Syamina Report: Pudarnya Hegemoni Imperium Amerika Serikat
Unknown
12.22
0
Imperium adalah sistem Pusat-Perifer lintas perbatasan, dengan menggunakan budaya untuk melegitimasi struktur yang tidak seimbang antara pusat dan perifer:
Secara ekonomi, antara yang mengeksploitasi dan yang dieksploitasi, yang menyebabkan kesengsaraan;
- Secara militer, antara pembunuh dan yang dibunuh, yang menyebabkan kematian dan penderitaan;
- Secara politik, antara pengontrol dan yang dikontrol, yang menyebabkan represi;
- Secara kultural, antara pemrogram dan yang diprogram, yang menyebabkan alienasi;
Perbatasan dalam sebuah imperium tidaklah bersifat geografis. Perbedaan antara pusat dan perifer terjadi dalam setiap dimensi kekuasaan. Pada bagian pusat cenderung bersifat mengeksploitasi, membunuh, mengontrol, dan memprogram. Sedangkan pada bagian perifer cenderung dieksploitasi, dibunuh, dikontrol, dan diprogram.
Jika demikian, apakah AS merupakan sebuah imperium yang melakukan imperialisme?
Jika kita mencari jawabannya dari pemerintah Amerika Serikat, maka jawabannya adalah tidak. Meski telah menjajah dua negara berdaulat hanya dalam waktu dua tahun—Afghanistan pada tahun 2001 dan Irak tahun 2003, meski terdapat lebih dari 750 instalasi militer AS di dua pertiga negara di dunia, dan meski telah berulangkali menyatakan keinginan “untuk memperluas manfaat kebebasan… ke seluruh penjuru dunia,” George W. Bush tetap bersikukuh bahwa “AS bukanlah sebuah imperium”. Rumsfeld juga menambahkan bahwa “kami tidak menginginkan imperium dan kami tidak melakukan imperialisme.”
Bangsa Amerika punya gagasan ‘suci’ untuk ‘penyebaran demokrasi’ ke penjuru dunia. Gagasan itu tertuang dalam Manifest Destiny. Sebuah manifesto yang menyebutkan bahwa bangsa Amerika telah ditakdirkan oleh Tuhan untuk menyebarkan demokrasi.
Meski demikian, menurut Bischof, sejarah menunjukkan bahwa AS adalah imperium dan mereka selalu melakukan imperialisme. Amerika Serikat mempunyai konfigurasi yang lengkap untuk disebut sebagai sebuah imperium. Kesimpulan ini diartikulasikan dalam sebuah pernyataan yang diungkapkan oleh seorang perencana di Pentagon: “Tidak akan ada perdamaian. Pada saat tertentu selama sisa hidup kita, akan ada beberapa konflik dalam bentuk yang bermutasi di seluruh dunia. Konflik kekerasan akan mendominasi berita-berita utama… Peran de facto bagi pasukan bersenjata Amerika Serikat adalah menjaga dunia tetap aman bagi ekonomi kita dan terbuka bagi serangan budaya kita. Dan untuk menggapai tujuan tersebut, kita akan melakukan cukup banyak pembunuhan.”
Sebelum Perang Dunia Kedua, rata-rata intervensi militer yang dilakukan AS adalah 1,15/tahun, dan setelah Perang Dunia Kedua, rata-rata intervensi meningkat menjadi 1,29/tahun. Pasca Perang Dingin, yaitu sejak tahun 1989, terjadi peningkatan yang cukup tajam hingga 2,0. Hasil ini kompatibel dengan hipotesis bahwa perang akan meningkat seiring dengan tumbuhnya imperium, dimana mereka semakin merasa punya hak-hak yang harus dilindungi, lebih banyak kerusuhan yang harus dipadamkan, dan lebih banyak pemberontakan yang harus dihancurkan.
Mesin dari kebijakan luar negeri Amerika dipicu bukan oleh pengabdian terhadap moralitas, melainkan oleh kebutuhan untuk melayani kepentingan lain: yaitu membuat dunia lebih aman bagi perusahaan-perusahaan Amerika, meningkatkan laporan keuangankontraktor pertahanan yang telah memberikan kontribusi kepada anggota kongres, mencegah munculnya masyarakat yang bisa berfungsi sebagai contoh sukses alternatif dibanding model kapitalis, memperluas hegemoni politikdan ekonomi seluas mungkin, sebagaimana layaknya sebuah “kekuatan besar.” Atas dasar tujuan tersebut, selama periode 1945-2000, Amerika Serikat telah melakukan intervensi sangat serius ke lebih dari 60 negara.
Hanya orang yang naif, dungu, atau keduanya yang terkejut dengan terjadinya serangan 11 September. Terorisme negara tak terbatas dan tak bertepi yang dilakukan oleh Amerika Serikat mendapat jawaban yang sangat tidak mengejutkan: terorisme terhadap Amerika Serikat. Dengan perkiraan sekitar 13-17 juta orang tewas, dan rata-rata 10 orang berduka atas setiap satu korban tewas, yang mengakibatkan kesedihan dan kepedihan, maka nafsu untuk membalas dendam berkembang. Namun, akar dari semua itu bukanlah pada rantai tak berujung dari kekerasan untuk membalas dendam. Mereka adalah konflik tanpa solusi yang dibangun dalam imperium AS. Barangkali, inilah yang dimaksud oleh perencana Pentagon yang memandang bahwa “untuk mencapai tujuan tersebut, kami akan melakukan banyak pembunuhan.”
Untuk mengatasinya, para akademisi berpendapat hanya bisa dilakukan dengan dibubarkannya imperium AS, sebagaimana kesimpulan Johan Galtung, “Sepanjang masih ada imperium militeristik Amerika Serikat, maka perdamaian dunia tidak akan ada di muka bumi. Ini adalah ganjalan utama bagi perdamaian dunia hari ini.” Tak salah jika AS dinobatkan sebagai negara paling mengancam perdamaian dunia dalam sebuah polling yang telah dilakukan sejak tahun 1977 dan baru dirilis tahun 2013 silam.
Kini, tanda-tanda keruntuhan AS mulai terlihat. Sangat ironis, hanya satu dekade atau lebih setelah ide Amerika Serikat sebagai kekuatan imperium muncul dan diterima, dan orang-orang mulai dapat berbicara secara terbuka mengenai imperium Amerika, yang terjadi justru menunjukkan beberapa tanda-tanda ketidakmampuannya untuk terus berlanjut dan bahkan spekulasi mulai muncul mengenai keruntuhannya.
Sebagaimana sistem yang lain, imperium juga mengalami siklus hidup sebagaimana sebuah organisme. Mereka mengalami pembuahan, kehamilan, kelahiran, masa bayi, masa kanak-kanak, remaja, dewasa, penuaan dan kematian. Benih imperium Amerika Serikat ditaburkan oleh Imperium Inggris. Mereka mengasah kemampuan imperium mereka pada penduduk pribumi, kemudian berkelana ke luar negeri dalam bentuk intervensi militer dengan mendefinisikan zona kepentingan, mengambil alih imperium Spanyol, kemudian memperluasnya dengan menjadikan hegemoni di dunia dan ruang angkasa sebagai tujuan. Sekarang, Amerika Serikat sedang mengalami fase penuaan, dengan beban tugas pengendalian yang melimpah.
Amerika dan sistem nilai yang dibawanyatidak lagi menjadi model bagi dunia. Sepertiyang disimpulkan Tony Judt: “Tragedi sesungguhnya adalah kita tidak lagi menjadi contoh bagi diri kita sendiri.” Dunia tidak lagi percaya pada mitos “eksepsionalisme Amerika“.
Paul Kennedy menyimpulkan bahwa seluruh imperium di era modern turun dan runtuh sebagai hasil dari “imperial overstretch”. Para pengambil keputusan di Washington harus menghadapi kenyataan buruk bahwa jumlah total kepentingan global dan kewajiban Amerika Serikat saat ini jauh lebih besar daripada kekuatan negara tersebut untuk mempertahankan mereka secara simultan.
Kondisi ini semakin diperparah dengan berbagai kontradiksi—baik di bidang militer, ekonomi, politik, maupun kultural—dan demoralisasi yang terjadi di kalangan elit AS. Dengan berbagai kontradiksi tersebut, diiringi dengan demoralisasi yang terjadi di kalangan elit, Galtung memprediksi terjadinya penurunan AS secara gradual yang berujung keruntuhan pada tahun 2020. Semakin kuat sebuah imperium, semakin cepat ia meningkatkan kontradiksinya, maka semakin tinggi kekacauan internal, dan semakin dekat ia pada keruntuhan. Ini adalah sebuah hukum yang disimpulkan oleh Galtung dari analisis perbandingan 10 imperium yang diawali dengan imperium Romawi.
Semua imperium pada akhirnya runtuh: Akkad, Sumeria, Babilonia, Niniwe, Asyur, Persia, Macedonia, Yunani, Carthage, Roma, Mali, Songhai, Mongol, Tokugawaw, Gupta, Khmer, Hapbsburg, Inca, Aztec, Spanyol, Belanda, Turki Utsmani, Austria, Perancis, Inggris, Uni Soviet. Sebagian besar mereka runtuh dalam hitungan satu hingga dua ratus tahun. Alasannya tidak begitu rumit.
Sebuah imperium adalah semacam sistem negara yang secara tak terhindarkan membuat kesalahan yang sama hanya dengan sifat struktur imperlias mereka. Mereka gagal karena ukuran, kompleksitas, jangkauan wilayah, stratifikasi, heterogenitas, dominasi, hirarki, dan ketidaksetaraan
Download di sini untuk laporan selengkapnya.
Tidak ada komentar