mellaui proses perjalanan dakwah. Melalui kancah pengorbanan dan perjuangan. Berapa kali ia turut dalam peperangan? Berapa lama ia berjihad fie sabilillah? Orang-orang Islam tidak membutuhkan kampanye pemilihan, oleh karena amal nyatalah yang akan memilih seorang pemimpin!.


Begitu Rasulullah saw wafat, maka umat Islam mengarahkan pandangannya mencari figur pengganti beliau. Mereka tidak menemukan seseorang yang paling cocok dan layak untuk menjadi pengganti  beliau selain Abu Bakar. Ia turut dalam seluruh peperangan yang diikuti Nabi saw. Ia menginfaqkan seluruh hartanya di jalan Allah. Tidak pernah merasa bimbang terhadap kebenaran Allah dan Rasul-Nya sejak ia masuk Islam. Menanggung banyak siksaan dan penindasan selama ia berada di jalan Allah. Meninggalkan keluarganya, meninggalkan istrinya, meninggalkan putra-putrinya di Mekkah dan berhijrah bersama Rasulullah saw ke Madinah. Para sahabat banyak yang melarikan diri dari peperangan Uhud, namun Abu Bakar tetap setia mendampingi Nabi saw. Ketika kaum muslimin lari dari medan pertempuran pada perang Hunain, maka Abu Bakar tetap setia membela Nabi saw di sampingnya. Tatkala para sahabat pergi ke peperangan Badar, maka Abu Bakar turut bersama Nabi saw. Sewaktu pertempuran berkobar dengan sengitnya maka ia berada di bagian depan pasukan Islam. Apakah lelaki besar semacam ini memerlukan kampanye pemilihan? Memerlukan slogan-slogan berisi kalimat “Pilihlah calon kalian secara bebas dan demokratis?” Atau ia melancarkan intrik-intrik dan tipu muslihat untuk menyudutkan posisi ‘Umar dengan menghasut umat: “Sikap dia sangat keras terhadap kalian, maka kalian jangan memilihnya. Pilihlah saya!. Oleh karena saya sangat lemah lembut terhadap kalian, oleh karena saya adalah sahabat pertama Rasulullah saw…” Tidak!...sekali lagi tidak!!


Bahkan Abu Bakar ketika itu berkata kepada ‘Umar di hadapan kaum Anshar: “Ulurkan tanganmu wahai ‘Umar, aku akan membai’atmu”. Sementara ‘Umar sendiri menolak permintaan abu Bakar. Lalu ia menjabat tangan Abu Bakar dan membai’atnya. Maka para sahabat Anshar tanpa dikomando lagi, mengikuti jejak ‘Umar membai’at Abu Bakar.


Kata ‘Umar: “Andai leherku terjulur ke bawah pedang, lantas pedang itu menebasnya sampai putus di jalan Allah, adalah lebih baik daripada aku memerintah umat Islam, yang di dalamnya ada Abu Bakar”.


Apa yang telah kamu sumbangkan untuk ruhmu, dirimu, masyarakatmu, dan negerimu? Amal kebajikan apa dan jejak terpuji seperti apa yang telah kamu torehkan dalam catatan (amal)mu? Sampai dimana kamu membina bangunan jiwamu? Berapa buah batu bata yang telah kamu pasang untuk bangunan jiwamu? Ataukah kamu masih berada di atas penopang satu buah batu bata, sementara orang-orang mendahuluimu ke akherat, arwah mereka telah meninggi, dan hati mereka telah terbebas (bersih) dari segala macam pamrih pribadi.


Setiap orang diantara mereka, yakni para sahabat, tidak menjanjikan sesuatu apapun untuk dirinya –sebagaimana ucapan Abul Hasan an Nadawi, yang dinukil oleh Ustadz Sayyid Quthb dalam bukunya: “Tatkala Allah menguji mereka, dan mereka sabar serta terbebas hati mereka dari pamrih pribadi; sampai Allah mengetahui bahwa mereka tidak menghendaki sesuatu (pahala) apapun atas amal yang mereka kerjakan untuk membela Dien ini, maka tahulah Allah bahwasanya mereka adalah orang-orang yang dapat dipercaya. Kemudian Allah memberikan kekuasaan kepada mereka di atas bumi dan menjadikan mereka sebagai tirai bagi kekuatan-Nya”. Kata Abul Hasan An Nadawi lebih lanjut: “Sampai-sampai mereka tidak menunggu-nunggu kemenangan Dienul Islam, baik itu melalui tangan mereka, atau melalui tangan putra-putri mereka atau melalui tangan generasi yang akan datang, yang penting Dienul Islam harus menang”. Maka dari itu, tatkala Ali r.a. berhasil menduduki dada seorang kafir, dan hampir saja ia membunuhnya, mendadak orang kafir yang dibunuhnya itu meludahi wajahnya. Maka Ali r.a. berdiri dan tidak jadi membunuhnya. Maka para sahabat yang melihat peristiwa itu bertanya: “Wahai Abul Hasan, apa yang terjadi denganmu sehingga kamu meninggalkannya?” Ali r.a. menjawab: “Tadi saya bermaksud membunuhnya semata-mata karena Allah, tapi ketika ia meludahi wajah saya, maka saya jadi urung membunuhnya, sebab saya khawatir, saya melakukan itu karena didorong oleh rasa kemarahan saya”.


Muhammad Farghali, setelah mengalami penyiksaan yang berat di penjara polisi Mesir,  dibawa ke tiang gantungan. Sebelum eksekusi dilaksanakan, maka ia sempat berdoa di bawah tiang gantungan: “Ya Allah, ampunilah aku dan orang-orang yang berbuat jahat kepadaku”.


Jiwa-jiwa (mukmin) ini telah naik pada tingkatan yang tinggi!!.


Ada perbedaan antara sisi kejiwaan ‘Abdul Qadir ‘Audah dan sisi kejiwaan Muhammad Farghali. Ketika akan digantung, ‘Abdul Qadir ‘Audah berdoa: “Ya Allah, jadikan darahku sebagai laknat bagi tokoh-tokoh revolusi” (yakni, tokoh-tokoh dewan revolusi yang dipimpin Gamal ‘Abdul Nasher). Akan tetapi Muhammad Farghali mengesampingkan (perasaan hatinya) dan berdo’a, “Ya Allah ampunilah aku dan orang-orang yang berbuat jahat kepadaku"”


Oleh karena Muhammad Farghali menganggap mereka orang-orang Islam. Jiwanya telah naik tinggi sehingga tidak memberikan janji apapun bagi dirinya sendiri.


Karena itu, tatkala orang-orang mengatakan pada Ibnu Taimiyah, “Alangkah banyak orang yang bertaubat melalui tanganmu dan kembali kepada Islam!”, maka Ibnu Taimiyah menjawab: “Tidak ada sesuatupun yang datang dariku, tidak ada sesuatupun yang ada padaku, dan tidak ada sesuatupun yang kupunya. Semuanya dari Allah dan akan kembali kepadaNya”.


Kita mau mengetahui jiwa-jiwa yang sabar. Manusia tidak akan sampai pada tingkatan ihsan selagi ia tidak membiasakan dirinya dengan sabar. Sabar dari tidur di saat datang keinginan yang kuat untuk tidur. Sabar dari istirahat saat badan terasa amat capek dan penat. Sabar dari makanan di saat perut lapar, bahkan mengutamakan kepentingan saudara-saudaranya atas dirinya sewaktu dia mempunyai makanan.


Pernah suatu ketika Rasulullah kedatangan tamu, namun beliau tidak mempunyai makanan apapun untuk diberikan kepada mereka. Maka beliau berkata kepada para sahabatnya:


“Siapa yang bersedia menjamu tamu Rasulullah?”,  “Saya ya Rasulullah”. Jawab seorang sahabat Anshar. Maka kemudian ia pergi membawa tamu itu ke rumahnya. Dia berkata kepada istrinya: “Muliakanlah tamu Rasulullah saw”. Dalam riwayat lain dikatakan, “Dia bertanya kepada istrinya: “Adakah kamu mempunyai makanan?”, “Tidak ada, kecuali makanan untuk anak-anak kita”. Jawab istrinya. Lantas sahabat Anshar tadi berkata: “Hiburlah anak-anak dan tidurkan mereka. Apabila tamu kita telah masuk, padamkanlah lampu dan tunjukkan padanya seolah-olah kita juga ikut makan. Maka mereka bertiga duduk dan tamu itu makan sampai kenyang, sedang ia sekeluarga bermalam dengan perut keroncongan”.[1]

Sabar dan Adab


Ketika daerah Chouni berhasil direbut oleh Mujahidin Afghan dari tentara komunis, maka kami pergi ke sana. Kami disambut oleh komandan Muhammad Na’im. Komandan yang satu ini adalah anggota Jamaah Tabligh. Sebenarnya, jamaah Tabligh membina para pengikutnya menjadi orang-orang berakhlaq tinggi. Dan senyatanyalah bahwa saya merasa kagum dengan adab mereka. Mereka mempunyai sifat-sifat terpuji yang jarang dimiliki oleh sebagian penuntut ilmu di masa sekarang. Diantara sifat mereka yang terpuji itu ialah mencintai ulama dan menunjukkan adab yang baik terhadap mereka. Sekarang ini sebagian besar penuntut ilmu kehilangan sifat tersebut. Sekarang ini, dalil ilmu adalah berlaku lancang pada para ulama dan berani terhadap mereka. Dan hampir-hampir ia mencungkil mata anda dengan ujung jarinya. “Apa dalil anda?” Tanyanya seraya menjulurkan ujung jarinya ke muka anda!  “Saya berpendapat tidak demikian!” Bantahnya.


Mereka bersikap lancang terhadap Abu Hanifah... terhadap An Nawawi... dan imam-imam besar yang lain. Dengan telunjuk jarinya ia berkata, “Siapa Abu Hanifah itu?!” , seakan-akan beliau itu orang biasa yang ada di jalanan.


Saya merasa kagum dengan kecintaan para pengikut Jama’ah Tabligh terhadap para ulama, dengan ketawadhu’an mereka, dengan kezuhudan mereka, dengan pengorbanan mereka. Memang benar mereka tidak berjihad (dalam makna qital) akan tetapi pengorbanan waktu mereka, pengorbanan harta mereka dan kesiapan mereka berkeliling bumi untuk berdakwah patut dipuji. Terkadang setahun penuh mereka meniggalkan keluarganya, meninggalkan pekerjaannya, meninggalkan perniagaannya.


Muhammad Na’im, yang menaklukkan daerah Chouni berasal dari Jama’ah Tabligh, dan cara kehidupan orang-orang Jama’ah Tabligh membekas kuat pada dirinya. Dia adalah komandan Mujahidin yang bernaung di bawah tandzim Hekmatiyar. Dia masih muda. Umurnya sekitar 27 tahun. Kakinya putus, dan dia pincang. Dia datang untuk menyambut kami. Dia duduk di sebelah saya. Ketika makanan dihidangkan, saya katakan padanya: “Ya akhie, silahkan makan”. “Alhamdulillah, ya saya akan makan”. Katanya seraya menjulurkan tangannya mengambil secuil atau dua cuil roti yang telah dicampur dalam kuah. Dia tidak mengambil daging. Dilihatnya hanya sedikit daging yang ada di hadapan kami. Lalu dia pergi sebentar dan kemudian membawa piring besar. Di dalamnya ada sepotong daging besar dan kuah. Lalu saya persilahkan dia: “Ya akhie Muhammad Na’im silahkan makan”, “Ya saya akan makan”. Jawabnya seraya menjulurkan tangannya mengambil secuil roti yang telah dicampur dalam kuah. Apakah dia menyentuh daging? Tidak, sama sekali dia tidak menyentuh daging. Sayapun malu untuk mengambil daging, dan saya berkata dalam hati: “Akan saya tinggalkan daging itu untuk dia karena dia belum makan daging”. Kebetulan di samping saya duduk salah seorang ikhwan (Arab yang datang bersama saya). Adapun ikhwan yang duduk di samping saya meskipun dia melihat komandan Muhammad Na’im tidak menyentuh daging, tapi dia tetap saja memakan daging dan roti. Saya ingin ikhwan tadi tergugah dengan adab Komandan Muhammad Na’im. Hampir saja saya mengingatkannya: “Jangan sentuh lagi daging itu!” Supaya dia belajar menjadi orang yang beradab.


Syahwat manusia itu tiada pernah berakhir. Pemuda bernama Muhammad Na’im ini telah memberi pelajaran pada saya dalam hal itsar (mengutamakan orang lain daripada diri sendiri), adab dan sabar. Dialah komandan yang merebut kota Chouni. Kami berada di rumahnya, namun demikian dia hanya makan dua suap roti yang telah dicampur di dalam kuah. Saya mencuil dua potongan daging kecil untuknya dan meletakkan di hadapnnya. Saya tidak tahu, apakah dia memakannya atau tidak?


Sabar.…..Pada saat kamu bersabar atas dirimu, maka kesabaran itu akan mendorong dirimu untuk mengutamakan kepentingan saudara-saudaramu atas kepentingan dirimu sendiri. Yang pertama wahai saudaraku, pegang eratlah batas-batas yang mesti kamu jaga, bersabarlah atas syahwatmu, dan jangan mendhalimi hak-hak orang lain. Apabila kamu mampu bersabar pada tahapan ini, maka kamu akan berpindah pada tahapan yang kedua, yakni, mengutamakan kepentingan saudaramu, dan mencintai bagi diri saudaramu sesuatu yang kamu cintai bagi dirimu sendiri.


Apa beda antara orang yang paling kaya dengan orang yang paling miskin di dunia ini? Orang yang paling miskin di dunia mungkin makan roti (nasi) saja tanpa daging, sementara orang yang paling kaya makan roti (nasi) dan daging. Tetapi justru terkadang orang miskin yang tidak makan daging itu bisa menikmati setiap suap makanan yang ia masukkan ke dalam perutnya. Kemudian setelah makan ia berdoa: “Alhamdulillahil ladzi ath’amanaa wa saqaana wa ja’alanaa minal muslimin (Segala puji bagi Allah yang telah memberi makanan kami, dan telah memberi minum kami, dan telah menjadikan kami termasuk golongan orang-orang Islam).

Sementara orang yang kaya tadi tidak bisa menikmati lezatnya makanan. Oleh dokter dia dilarang makan daging berlemak, mentega, manis-manisan dan berbagai jenis makan yang lain,  karena ia terserang berbagai penyakit. Allah mencegahnya dari berbagai macam kenikmatan.


Pada bulan Ramadhan, mereka yang mengerjakan shalat malam adalah mereka yang mendapat keberuntungan. Karena apa? Karena manusia pada umumnya suka tidur. Setiap hari sesudah waktu berbuka, biasanya seorang menjadi malas dan menghabiskan waktunya untuk bersantai-santai. Kepada dirinya ia akan berkata: “Nanti pada malam yang akhir aku akan shalat malam”. Tetapi malam yang akhir telah berlalu, sementara ia malas untuk bangun. Atau jika ia ikut Shalat Taraweh berjama’ah, dan Imam sedikit memanjangkan bacaannya, maka ia akan menjadi kesal dan menggerutu: “Ya akhie, jangan panjangkan bacaan shalatnya”. Atau “Ya akhie, kami capek”. Protesnya.

Sabar atas yang sedikit, itulah yang akan mengangkat derajatmu secara berangsur-angsur di sisi Yang Maha agung.


Sampai-sampai ahli dunia sekalipun, sangat menekankan diri mereka untuk bersabar dalam segala urusan. Ahmad Amin pernah menulis surat untuk putranya. Dalam surat tersebut ia memberi nasehat: “Wahai anakku, saya ingin kamu menahan rasa lapar supaya kamu dapat merasakan lezatnya makanan. Saya ingin kamu tidak tidur semalaman supaya kamu dapat merasakan nikmatnya tidur. Saya ingin kamu menahan rasa haus supaya kamu dapat merasakan nikmatnya air”. Ahmad Amin mengajarkan kesabaran pada putranya.


Dalam halaqah ta’lim, Abu Hanifah melazimi cara duduknya penuntut ilmu (santri) terhadap muallim (kyai/ustadz). Yakni duduk di atas lutut seperti duduk tasyahud. Suatu ketika Abu Hanifah pegal kakinya tapi ia malu menjulurkan kakinya karena dihadapannya banyak orang, meski ia adalah syeikh (kyai) mereka. Ketika murid-murid yang mengelilinginya melontarkan berbagai macam pertanyaan ringan, sementara dia sudah sangat capek, maka Abu Hanifah berkata: “Telah tiba waktunya bagi Abu Hanifah untuk menjulurkan kakinya”.


Al Jahizh menceritakan tentang seorang Qadhi di kota Basrah. Qadhi ini punya rutinitas harian sebagai berikut: Fajar ia datang ke masjid untuk menunaikan shalat Shubuh. Selesai shalat Shubuh ia duduk dan mengadili perkara orang-orang. Selama ia duduk mengadili orang, maka sama sekali ia tidak menoleh-noleh, mengejap-ngejapkan mata atau minta makan dan minum. Ia terus mengadili perkara orang dan tidak bangkit dari duduknya sampai adzan Dhuhur dikumandangkan. Kemudian ia berdiri untuk mengimami shalat tanpa berwudhu lagi. Yakni masih dengan wudhu’ shalat Shubuhnya. Selesai shalat Dhuhur, ia duduk kembali untuk mengadili perkara. Demikian itu terus berlangsung sampai shalat ‘Isya, sedangkan ia masih tetap dengan wudhu shalat Shubuhnya, dan tidak berdiri diantara dua waktu shalat.

Pada suatu hari, seekor lalat hinggap di wajahnya dan menggerumuti sudut dalam matanya. Tapi ia sabar sehingga lalat itupun bertambah leluasa menggerumuti wajahnya. Ia tidak hendak mengangkat wajahnya untuk mengusir lalat tersebut. Hati dan konsentrasinya terpusat pada perkara dan manusia yang duduk dihadapannya. Kemudian sewaktu lalat tersebut menggerayang dan berpindah ke mata yang satunya, ia tetap bersabar dan tetap konsentrasi dengan tugasnya. Dan akhirnya ia mengangkat wajahnya dan mengusir lalat yang mengganggunya itu. Ia berujar: “Maha benar Allah yang Maha agung (dengan firmanNya):



“Hai manusia, telah dibuat perumpamaan, maka dengarkanlah olehmu perumpamaan itu. Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor lalatpun. Walaupun mereka bersatu (bahu-membahu) untuk menciptakannya. Dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, tiadalah mereka dapat merebutnya kembali dari lalat itu. Amat lemahlah yang meminta (menyembah) dan amat lemah (pulalah) yang dimintai (disembah)”. (Qs. Al Hajj: 73).


Lalu Sang Qadhi itu meminta maaf pada orang-orang karena dia telah mengangkat kepalanya.


Kalian lihat orang-orang yang menuntut ilmu dalam halaqah ta’lim mengitari Syeikhnya. Semuanya melazimi cara duduk seperti duduknya Jibril a.s. ketika berhadapan muka dengan Nabi saw. Yakni duduk di atas lutut, seperti duduk tasyahud dalam shalat. Tak seorangpun diantara mereka bermain-main, atau bersenda gurau atau memasukkan telunjuk jarinya ke dalam lubang hidungnya (baca: mengupil) atau menggerak-gerakkan telinganya, atau memain-mainkan jenggotnya. Demikianlah sampai ta’lim selesai. Sekarang, tengoklah ikhwal orang-orang yang menuntut ilmu dalam halaqah ta’lim. Kalian dapati yang satu menjulurkan kedua kakinya, yang satu lagi tidur bersandar pada punggungnya, yang lain mengupil hidungnya mengeluarkan kotoran hidungnya di hadapan ustadznya. Yang seperti ini tidak kalian dapati pada orang-orang yang menuntut ilmu di zaman dahulu.

Sabar Terhadap Diri Sendiri, Manusia dan Ganggua Manusia.


Rasulullah saw pada malam pernikahannya dengan Zainab duduk bersama para sahabat di ruang depan rumahnya. Hari sudah larut malam sehingga kepala Zainab r.a. terantuk-antuk saking kantuknya menunggu masuknya Rasulullah saw. Sementara beliau saw di ruang depan juga sudah mengantuk, namun para sahabat tidak tanggap dengan keadaan beliau, mereka merasa senang bisa duduk-duduk bersama Rasulullah saw. Sampai akhirnya Allah ‘Azza wa Jalla menurunkan ayat:



“Wahai orang-orang beriman, janganlah kamu memasuki rumah-rumah Nabi kecuali bila kamu diidzinkan untuk makan tanpa menunggu-nunggu waktu masak (makanannya), tetapi jika kamu diundang maka masuklah dan bila kamu selesai makan, keluarlah kamu tanpa asyik memperpanjang percakapan. Sesungguhnya yang demikian itu akan mengganggu Nabi lalu nabi malu kepadamu (untuk menyuruh kamu keluar). Dan Allah tidak malu (menerangkan) yang benar”. (Qs. Al Ahzab: 53).


Sabar…...Seorang juru dakwah harus mampu bersabar terhadap dirinya dan orang lain. Seorang yang bergaul dengan manusia dan bersabar atas gangguan mereka lebih baik daripada seorang yang tidak bergaul dengan manusia dan tidak bersabar atas gangguan mereka.


Maka dari itu, kesabaran merupakan sesuatu yang sangat vital bagi seorang mukmin. Oleh karena Ribath tegak di atas kesabaran, tidak ada jihad tanpa sabar, tidak ada ribath tanpa sabar, tidak ada ibadah tanpa sabar, khususnya ibadah jihad.

Karena pentingnya sabar itulah, maka Allah Ta’ala berfirman:



“Wahai orang-orang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu*), sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar”. (QS Al Baqarah: 153).


*) Adapula yang mengartikan: Mintalah pertolongan (Allah) dengan sabar dan shalat.


Demi Allah, sebagian ikhwan di Qahirah membuat diri saya kagum. Mereka tidak mau minum teh supaya tidak menjadi pecandu atas sesuatu apapun. Sekarang bagaimana hukumnya dengan teh?...Bagaimana hukumnya dengan rokok?...Banyak manusia yang tidak dapat melepaskan diri dari belenggu nafsunya. Mereka mencandu hal-hal yang remeh dalam kehidupannya. Umpamanya: kopi, teh, rokok dan lain-lain. Mereka yang sudah kecanduan kopi, akan menjadi kurang bergairah dan kacau fikirannya, apalagi kebetulan tidak meminumnya.


Kita mau menundukkan seluruh dunia di bawah telapak kaki kita. Apabila kita mampu mengatasi syahwat kita, maka dunia seluruhnya dapat kita injak dengan kaki kita. Demi Allah, wahai saudara-saudara!! Seorang mukmin yang teguh bersandar pada kesabaran, akan membuat dunia tunduk di bawah kakinya. Para penguasa thaghut nampak kecil dalam pandangan matanya. Mengapa demikian? Karena ia sabar terhadap kemewahan dunia.


Kesabaran inilah yang membuat ‘Abdul Nasher gentar pada Sayyid Quthb. Ketika Sayyid Qutb meringkuk dalam penjara, ia ditawari dunia –yakni, jabatan menteri- oleh penguasa thaghut, namun ia bersabar atas syahwat dunia. Lalu ia menulis surat balasan pada Gamal Abdul Nasher, isi surat itu mengatakan: “Sesungguhnya telunjuk jari yang bersaksi akan keesaan Allah di dalam shalat, menolak menulis satu huruf pun untuk mengakui pemerintahan thaghut”.


Inilah tauhid. Adalah kalian menyangka bahwa tauhid itu dengan surat pembelaan dan eksepsi? Tiap hari menyampaikan kartu ucapan terima kasih pada kepala polisi, kepala dinas intelegent, dan lain-lain?


Sayyid Quthb divonis hukuman mati, lalu mereka membujuknya, “Mintalah keringanan hukuman”. Namun ia menolak dengan tegas, “Mengapa saya mesti minta keringanan hukuman? Jika saya dihukum dengan alasan yang hak, maka saya rela dengan keputusan yang hak. Dan jika saya dihukum dengan alasan yang batil, maka diri saya terlalu besar untuk minta keringanan pada yang batil”.


Jika demikian siapa sebenarnya yang terpidana? Dan siapa yang pemegang keputusan? Adakah Sayyid quthb terpidana? Tidak...’Abdul Nasherlah yang sebenarnya terpidana. Dan pemegang keputusan yang sebenarnya adalah Sayyid Quthb...



“Keputusan (hukum) itu hanyalah kepunyaan Allah”. (Qs. Yusuf: 40).


Pada tanggal 27 Agustus 1966 M. ‘Abdul Nasher menandatangani surat keputusan eksekusi hukuman mati bagi Sayyid Quthb. Lalu ia mengirim Hamzah Baisuni untuk membujuk Sayyid Quthb. “Katakan kepada Sayyid Quthb, apabila dia bersedia minta maaf, maka kami akan meringankan hukumannya”. Katanya memerintah Hamzah Baisuni. Hamzah Baisuni tidak berani mendatangi sendiri Sayyid Quthb, ia menemui adik perempuan Sayyid Quthb, yakni Hamidah Quthb, dan meminta dia agar mau membujuk abangnya.

Hamidah menuturkan kisah tersebut: “Hamzah Baisuni memanggil saya dan mengatakan: ‘Bacalah surat keputusan ini!’ Lalu surat itu saya baca: “Telah diputuskan hukuman mati bagi Sayyid Quthb, Muhammad Yusuf Hawwasy dan ‘Abdul Fatah Isma’il”. Lalu ia mengatakan kepada saya: “Kita masih punya kesempatan terakhir untuk menyelamatkan Ustadz, oleh karena malam hari nanti, hukuman mati itu akan dilaksanakan padanya. Jika ia mau minta maaf, maka kami akan meringankan hukuman matinya. Setelah enam bulan, kami akan mengeluarkannya dari penjara dengan alasan kesehatan. Maka cepatlah menemuinya, dan bujuklah dia”. Lalu saya bersegera mendatangi Sayyid Quthb dan mengatakan: “Mereka mengatakan pada saya, jika kamu bersedia minta maaf, maka hukuman matimu akan dibatalkan. Setelah enam bulan kamu akan dikeluarkan dengan alasan kesehatan”. -Kisah ini diceritakan oleh saudara perempuan Sayyid Quthb sendiri pada saya-. Lalu Sayyid Quthb berkata: “Atas dasar kesalahan apa saya harus minta maaf? Demi Allah!, seandainya saya beramal untuk seseorang selain Allah, pasti aku bersedia meminta maaf. Akan tetapi saya tidak akan minta maaf karena beramal untuk Allah. Tenanglah wahai Hamidah, jika umur telah habis, maka hukuman itu akan tetap terlaksana. Jika umur saya belum masanya habis maka hukuman mati itu tidak akan terlaksana. Permintaan maaf sama sekali tidak mempercepat maupun mengulurkan ajal”.


Sabar dengan tauhid. Tauhid Uluhiyah yang ia wujudkan dan ia terjemahkan dalam sikap dan perbuatannya.


Wahai saudara-saudaraku!!

Sadarilah pahala yang amat besar ini,  jagalah (perintah) Allah, jagalah hak-hak-Nya dengan menjaga rasa persaudaraan di antara kalian, dengan jalan mentaati amir kalian, dengan jalan mengekang lidah kalian. Jagalah ibadah kalian kepada-Nya dengan menyingkirkan rasa bangga diri, mengenyahkan sifat ujub, dan berusaha agar ibadah tersebut tetap menjadi rahasia antara diri kalian dengan Pencipta kalian. Kecuali menampakkan ibadah untuk tujuan memompa semangat bagi yang lain, maka yang demikian itu tidak mengapa asal diri kalian bisa selamat dari perasaan bangga dan niat kalian tetap ikhlas mencari keridhaan Allah bukan sanjungan manusia.


Kita ingin menggembleng diri kita di atas kesabaran. Sebab ribath tanpa disertai kesabaran, tidak akan mungkin. Dan jihad tanpa disertai sabar serta ribath, tidak akan mungkin. Oleh karena serangan hanya dilakukan sekali dalam 3 bulan atau 4 bulan. maka sebelum waktu penyerangan itu datang, kamu harus bersabar dan tetap bersiaga.


Dalam sebuah sya’ir dikatakan:


Jangan kau kira kemuliaan adalah biji korma yang mudah kau telan.

Kemuliaan itu tiada mungkin dapat kau raih, sampai engkau menelan pahitnya kesabaran.


«
Next
Posting Lebih Baru
»
Previous
Posting Lama

Tidak ada komentar

Leave a Reply